Direktorat Jenderal Pajak menawarkan opsi tarif baru PPN bagi produk primer pertanian yang diproduksi perusahaan besar dan PPN bagi petani atau penghasil produk pertanian dalam jumlah kecil. Jelas, opsi itu membebankan kembali PPN atas produk primer pertanian, yang selama ini tidak dipungut. Pemerintah menilai, langkah tersebut akan menguntungkan petani dan pelaku agroindustri.
Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, aturan tarif PPN yang ada sekarang membebaskan produk pertanian primer dari PPN. Ini membuat matarantai pembayaran PPN terputus, sehingga akan membuat komplikasi dan masalah. Atas dasar itu, menurut dia, produk pertanian harus menjadi barang kena pajak (BKP).
Sebagai BKP, semua produk primer pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) kena PPN. Dengan mekanisme ini, lanjut Darmin, perusahaan agroindustri bisa mengajukan restitusi PPN atas alat-alat modal, seperti traktor, bahan baku, bibit, pestisida, dan pupuk, yang mereka beli. Restitusi bisa dilakukan saat produk pertanian diekspor atau dijual ke pasar domestik.
Bagi petani yang menghasilkan produk dalam jumlah kecil, Ditjen Pajak mengusulkan dua pilihan kepada Panita Khusus Rancangan Undang-undang Amandemen PPN. Pertama, pemerintah menerapkan sistem batas atas. Petani yang beromzet Rp600 juta per tahun dibebaskan dari pungutan PPN. Sebaliknya, perusahaan yang beromzet di atas Rp600 juta per tahun dikenai PPN 10%. Kedua, pemerintah menerapkan tarif PPN khusus bagi petani sebesar 1%. Namun produk yang diperjualbelikan tetap dikenai PPN.
Kontraproduktif
Menanggapi rencana pengenaan PPN itu, Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, meminta pemerintah kembali memperhitungkan rencana pengenaan PPN pada produk pertanian. Sebab, akan sangat kontraproduktif di tengah situasi harga pangan yang sedang fluktuatif. “Seharusnya, pemerintah memberikan insentif, bukan disinsentif dengan mengenakan PPN. Apalagi pemerintah belum berhasil mengoptimalkan pembangunan pertanian yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional,” tegasnya.
Hal senada diutarakan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pakan Indonesia (GPMT) Budiarto Soebijanto. Menurut dia, rencana Ditjen Pajak yang akan mengenakan PPN atas produk pertanian, termasuk peternakan, antara lain akan berdampak pada penurunan konsumsi protein hewani. Penurunan terjadi di tengah daya beli masyarakat yang sudah lemah. ”Kebijakan itu kontraproduktif dan terkesan tidak ada koordinasi program pengembangan usaha dan lapangan kerja. Alternatif usulan dari Dirjen Pajak soal cara threshold maupun deemed justru menimbulkan distorsi baru pada tataniaga perunggasan atau peternakan,” paparnya. Di tengah ancaman krisis global, lanjut dia, pemerintah harus meningkatkan sense of crisis, bukan malah menambah beban baru yang memberatkan rakyat. Seharusnya pemerintah memberi insentif untuk mengembangkan usaha pertanian, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan konsumsi protein hewani. Bukan malah menambah beban PPN pada konsumen hanya karena ingin mengejar target pemasukan pajak.
Penolakan rencana pengenaan PPN terhadap produk pertanian disampaikan juga oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perbibitan Unggas Indonesia (GPPU) Paulus Setiabudi. Menurut dia, bila pemerintah jadi mengenakan PPN secara umum, apapun alasannya, itu artinya tidak berpihak pada petani, peternak ayam dan ikan, petambak, maupun konsumen. Demikian pula, lanjut dia, bila secara khusus dikenakan pada PKP (pengusaha kena pajak), itu juga salah dan diskriminatif. Sebab PPN itu obyeknya barang, bukan pengusaha. “Bila tetap dikenakan pada PKP itu akan membebani petani, peternak ayam, peternak ikan, maupun petambak. Sebab biaya produksi akan naik dan akhirnya konsumen yang menanggungnya. Oleh sebab itu, RUU PPN produk pertanian primer harus dibatalkan,” tandasnya.
Namun menurut Achmad Dawami, Vice President PT Primatama KaryaPersada, perusahaan perunggasan di Jakarta, pihaknya setuju produk pertanian yang diekspor, seperti kopi, kakao, sawit, dan tembakau dikenai PPN. Sedangkan produk pertanian untuk ketahanan pangan seperti beras, jagung, produk peternakan, dan perikanan, tetap mesti bebas PPN.
Sementara Zulfandiari Zaidir, Direktur Utama PT Berlian Unggas Sakti, produsen DOC (day old chick/anak ayam umur sehari) di Medan, berpendapat, jika PPN diterapkan, bisnis pertanian akan semakin susah. Harga pokok produksi bagi produsen makin tinggi. Sebaliknya, harga jual belum tentu bagus karena tergantung daya beli konsumen yang belum tentu menguat. Kalaupun harga jual bisa dinaikkan, volume penjualan mungkin menciut.
Demikian pula menurut Purnomo, GM Marketing PT Matahari Sakti, produsen pakan ikan dan udang di Jatim. Dia berpendapat, bila dikenai PPN, beban tambahan yang makin berat kepada konsumen, terutama pembudidaya kecil-kecil yang jumlahnya jutaan orang. Selain itu, imbuhnya, daya saing produk ikan hasil budidaya yang bisa diekspor akan makin melemah, dan memberi peluang negara lain untuk menguasai pasar di luar negeri.
Menyinggung soal restitusi, Achmad Dawami menambahkan, karena ketertiban usaha dalam bentuk badan usaha masih jauh dari harapan, restitusi pajak akan tidak jalan. Akhirnya ketidakadilan akan terjadi, yaitu bagi perusahaan-perusahaan yang tertib akan kena PPN, sedangkan yang tidak tertib tidak bayar PPN.
Kemiskinan Bertambah
Suara penolakan bukan hanya datang dari pelaku usaha, tapi sampai pengurus partai politik. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Soetrisno Bachir, berpendapat, rencana pemerintah menerapkan PPN terhadap hasil pertanian tidak sesuai dengan upaya pemerintah melakukan revitalisasi pertanian yang bertujuan meningkatkan taraf hidup petani. Penerapan PPN itu akan menambah angka kemiskinan. Sebab produk pertanian saat ini menghidupi lebih dari 50% penduduk Indonesia.
Bukan hanya itu, ujar Soetrisno, selain akan menurunkan daya beli masyarakat, kebijakan tersebut juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sementara saat ini para petani sedang mengalami kesulitan akibat kelangkaan pupuk dan naiknya biaya produksi. Tentu pengenaan pajak akan semakin memangkas keuntungan dan menyengsarakan petani. Ia meminta pemerintah membatalkan rencana penerapan PPN terhadap hasil pertanian. Sebaliknya, sebagai negara agraris, pemerintah seharusnya memberikan insentif yang mendorong industri pertanian tumbuh dan mampu memakmurkan kehidupan petani.
Dadang WI