Sebanyak 330 ribu ton ikan hasil tangkapan sampingan nyaris terbuang percuma setiap tahun. Dengan mengubahnya menjadi surimi, sebanyak Rp1,246 triliun bisa dijaring.
Pukat penangkap udang di Laut Arafura selalu memperoleh ikan hasil tangkapan sampingan (HTS) yang jumlahnya cukup banyak. Selama ini ikan-ikan tersebut sebagian besar dibuang kembali ke laut. Tergerak untuk memanfaatkan ikan-ikan itu, Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, M.Sc, Eddi Husni, ST, M.Si, Ir. Beni Pramono, M.Si, dan Mochammad Riyanto, S.Pi, dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB merancang mesin pemisah daging dan tulang ikan. Di samping menjawab permasalahan ikan tangkapan sampingan, mesin ini juga akan meningkatkan nilai tambah ikan-ikan murah yang melimpah saat musimnya tiba.
Daging ikan tersebut kemudian dapat diolah menjadi surimi, yaitu produk daging ikan lumat yang telah dicuci dengan air dan dicampur krioprotektan untuk penyimpanan beku. Surimi dapat langsung dipasarkan atau diolah lebih lanjut menjadi bakso ikan, otak-otak, juga empek-empek. Menurut Kafi Kurnia, pakar pemasaran, surimi termasuk salah satu produk olahan perikanan yang perlu dikembangkan di Indonesia.
Ari Purbayanto mengatakan, pemanfaatan mesin yang kemudian diberi nama SuritechTM tersebut secara luas akan meningkatkan pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir. Lebih jauh lagi, juga akan meningkatkan devisa negara melalui pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dan peningkatan nilai tambah hasil perikanan. ”Nilai tambah dari ikan-ikan hasil tangkapan sampingan dan ikan-ikan ekonomis rendah yang diolah menjadi surimi berkisar 3—4 kali atau 8—10 kali bila diolah lebih lanjut menjadi produk akhir seperti bakso, nugget, dan empek-empek. Bila potensi HTS sebesar 332.186 ton per tahun, sebanyak 40% dapat diolah menjadi surimi, maka akan dihasilkan surimi sebanyak 83.042 ton per tahun atau senilai Rp1,246 triliun dengan asumsi harga surimi Rp15.000 per kg,” hitung Purbayanto.
Kinerja Mesin Memuaskan
Mesin tersebut dirancang pada 2005 dan mendapat paten dari Kantor Hak Kekayaan Intelektual IPB No. P00200600292 tanggal 17 Mei 2006. Tim perekayasa selanjutnya mengembangkan temuan mereka secara mandiri. Pada 2007, Recognition and Mentoring Program (RAMP) Indonesia yang didukung Lemelson Foundation USA menyetujui proposal yang diajukan tim itu. Alhasil, mereka mampu membangun bengkel kerja Mesin SuritechTM di Sindangbarang Pilar, Bogor. Kini mesin yang dipasarkan dengan harga Rp20 juta per unit ini sudah mencapai generasi kelima.
Prinsip kerja mesin ini tak rumut-rumit amat, yaitu memanfaatkan tekanan antara belt (sabuk) dan silinder berpori. Cara penggunaannya, ”Ikan yang akan dipisahkan daging dan tulangnya dibersihkan isi perutnya dulu, lalu dipotong kepalanya. Setelah itu masukkan ikan ke lubang input. Daging ikan akan keluar melalui lubang output, sedangkan tulangnya terpisah keluar ke bagian samping mesin,” jelas Beni Pramono, ketika ditemui di Pameran Agrinex 2010 di Jakarta (14/3).
Badan mesin dibuat dari plat baja, sedangkan ruang prosesnya dari stainless steel. Dengan bobot sekitar 20 kg dan berukuran 75 cm x 78 cm x 90 cm, mesin ini bisa ditaruh di atas kapal penangkap ikan atau pun di tempat pelelangan ikan. Untuk menggerakkannya diperlukan motor listrik dengan daya ˝ HP 1.420 rpm dan daya listrik 400—600 watt. Mesin ini dapat mengolah 80 kg bahan baku ikan segar per jam. Efisiensi pemisahannya hampir mencapai 95% dengan susut hasil hanya 3,4%. Jadi, bila tersedia bahan baku 500 ton per hari, menurut Beni, investasinya akan lunas dalam tiga tahun.
Peni SP