Jakarta - Peluang ekspor kulit buaya masih sangat besar. Ekspor kulit buaya setengah jadi Indonesia mencapai 5,35 juta ton pada 2002. Namun, pengusaha Indonesia lebih suka mengekspor kulit setengah jadi, bukan produk barang jadi yang mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi.
"Pemicunya adalah pungutan ekspor kulit nol persen, dan belum terinspirasinya untuk membangun industri kulit yang terintegrasi dengan memanfaatkan bahan baku yang diproduksi di dalam negeri," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, pada Seminar Revitalisasi Budidaya dan Pengolahan Produk Kulit Buaya, di Jakarta.
Freddy mengatakan, jika usaha atau industri penyamak kulit buaya, terutama industri kecil, dikembangkan maka akan menyerap banyak tenaga kerja lokal, meningkatkan devisa, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Dia menyarankan, dalam membangun industri kulit buaya harus dilakukan secara terintegrasi, dimulai dari penangkaran induk, menetaskan telur hingga membesarkan, mencegah penyakit, dan mengolah kulitnya agar menjadi produk yang berkualitas baik dengan nilai ekonomis tinggi.
Sebagai contoh, ungkap Freddy, saat ini kulit buaya asal Papua umumnya diekspor ke Singapura dalam bentuk mentah atau setengah jadi. Selanjutnya oleh Singapura diolah menjadi produk ekspor yang bernilai ekonomis tinggi dengan bahan baku kulit asal Indonesia.
"Itu adalah kondisi yang sangat ironis, mengingat produk tersebut menjadi pesaing produk kulit Indonesia, dan pada saat yang sama penyamak kulit Indonesia kekurangan bahan baku," ucapnya.
Perlu Budi Daya
Freddy mengemukakan, di Indonesia terdapat empat jenis buaya, dari 21 jenis yang ada di dunia, yakni buaya siam (Crocodilus siamensis), buaya irian (Crocodilus novaeguinea), buaya julung atau sunyulong (Tomistoma schegelii), dan buaya muara (Crocodilus porosus). Keempatnya dinyatakan langka dan dilindungi.
Untuk menghindari kepunahan, katanya, perlu dibudidayakan. Budi daya buaya diupayakan sejak 1990, dan semakin diminati karena kulitnya merupakan komoditas unggulan untuk bahan tas, sepatu, koper, dan produk kulit lainnya. Jenis buaya yang dibudidayakan adalah buaya muara karena paling besar, dengan ukuran 7-10 meter dan berat sekitar satu ton.
Menurut Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, seminar serupa pernah dilakukan pada 1995, namun sejak itu belum pernah ada lagi. Seminar kali ini menghadirkan narasumber ternama, dua di antaranya dari Australia, Peter Mc Innes dan Charlie Manolis.
Saut mengatakan, tingginya minat pengusaha Australia untuk berinvestasi di industri buaya harus dilihat sebagai peluang besar, mengingat kerja sama pengolahan kulit buaya antara Indonesia dan Australia telah berlangsung 15 tahun.
Sumber : www.suarapembaruan.com