Senin, 6 Juli 2009

Menumpuk Laba Dari Pupuk Organik

Sistem waralaba tak hanya ada di bisnis restoran cepat saji dan minimarket, tapi juga di bisnis pupuk organik.

Berawal dari keprihatinan melihat kondisi tanah pertanian di Pulau Jawa, khususnya Tulungagung, Jatim, Hadi Mustofa ingin mengembalikan kesuburan tanah. Caranya menjadi salah satu pewaralaba PT Petrokimia Gresik yang memproduksi pupuk organik berlabel Petroganik.

Pada tahap awal, Hadi yang memulai usaha pada Januari 2007 melalui CV Lestari Mulyo ini, mengaku rugi, karena, “Petani belum merasakan pupuk organik merupakan sebuah kebutuhan,” ucapnya. Petani, imbuh alumnus Teknik Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1997 ini, masih memandang pemanfaatan pupuk organik sebagai penambahan biaya. Karena itu, ia melakukan sosialisasi secara gencar, bahkan dengan biaya sendiri. “Kita tidak memikirkan pengembalian. Hanya saya yakin, suatu ketika petani akan butuh,” tandasnya saat ditemui AGRINA dua tahun silam.

Lebih Untung

Dari segi hasil, menurut Hadi, jelas ada perbedaan antara pertanaman dengan pupuk organik dibandingkan yang tanpa pupuk organik. ”Demplot di Kecamatan Kali Dawir di Tulungagung itu selisihnya 2 ton per hektar dengan perlakuan sama. Yang membedakan hanya Petroganik saja. Satu lahan memakai Petroganik, Phonska, dan urea, yang satunya hanya urea dan Phonska,” terangnya.

Hitung punya hitung, imbuh Hadi, jika harga jual gabah kering panen sekitar Rp2.500 per kg, petani meraih tambahan Rp5 juta dari penjualan kenaikan produksi 2 ton per hektar (ha). Tambahan biaya pupuk organik sebanyak 5 kuintal yang harga subsidinya Rp500 per kg sehingga totalnya Rp250 ribu. “Petani ada penambahan pendapatan Rp5 juta, tapi mengeluarkan biaya Rp250 ribu. Masih sisa Rp4,75 juta. Itu petani belum banyak tahu,” paparnya. 

Itu cerita Hadi dua tahun lalu. Kini ia menuai hasil kerja kerasnya. Petani sudah banyak yang tertarik menggunakan pupuk organik karena melihat fakta keberhasilan di lapangan. Selain itu juga dipacu subsidi dari pemerintah untuk pupuk organik. Sebelum diberi subsidi petani harus mengeluarkan dana Rp1.500 per kg, kini hanya Rp500 per kg. Senyum sarjana akuntansi UGM 1997 tersebut makin mengembang setelah pihak Petrokimia memborong semua produksinya yang tahun ini berkisar 10.000—12.000 ton sehingga ia tak pusing memikirkan pemasaran.

Sistem Waralaba

Sistem waralaba yang  dijalani Hadi terbilang mudah. Pihak Petrokimia menyediakan desain kantong industri berlabel Petroganik, mesin-mesin agar mutu produk mencapai standar, juga Mextro (semacam mikroorganisme) yang digunakan dalam proses produksi.

Sementara Hadi menyediakan gudang, bahan baku berupa kotoran ayam dan sapi/kambing. Tentu saja ia harus membayar franchise fee. ”Kalau mesin, gudang dan fasilitas sarana-prasarana sudah ada, biayanya sekitar  Rp1 miliar. Tapi kalau itu belum ada di atas Rp2 miliar. Kalau itung-itungan standar dalam 1—1,5 tahun impas,” ungka pengusaha muda ini ketika ditanya investasi yang dulu ditanamnya.

Mengenai prospek bisnis, Hadi yakin bagus karena peluangnya masih terbuka. Ilustrasinya, luas lahan pertanian di Tulungagung saja 45.000 ha, sekitar 20.000 ha lahan padi. Kebutuhan pupuk organik pada padi sebanyak 5 kuintal, jadi kebutuhannya 10.000 ton. Belum lagi pada pertanaman buah yang rekomendasinya 5 ton per ha. Juga pertanaman jagung yang luas di daerahnya.

Meski berpeluang begitu bagus, Hadi mengaku, masih ingin mempertahankan komitmennya dengan pihak terwaralaba. Soal berasrnya laba, ia enggan membeberkannya. Tapi yang jelas, produk pupuk organiknya kalau dijual tanpa subsidi harganya tak kurang dari Rp1.500 per kg. Jadi, berapa harga beli Petrokimia, “Itu rahasia, nggak etis saya ungkap,” ujarnya sembari tertawa lebar.

Indah Retno Palupi (Surabaya)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain