Irigasi tetes lebih hemat air dan biayanya pun lebih irit hingga 50% ketimbang penyiraman manual.
Sewaktu musim penghujan, air memang melimpah. Namun kebalikannya, kala bulan kering datang, di beberapa daerah air bak emas yang mahal harganya. Seperti terjadi di Lampung, petani mesti menguras kocek lebih dalam saat menyiram tanaman. “Untuk menyiram tanaman cabai seluas satu hektar, kami harus membeli air seharga Rp600 ribu,” ungkap Yudi Atmoko, petani di Dusun Tiga, Cendana Sari, Kab. Lampung Tengah.
Petani pun memutar otak. Beberapa di antara mereka mengakali seretnya air dengan sistem irigasi tetes buatan sendiri. Model irigasi ini dapat menghemat 75% kebutuhan air ketimbang penyiraman manual. Biaya penyiraman ikut menyusut. Petani tinggal putar kran, air mengalir melalui pipa yang dipasang langsung menuju perakaran sehingga ia bisa menyambi pekerjaan lain. Hitung-hitung, pembuatan irigasi tetes lebih murah dibandingkan biaya penyiraman manual dalam satu siklus budidaya.
Lebih Murah
Komponen utama irigasi tetes hanya terdiri dari dua selang karet dengan ukuran berbeda dan sebuah pompa. Prinsip kerjanya, memompa air dan mengalirkannya ke tanaman melalui selang. Sebagai saluran utama dipilih selang ukuran besar untuk mengalirkan air dari pompa ke selang kecil.
Selang kecil berperan sebagai selang tetes yang meneteskan air dengan tekanan rendah tetapi akurat ke akar tanaman. Setiap selang tetes diberi lubang sesuai jarak tanam. Diameter lubang sekitar 15 cm. Penyiraman dengan irigasi tetes ini dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari, selama kurang dari satu jam.
Kelebihan irigasi tetes adalah pemberian air dengan volume kecil sehingga tanah diberi jeda untuk menyerap. Air tidak terbuang percuma dan penguapan dapat diminimalkan.
Keseragaman volume air melalui selang tetes juga menjadi nilai lebih. Selain itu, karena selang tetes dipasang langsung ke akar tanaman, irigasi tetes jadi lebih efisien. “Kita tinggal buka krannya saja, air sudah mengalir, kita bisa tinggal ngopi di pinggir sambil menunggu,” cerita Jaenal Abidin, petani di Metro Kibang, Lampung Timur yang sudah menerapkan irigasi tetes.
Di Lampung, menurutnya, irigasi tetes mulai dikenalkan sejak 2003. Awalnya, irigasi model ini diterapkan pada budidaya semangka. Berupaya menyiasati sulitnya air, petani cabai lalu membuat irigasi tetes sederhana. “Harga yang ditawarkan pabrikan untuk pembangunan irigasi tetes mahal, makanya kami membuat sendiri,” jelas lelaki berusia 52 tahun ini. Kini sudah lebih dari 100 ha lahan cabai di Lampung, antara lain Kecamatan Rumbia dan Metro Kibang, yang menggunakan irigasi tetes.
Pembuatan perangkat irigasi tetes pada satu hektar lahan, lanjut Jaenal, perlu dana sekitar Rp6 juta. Jika petani sudah memiliki pompa air, biaya yang dibutuhkan tinggal setengahnya. Supaya lebih hemat lagi, “Pipa bisa diganti dengan bambu,” tutur runner up Petani Terbaik Nasional 2006 itu.
Sekali siram per hektar, petani hanya membutuhkan air senilai Rp200 ribu plus Rp9.000 biaya dua liter solar untuk menjalankan pompa. Jika dijaga dengan baik, perangkat irigasi tetes dapat bertahan 3—5 tahun. Tenaga kerja cukup dirinya sendiri.
Sebagai perbandingan, penyiraman manual perlu 5 orang tenaga kerja. Lama penyiraman 6 jam dan biaya pembelian air Rp500 ribu. Masih ditambah 5 liter solar untuk menjalankan mesin penyedot. Jadi, total biayanya Rp1,3 juta sekali siram. Bila musim kemarau, petani harus menyiram dua kali seminggu. Hal itu membuat biaya produksi membengkak dari Rp45 juta menjadi Rp55 juta per ha.
Kini saatnya petani melek teknologi dan tidak melulu bergantung pada alam. Petani cabai Lampung bisa jadi contoh.
Selamet Riyanto