Dengan memainkan suara berfrekuensi rendah, gurita terpancing untuk menangkap umpan. Sret... terjeratlah lengan-lengannya.
Gurita (Octopus) termasuk komoditas laut yang laku di pasaran internasional. Jepang, Korea, dan Taiwan termasuk konsumen utama binatang berlengan delapan ini. Namun sampai sekarang gurita belum masuk prioritas untuk dieksplorasi di Indonesia, meski potensinya cukup besar. Pengekspor gurita yang menonjol adalah Maroko, Tunisia, Spanyol, dan Vietnam.
Menurut Agus Cahyadi, M.Si, peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan, harga pasaran gurita di Jakarta mencapai Rp24.000—Rp26.000 per kg. Sedangkan pasaran eceran di negara-negara konsumen dunia bisa mencapai Rp150 ribu per ekor. Importir menyukai gurita hidup dan berbobot 1,5 kg per ekor.
Suara dan Warna
Selama ini nelayan kita memburu gurita dengan tombak. Untuk itu dia perlu menyelam sehingga harus menggunakan kompresor yang bisa membahayakan tubuhnya sendiri dan merusak biota di karang habitat gurita. Cara penangkapan ini mengusik benak Agus karena tidak ramah lingkungan, sulit dilakukan, dan kualitas hasil tangkapan pun tidak bagus akibat tusukan tombak di tubuh gurita.
Peneliti akustik kelautan ini pun memutar otak untuk mendesain alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, lebih mudah diaplikasikan, dan lebih ekonomis. Alumnus IPB ini memanfaatkan ilmunya untuk mengusik ekosistem gurita dengan membuat alat pancing yang mengeluarkan suara subsonik berfrekuensi 4—16 hertz. Suara yang berfungsi sebagai pemicu (trigger) ini dikombinasikan dengan penampilan alat yang berwarna-warni. Akhirnya gurita yang bersifat soliter melihatnya sebagai musuhnya sehingga menyeranglah dia. Dia lalu terperangkap pada penyekat-penyekat yang ada di alat pancing berbobot 1,5 kg ini. Gurita ini masih dalam keadaan hidup dan tidak luka-luka sehingga bila bobotnya sampai 1,5 kg termasuk kualitas layak ekspor.
“Saya memang ingin mengampanyekan teknik yang sederhana dan ramah lingkungan,” ucap Agus kepada AGRINA. Aplikasi alat yang bertenaga 9 volt ini mudah saja. Tinggal pasang alat pada kenur tanpa joran, cemplungkan ke laut, tunggu tarikan si gurita. “Dalam sehari mulai jam delapan sampai empat sore, satu alat bisa menangkap 8—10 ekor. Kalau dibandingkan hasil tangkapan dengan tombak, ya 3 : 1,” papar peneliti yang bidang utamanya adalah mamalia ini.
Satu kapal berbobot di bawah 5 gross ton, dapat ditumpangi lima pemancing yang masing-masing membawa dua alat pancing. “Dengan harga alat Rp350 ribu, nelayan bisa balik modal dalam seminggu ketika musim tangkap gurita,” imbuhnya seraya tersenyum.
Ketika ditanya tentang peminat temuannya yang sudah dipatenkan itu, Agus mengungkap, sudah cukup banyak. Jumlah permintaan mencapai sekitar 150 unit. Hal ini tentu menggembirakan bagi pria yang hasil karyanya masuk di Indonesia 101 Innovations tersebut dan membawanya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di istana. Tambahan lagi, sudah ada tiga investor bersedia mengkomersialkan temuannya yang dinamai Atraktor Cephalopoda Harian (ACAH) ini.
Peni SP