Dengan memprakirakan kedatangan musim hujan, petani bisa menghindarkan dari kerugian akibat kekeringan.
Di daerah tertentu, misalnya Indramayu-Jabar, pola tanam padi-padi-palawija tak selalu berjalan mulus. Akibat fenomena alam El Nino, musim hujan terlambat datang atau terlalu cepat berakhir. Bila petani tidak mengubah pola tanam atau menyiasati perubahan itu, pertanaman padi keduanya akan kekeringan karena hujan sudah habis sehingga gagal panen (puso).
Waryono dan Didi Casmadi, dua petani di Desa Karangmulya, Kec. Kandanghaur, Indramayu, dapat terhindar dari kerugian yang besarnya Rp3,5 juta per ha. Pasalnya, mereka sudah dapat menyiasati perubahan iklim berbekal pengetahuan yang mereka peroleh dari Sekolah Lapang Iklim (SLI). Mereka ini termasuk dua dari sekitar 25 orang peserta SLI pertama di Indramayu yang diselenggarakan IPB, Deptan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Pemkab setempat.
“Setelah ikut SLI 2003, saya baru tanam padi gadu lagi tahun 2009 ini. Tahun 2003—2008 nggak tanam padi kedua karena menurut data yang saya peroleh, curah hujan selalu berkurang tiap bulan, sangat tidak memungkinkan tanam padi. Kita alih komoditas, tanam bonteng (timun suri). Tahun ini alhamdulillah bisa panen (padi),” ungkap Didi saat ditemui AGRINA di rumah Waryono. Senada dengan Didi, Waryono pun mengakui bisa menghindari kegagalan panen berkat ikut SLI.
Belajar tentang Cuaca dan Iklim
“Yang diajari dalam SLI itu proses terjadinya hujan. Pada suhu berapa sih kita cocok untuk menanam. Kita juga belajar tentang kadar air tanah. Yang layak untuk tanaman itu kadar airnya harus berapa sih. Unsur tentang iklim dan cuaca juga dipelajari,” jelas Didi. Pada aplikasinya sehari-hari, petani diajak untuk mencatat data curah hujan per 10 hari, kelembapan, dan suhu udara.
Dengan pengetahuan tentang iklim, menurut Rizaldi Boer, pakar iklim IPB, petani bisa memahami informasi prakiraan dari BMKG. Mereka bisa memperkirakan pula permulaan musim hujan di daerah mereka. “Sebelum ikut SLI, kita tidak tahu kapan musim hujan itu tiba. Hanya menerka-nerka. Setelah ikut SLI, kita merasa punya data jadi tahu, musim hujan tahun ini akan tiba bulan ini, gitu. Memang prakiraan iklim tidak semuanya benar, tetap ada selisih waktu,” lanjut Didi, pemilik satu bahu sawah (tiga perempat hektar) dan dua bahu lahan sewa ini .
Dengan pengetahuan tentang permulaan musim penghujan akan datang terlambat, Waryono dan Didi menyiasati permulaan tanam. Biasanya mereka menanam Januari-Februari, maka November sudah melakukan semai kering agar tanaman terhindar dari kekeringan, dan April tanaman sudah bisa panen.
Kecuali itu, mereka juga sadar tentang sumber air di daerah setempat yang memang kurang. Dengan beriuran, masyarakat membangun embung (penampungan air). Embung ini merupakan saluran pembuangan air yang diperlebar. Pemkab Indramayu yang melihat embung tersebut dapat mengairi 50 ha sawah lalu turun tangan membantu pembiayaan. Tampaknya daerah itu masih memerlukan embung-embung lain agar 347 ha sawah di sana dapat terairi.
Peni SP, Selamet Riyanto