Pepaya tak lagi buah kelas dua. Dengan rasa dan bentuk sesuai minat konsumen, buah pencuci mulut ini mampu merambah pasar elit di pasar swalayan dan hotel mewah.
Kunardi
Satu Tahun Balik Modal
Dulu Kunardi merasakan betapa tidak menguntungkan profesi petani pepaya sehingga ia banting setir menjadi sopir truk tronton pada 1980-an. Namun pada 2003, ia kembali menekuni budidaya pepaya California di Kampung Rancasari, Desa Pasirgaok, Rancabungur, Bogor-Jabar. Tanam perdananya ini menghasilkan keuntungan bersih Rp10 juta—Rp11 juta dengan modal kerja Rp4 juta—Rp5 juta untuk 300 tanaman. “Artinya, dalam satu tahun sudah balik modal,” kata pria kelahiran 1950 ini. Dengan keuntungan itu, ia mampu menambah populasi tanamannya menjadi 500 batang.
Jumlah tanaman Kunardi terus bertambah sampai mencapai 2.000 batang. Dari 1.000 tanaman yang dipanennya, ia menikmati keuntungan Rp50 juta—Rp60 juta. “Puji Tuhan, hasilnya lumayan buat menghidupi keluarga saya,” ucapnya merendah.
Setelah merasa berhasil, ia pun mengajak sesama petani di desanya untuk membudidayakan pepaya California. Bersama adik dan anaknya, ia mendirikan kelompok Asta Agro Group yang bertujuan untuk menjaga pasokan pepaya dengan keseragaman dan pola panen yang tepat. Saat ini ia bermitra dengan 40—50 petani sehingga kelompoknya mampu menyuplai beberapa pasar swalayan di Jakarta dan Surabaya sebanyak 6—7 ton per minggu.
Dr. Ir. Sobir
Bukan Buah “Ndeso” Lagi
Dulu pepaya memang merupakan buah kampungan, namun kini sudah menjadi menu sajian di hotel-hotel mewah. Umumnya, di berbagai acara di hotel selalu ada sajian buah pepaya sebagai pencuci mulut. “Hal ini karena adanya kesesuaian rasa serta ketersediaannya yang sepanjang waktu,” kata Kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB ) ini.
Ia berpendapat, seiring meningkatnya permintaan pepaya, tentu akan meningkatkan jumlah pasokan. Tapi, kondisi saat ini pasokan pepaya masih sangat kurang sehingga perlu ada terobosan dalam pengembangan pepaya di tanah air.
Upaya itu salah satunya melalui perbaikan varietas bibit pepaya yang disesuaikan dengan selera konsumen. Saat ini, masih banyak pepaya ukuran besar di pasaran yang tidak dapat habis sekali makan. Inilah yang tidak disukai konsumen karena biasanya jika tersisa, tingkat kesegaran pepaya akan menurun. Selain itu, cara penyajian yang harus dikupas dulu kulitnya sebelum dimakan membuat konsumen ragu akan kebersihan proses pengupasannya.
Karena itu Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB sudah berhasil melakukan inovasi menemukan buah pepaya yang berukuran kecil dan bisa dimakan sekali saji. Jenis ini diberi nama IPB 1 (Arum), IPB 3, IPB 5, dan IPB 7, serta yang terakhir IPB 9. Konsumen tak perlu mengupasnya, tinggal mengerok dagingnya dengan sendok.