Gua itu berada di pekarangan rumah Kasim, warga Plataran, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul. Ruangan gua terbagi dua. Ruangan depan seluas 1.000 m2 sudah dilakukan penambangan sejak tahun 2000. Sedangkan ruangan belakang belum dieksplorasi sehingga luasnya belum diketahui. Dengan ukuran sebesar itu, Goa Lawa termasuk gua kelelawar terbesar di Gunungkidul.
Kaya Fosfat Berkualitas
Goa Lawa merupakan penghasil fosfat yang besar dan berkualitas tinggi untuk bahan baku pupuk. Kandungan unsur P (fosfor) pada batuannya mencapai 20%, sementara di tempat lain, seperti Gombong, Pati, Rembang, Kudus, Purwodadi, Tuban, dan Gunungkidul sendiri tidak setinggi itu. “Kalau pun setinggi itu jumlahnya tidak melimpah. Sedangkan kita bisa mendapatkan 200 ton per minggu. Apalagi yang kadar 15%, mudah dicari di sini,” ujar Kasim, pemilik UD Gunung Rejo yang mengelola penambangan.
Menurut Mudzakir, Manajer Pemasaran UD Gunung Rejo, fosfat di Goa Lawa mengandung unsur P yang tinggi karena adanya endapan kotoran kelelawar serta terpaan panas dan hujan selama ratusan tahun. Sehingga, selain porsi P-nya mencapai 20%, fosfat itu mengandung nitrogen (N) sebesar 1%. Dengan begitu, fosfat hasil tambang Goa Lawa juga biasa disebut fosfat guano. Jenis fosfat ini sangat baik untuk memperbaiki tekstur tanah, termasuk tanah lempung menjadi gembur.
Hasil tambang tersebut sudah diekspor ke Taiwan, Malaysia, dan sebentar lagi, Korea. Sedangkan pasar lokalnya membidik pabrik-pabrik pupuk di Jawa. Harga franko Gunungkidul fosfat giling sebesar Rp600 ribu per ton.
Stok Guano Melimpah
Fosfat yang baik, kata Mudzakir, selalu terkubur di bawah guano sedalam 1—2 meter. Hal itu praktis membuat potensi penambangan guano di Goa Lawa maupun gua di sekitarnya melimpah. “Sebelum menemukan fosfat, kita harus menggali guano dulu,” ungkap Mudzakir.
Guano, pupuk asal kotoran kelelawar mengandung N sebanyak 3%, lebih tinggi dari pupuk kandang yang hanya berkisar 1%. Bahkan, untuk guano segar (kurang dari setahun) kadar N-nya 7%—9%.
Menurut Kasim, guano sangat baik untuk menghijaukan tanaman buah-buahan dan sayuran. “Reaksi menghijaunya secepat urea, tapi besar buah dan rasanya akan berbeda karena pada guano ada unsur pupuk yang lain dan organik,” tegasnya. Pasar guanonya saat ini masih berkisar di sentra sayuran di Magelang, Yogyakarta, dan Bandung. Di Yogyakarta, oleh para peramu pupuk, guano dikemas per 5 kg dan dipasarkan untuk pupuk tanaman hias.
Penggunaan guano ditambah pupuk organik cair lain dapat menekan dosis pupuk kimia hingga 70% dengan tendensi hasil panen lebih baik. Dalam percobaannya pada lahan yang sama seluas 1.000 m2, tetapi musimnya berbeda, Mudzakir mendapatkan panen padi 30—35 karung gabah kering panen dengan pupuk kimia urea, TSP, dan KCl berdosisnormal. Sedangkan yang menggunakan guano, phonska, dan supernasa menghasilkan 50 karung dan juga biaya lebih irit sampai Rp1 juta.
Meskipun kadar nitrogennya tinggi dan bagus untuk pertanian organik, tapi distribusi pupuk ini masih terbatas. Pasalnya, petani masih lebih mengandalkan pupuk kandang. Harga guano saat ini berkisar Rp500 ribu per ton, sedangkan guano segar dijual Rp6.000 per kg.
Faiz Faza (Yogyakarta)