Risiko gagal panen alias puso pada usaha tani padi akan segera bisa ditanggung asuransi. Preminya pun jauh lebih murah ketimbang bujet belanja rokok petani.
Pelaku agribisnis, khususnya budidaya padi, selalu dihadapkan pada risiko ketidakpastian yang cukup tinggi. Risiko ini meliputi gagal panen akibat serangan hama penyakit, perubahan iklim, banjir, dan kekeringan. Di samping itu masih ada risiko ketidakpastian harga pasar.
Hal tersebut memungkinkan petani beralih ke komoditas lain yang relatif lebih aman. Kalau ini dibiarkan berlanjut, stabilitas ketahanan pangan nasional menjadi taruhannya. Karena itu, asuransi pertanian ditawarkan sebagai salah satu skim pendanaan untuk berbagi risiko.
Perlu Payung Hukum
Sejauh ini, menurut Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, M.Eng, peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Bogor, di Indonesia belum ada asuransi pertanian yang dijalankan secara terus menerus. Karena itu Sahat dan timnya melakukan ujicoba di Kabupaten Simalungun (Sumut) dan Tabanan (Bali). Temuan mereka cukup menarik karena sebagian besar petani bersedia mengikuti proyek percontohan asuransi.
”Asuransi pertanian ini pada dasarnya menyediakan modal kerja untuk pertanaman berikut bila ia mengalami gagal panen. Kedua, membantu pemerintah menyediakan stok pangan nasional. Alasan lain, asuransi pertanian juga menjadi cabang bisnis baru bagi perusahaan asuransi yang akan menggerakkan ekonomi,” jelas Sahat.
Bagi petani, lanjut peneliti spesialis kelembagaan pertanian ini, klaim asuransi juga menghilangkan ketergantungannya pada rentenir ketika dirundung gagal panen. Namun, pengajuan klaim tentu tak gampang karena ia wajib menerapkan cara budidaya yang baik.
Agar asuransi ini ke depan bisa berjalan baik, Sahat merekomendasikan perlunya payung hukum SKB tiga menteri (keuangan, pertanian, dalam negeri) atau yang lebih kuat lagi, peraturan pemerintah. Pada tahap awal, pemerintah membayar sebagian premi petani. Selanjutnya premi ini diharapkan akan dimasukkan petani sebagai biaya produksi. Juga pembentukan pokja di daerah yang menghubungkan pemerintah dan perusahaan asuransi.
Siap Dipasarkan
Peluang bisnis asuransi pertanian tersebut ditangkap PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Bumida). Menurut Achmad Sudiyar Dalimunthe, S.Pi., MBA, AAIK, IPGDI, AIIS, Kepala Divisi Teknik Bumida, produk yang ditawarkannya adalah asuransi gagal panen. Ia menilai, peluang bisnis di sini cukup besar karena baru Bumida yang mengantongi izin dari Depkeu untuk memasarkan produk ini.
“Asuransi gagal panen bukan jenis asuransi individu, tetapi kolektif. Sebagai penetrasi awal, Bumida akan masuk melalui pemerintah daerah dan pusat dengan memberikan sosialisasi tentang risiko perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen,” jelas Dody, sapaan akrabnya, melalui surat elektronik.
Lebih jauh Dody memaparkan, definisi gagal panen (puso) adalah hasil panen padi maksimal hanya 25% dari produktivitas seharusnya. Penyebab gagal panen yang bisa diklaim adalah banjir dan kekeringan areal pertanian akibat penyimpangan iklim serta kekurangan air irigasi. Di samping itu juga serangan hama dan penyakit, yaitu penggerek, wereng cokelat, tikus, tungro, dan keong mas.
Premi dihitung berdasarkan profil risiko masing-masing wilayah sehingga nilainya bisa berbeda-beda. Di Kabupaten Jembrana misalnya preminya 2%. Berdasar hitungan kasar Sahat, cukup murah, Rp132 ribu per ha per musim tanam.
Nilai santunan dihitung berdasarkan biaya produksi, bukan nilai jual hasil panen. ”Namun mengingat keterbatasan dan adanya bias dalam penentuan biaya produksi, maka asuransi memberikan penggantian maksimal sebesar Rp2,5 juta,” imbuhnya.
Jadi, tunggu apa lagi? Asuransikan saja tanaman padi Anda.
Peni SP