Rojokoyo alias harta benda. Itulah makna kambing dan domba bagi masyarakat pedesaan. Selain dianggap tabungan, ternak itu mampu mendongkrak status sosial mereka. Semakin banyak ternak yang dimiliki, semakin tinggilah status sosial si pemilik, dan sebaliknya.
Namun jangan salah, bila dikelola dengan skala usaha ideal, agribisnis kambing domba ini sangat menguntungkan. Upaya pengusahaan kambing domba yang mengarah secara bisnis contohnya bisa ditengok di beberapa daerah di Jabar, Jateng, dan Jatim.
Potensi pasar terbesar pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan tahunan ibadah kurban (Idul Adha). Menyusul kebutuhan konsumsi daging harian, baik rumah tangga, restoran, maupun warung sate.
Tak hanya di dalam negeri, pasar luar pun butuh banyak pasokan. Beberapa negara yang butuh banyak, yaitu
Untuk memenuhi permintaan pasar, para pemangku kepentingan tampaknya perlu memetakan dan membina potensi jaringan produksi yang ada di mana-mana. Selanjutnya diarahkan pula kepada pintu pemasaran yang tersedia. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan oleh berbagai pihak guna mencari peternak-peternak baru yang tertarik dalam usaha pengembangan kambing maupun domba. Pascapelatihan, pendampingan dan bimbingan teknis budidaya serta akses pintu pemasaran perlu dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Semua orang tahu,
Rojokoyo alias harta benda bukan hanya berbentuk barang mati tapi juga berbentuk hewan peliharaan yang memberikan banyak andil jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Begitu pula dengan ternak kambing dan domba yang selama ini masih banyak diusahakan secara tradisional.
Padahal potensi ternak kambing dan domba ini begitu besar, apalagi saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti Idul Adha, ditambah dengan kebutuhan konsumsi daging ini setiap hari dalam bentuk sate, sop, gulai dan menu-menu lainnya serta kebutuhan Aqiqah.
Lebih lanjut mengenai pasar kambing dan domba ini bisa dibaca di Tabloid Agrina versi Cetak volume 3 Edisi No. 57 yang terbit pada Rabu, 11 Juli 2007.