Sawit Jadi Pilihan Investor Komoditas perkebunan unggulan Landak hanya dua, karet dan sawit. Namun, ke-21 investor yang datang ke kabupaten ini lebih memilih sawit. Dan 60% dari mereka adalah investor asing. Pemerintah dan masyarakat Landak patut berbangga. Hanya dalam kurun enam tahun sejak kabupaten ini dibentuk pada 1999, sudah puluhan investor menanamkan modalnya di bidang agribisnis dan agroindustri. “Investor yang masuk, semuanya di bidang sawit,” ungkap Ir. MC Kardjono, Kadinas Kehutanan dan Perkebunan Landak. Berdasar data Dinas Hutbun, 25 investor baru sudah mengantongi izin Usaha Perkebunan (IUP) dan izin lokasi. Namun, menurut Kardjono, hanya 21 perusahaan yang benar-benar serius dan 10 di antaranya sudah aktif di lapangan. Sisanya masih dalam tahap persiapan, terutama mencari pola kemitraan yang ideal dengan masyarakat setempat. Luas areal berdasar izin Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk ke-25 perusahaan itu sejumlah 331.460 ha. Setiap perusahaan mengantongi izin seluas 8.000—20.000 ha. Hal ini sesuai SK Mentan No. 357 Tahun 2000 tentang pemberian izin pembukaan lahan sawit baru, yang maksimal 20.000 ha per perusahaan. Harus Bermitra Kawasan yang bakal dijadikan perkebunan sawit tersebut tersebar di 10 kecamatan: Mandor, Menjalin, Sengah Temila, Mempawah Hulu, Air Besar, Kuala Behe, Ngabang, Sebangki, Menyuke, dan Meranti. Sebelum Kabupaten Landak terbentuk, di kawasan Ngabang, Menyuke, dan Kuala Behe sudah ada empat perusahaan sawit, yaitu PTPN XIII, PT Wira Rivaco Mandum, PT Kebunaria, dan PT Cemaru Lestari. Luas areal yang diizinkan untuk keempat perusahaan itu sebanyak 51.000 ha. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan inti hanya mengelola 14.581 ha, dan 8.000 ha kebun plasma. Sampai Juli lalu, 20.812 ha di antaranya sudah menghasilkan. Menurut Kardjono, investor baru masih boleh masuk asalkan menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan petani plasma. Kini Pemkab Landak tengah menggodok sistem kerja sama yang ideal untuk kepentingan inti dan plasma. “Mungkin pola saham supaya masyarakat ikut andil di perusahaan dengan kepemilikan saham. Nantinya, sistem kerja sama itu akan dijadikan Perda,” tandas Kardjono. Sistem kerja sama inti plasma yang kini berjalan adalah bagi hasil 80:20. Ia menjanjikan perbaikan porsi bagi hasil itu dan mencoba menerapkannya di PTPN XIII lantaran ada 8.000 ha kebun plasma yang harus diremajakan. Luar Negeri Sekitar 60% investor sawit tersebut berasal dari Pembukaan perkebunan skala besar itu diproyeksikan menelan investasi lebih dari Rp5 triliun, termasuk pembangunan beberapa unit pabrik crude palm oil (CPO). Menurut Bupati Landak, Drs. Cornelis, MH, hasil kesepakatan dengan investor, pola kemitraan menjadi pilihan terbaik demi menjaga keamanan pengusaha selama beroperasi. Lahan tetap milik masyarakat yang dihitung sebagai saham sehingga mereka mendapat bagi hasil setelah kebun berproduksi. Grup Wilmar yang akan beroperasi tersebut terdiri dari PT Agro Nusa Investama, Daya Landak Plantantion (DLP), Indoresi Putra Mandiri, Pratama Prosesindo, Putra Indo Tropika, dan Perkebunan Anak Negeri Pasaman. Kalau ketersediaan bibit mendukung, sampai akhir tahun ini Wilmar menargetkan penanaman 100 ribu ha. Saat AGRINA berkunjung ke DLP, perusahaan ini sedang melaksanakan pembangunan fisik perkantoran, pembukaan jalan, dan penanaman. Menurut Gregorius Uus, Koordinator Bina Mitra Wilayah Landak dan Sanggau, Grup Wilmar, sampai Juli lalu DLP baru menanam 2.500 ha dari target 20.000 ha. Uus menghitung, kalau DLP sudah rampung, bakal menyerap tenaga kerja 2.000—3.000 orang. Namun sampai saat ini baru terserap 800 orang. Rasa aman, kebersamaan, keterbukaan, dan pelayanan cepat merupakan daya tarik Landak bagi para investor. “Dulu, Landak dikenal sebagai daerah Hal itu dibenarkan Uus, “Kami mau berinvestasi karena suasananya sudah kondusif dan merasa dilindungi.” Kami, lanjut dia, ingin menunjukkan kepada dunia luar, Landak bisa dibangun melalui agribisnis berkat kebijakan pemkab yang sangat mendukung. “Kebersamaan perlu kita jaga dan pelihara dengan baik. Dengan saling menghargai dan menghormati, saya percaya kesejahteraan akan mudah tercapai,” papar Cornelis. Uus mengaku, perizinan dari pemkab tidak berbelit-belit, 3—6 bulan sudah beres. Pekerjaan dimulai setelah izin prinsip dan operasional diperoleh. Dan sambil berjalan, perusahaan itu mengurus dokumen lain seperti AMDAL. Selain itu, pemkab juga melakukan pendampingan dalam sosialisasi kepada masyarakat setempat. Soalnya, masyarakat harus dilibatkan langsung.
Adat Ikut Berperan Dengan masuknya modernisasi ke pedesaan, hampir tidak ada satu pun masyarakat desa terbebas dari pengaruh peradaban ekonomi luar. Masuknya program pemerintah dan penetrasi uang, baik melalui pertukaran jasa maupun ekspansi agribisnis, membuat posisi perekonomian pedesaan harus melakukan penyesuaian yang tidak sederhana. Sebut saja bidang sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi. “Pengaruh masuknya investor ke desa-desa di pedalaman, tidak signifikan. Pola ladang berpindah tetap jalan. Hanya ada ada pergeseran perilaku ekonomi saja, dari sederhana menjadi konsumtif,” ungkap Vinsensius, S.Sos, MMA, salah seorang etnis Dayak di Landak. Memang, dengan alam keterbukaan ini, sudah banyak warga pedalaman yang merasa dirinya bagian dari kehidupan Vinsensius yang juga Kepala Bidang Perkebunan Landak mengakui, ketika investasi masuk ke pedalaman ada masa transisi, dari ladang berpindah ke sistem perkebunan. Tapi tidak menganggu nilai budaya yang ada. “Yang jelas, masyarakat Dayak di Landak menyambut baik program-program pemkab,” jelasnya. Dengan adanya investasi, daerah yang terisolir menjadi terbuka lantaran jalan terbuka lebar. Selain itu, investasi pun menyerap tenaga kerja masyarakat setempat. “Hampir 99% karyawan yang bekerja di Grup Wilmar adalah putra daerah,” ungkap Gregorius Uus, memberi contoh. Dukungan Penuh