Senin, 26 April 2010

Dokter Susu Baru

Susu segar selayaknya bebas residu antibiotik karena berbahaya bagi konsumen. Bagaimana cara mendeteksinya?

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3141 tahun 1998 yang diperbaiki tentang susu segar dinyatakan, susu segar tidak boleh mengandung residu antibiotik. Hal ini mengacu pada kenyataan, sampai sekarang masih ditemukan residu tersebut di tingkat penampung susu segar. Memang SNI ini masih belum diberlakukan, tapi tentu akan disahkan pada masa mendatang.

Menurut Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto, pakar persusuan dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, residu tersebut bisa terjadi karena pengobatan penyakit mastitis (radang ambing) pada sapi yang salah. “Dalam pengobatan mastitis, memang ada salah satu cara memasukkan antibiotik dalam puting susu. Kalau withdrawal time (waktu henti obat)-nya belum terlewati, ya masih ada antibiotiknya dalam susu,” jelas Mirna kepada AGRINA. Jenis antibiotik yang kerap dijumpai adalah kombinasi penisilin dan kombinasi amoksisilin, ampisilin.

Bisa Kebal

Lebih jauh ahli mastitis itu menjelaskan bahaya residu antibiotik bagi konsumen. “Kalau  terminum dosis kecil, nggak masalah. Tapi kalau minum terus, (residu) numpuk terus, maka lama-lama dosis yang kecil itu bukan membunuh bakteri tapi malah menjadi makanan bakteri. Kalau sudah menjadi makanan bakteri tertentu, apabila orang ini sakit, maka makan obat tertentu nggak mempan. Ini yang disebut superinfeksi,” paparnya.

Karena itu, tes residu antibiotik jadi sangat penting. Di negara-negara maju seperti Jerman, kata Mirna, produsen susu segar akan dikenai sanksi bila produknya kedapatan mengandung antibiotik. Di Indonesia, saat ini deteksi residu antibiotik lebih banyak diserahkan tanggung jawabnya kepada pihak IPS karena perangkatnya cukup mahal bagi peternak yang kepemilikannya rata-rata hanya 2—3 ekor. Yang bisa dilakukan, menurut doktor alumnus Justus Liebig Universiteit, Jerman, tersebut, adalah melakukan edukasi terus menerus untuk mencegah cara pengobatan yang salah, terutama kepada peternak, paramedis, dan penjual sarana produksi kesehatan hewan.

Kepada peternak dibuka wawasannya, kesehatan produk susunya akan mempengaruhi kesehatan anak cucunya juga. Mereka pun sebaiknya didorong untuk memproduksi kualitas terbaik. Sementara di pihak pemerintah harus menyediakan jalan keluar yang tepat bila susu peternak nantinya ditolak IPS.

Cara Praktis

Untuk mendeteksi residu antibiotik ada sejumlah metode. Misalnya, delmo test, bioassay menggunakan bakteri yang sangat peka, dan ELISA. Waktunya ada yang cepat, ada pula yang menunggu semalam baru bisa dilihat hasilnya.

Di pasaran kini beredar milk doctor beta dan milk doctor tetra buatan Jepang. Kedua perangkat ini praktis dan sangat mudah digunakan. Tinggal ambil contoh susu ke dalam cawan kecil, campur dengan reagen, masukkan lembaran kertas penguji, lalu tunggu pada suhu ruangan. Dalam waktu 12 menit dan 5 menit, hasilnya dapat diketahui. Bandingkan saja lembar kertas penguji itu dengan standarnya.

“Dokter susu” beta ini diklaim dapat mendeteksi 10 jenis antibiotik. Antara lain, penisilin, kloksasilin, sefazon, nafsilin, sefuroksim, dan dikroksiasilin. Sedangkan dokter tetra lebih spesifik, yaitu tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin, dan doksisiklin. Ambang kepekaannya dari 3—100 ppb tergantung jenis antibiotiknya. Namun untuk di Indonesia tampaknya batas ambang-ambang itu tidak penting dilihat. Yang paling penting, hasilnya positif atau negatif karena SNI mengatur demikian.

Peni SP, Agung Christiawan

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain