Selasa, 10 Juli 2007

Pola Tradisional Hasil Optimal

Umumnya, masyarakat negeri ini menganggap ternak, khususnya kambing dan domba sebagai rojo koyo (harta) serta tabungan. Bila sewaktu-waktu butuh uang, tinggal dijual.

 

Potensi ekonomi domba dan kambing memang cocok sebagai peternakan rakyat. Modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar dibandingkan mengusahakan ternak besar. Cara memeliharanya pun mudah, sebagai pekerjaan sampingan dan bisa dilakukan oleh anggota keluarga. Dan, dalam skala kecil, usaha ini tidak memerlukan tempat yang luas. Berikut pengalaman mereka yang menekuni usaha kambing maupun domba.

 

H. Ujang Munajat

Jangan Malu Jadi Peternak

Menjadi peternak atau petani, tak perlu malu. Sebab, dari beternak atau bertani bisa memperoleh keuntungan yang signifikan, walaupun perputaran uangnya tidak cepat. Demikian kesimpulan H.Ujang Munajat, peternak domba intensif di Kampung Sadamukti, Ds. Tenjolaya, Cicurug, Sukabumi, Jabar, ketika ditanya mengapa memilih menjadi peternak domba.

Pria kelahiran Bekasi 1966 ini mulai beternak domba pada 1990 dengan memelihara 20 ekor. Kala itu, sistem pemeliharaannya secara tradisional. Domba digembalakan dan dikandangkan seadanya.

Sepuluh tahun berselang, domba milik Ujang sudah berkembang biak menjadi 100 ekor. Dan pada 2002, populasinya bertambah lagi sampai 140 ekor. Dengan jumlah itu, Ujang mengubah sistem pemeliharaan menjadi intensif. “Budidaya intensif saya peroleh ketika mengikuti pelatihan dari Pusat Jaringan Alih Teknologi (Pusjarlihtek) LIPI di bawah bimbingan dinas peternakan dan STPP Bogor,” ungkapnya.

Pada 2002 juga, Ujang bersama 30 peternak domba dari 6 desa di Cicurug, membentuk Gapoktan Pusjarlihtek. Setiap anggota memperoleh bantuan seekor domba dari Pusjarlihtek.

Keseriusan gapoktan itu memperoleh perhatian dari Kementerian Koeprasi dan UKM yang kemudian memberi bantuan 250 ekor pada 2004. Ujang mendistribusikannya kepada tiga kelompok. “Sampai tahun ini, kita sudah berhasil menggulirkan yang ada, ditambah kelebihannya 320 ekor. Jumlah ini berarti sudah melebihi dari kewajiban kita di gapoktan,” tutur bapak 4 anak ini.

Ujang sendiri sekarang memiliki 274 ekor. Dengan jumlah itu, setiap bulan, ia mampu menjual rata-rata 50 ekor dengan harga Rp13.500 per kilo bobot hidup untuk domba pedaging, dan Rp20 ribu—Rp22 ribu untuk domba bibit. Hasil penjualannya mencapai Rp17 juta—Rp18 juta sebulan. Ia mengaku mengantongi keuntungan bersih Rp3 juta—Rp4 juta/bulan. ”Keuntungan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” ucapnya merendah.

 

H. Basri

Modal Kepercayaan

Biasanya, permintaan kambing maupun domba akan meningkat menjelang Hari Raya Idul Adha (Idul Kurban). Hal ini dibenarkan H. Basri, pedagang kambing dan domba di Pasar Barat Banjaran, Bandung. Menurut Pak Haji yang sudah menjadi pedagang sejak 1980 ini, perdagangan kambing maupun domba akan ramai ketika mendekati Idul Kurban, mulai tanggal 1—10. Saat itu, ia sendiri mampu menjual 50—60 ekor/hari.

Pada hari-hari biasa, Basri yang asli Banjaran ini, menyediakan 25—30 ekor domba. Domba tersebut dipasok dari beberapa peternak di Bandung (Pangalengan, Ciwidey, Cikarang, Soreang) dan Cisewu-Garut.

Untuk jadi pedagang domba, menurut Basri, tidak perlu modal besar. Ia sendiri hanya menyediakan uang panjar bagi peternak yang mau menjual kambing maupun domba. “Jika ada peternak mau jual, setelah ditawar dan harganya cocok, baru dipanjar. Lalu domba itu saya bawa ke pasar. Pelunasan dilakukan 3—4 hari kemudian,” tandasnya. Modal, lanjut dia, lebih banyak berupa kepercayaan antara pedagang dengan pemasok.

Di Pasar Barat Banjaran itu, Basri memperoleh kavling seluas 6 m x 12 m dengan sewa Rp3 juta setahun. Ia berjualan mulai pukul 10.00—15.00. Ia mengaku, setiap hari dapt menjual 10—20 ekor. Domba yang belum laku dibawa pulang dan ditampung di kandang. Dari tiap ekor, ia mengambil keuntungan Rp20 ribu—Rp25 ribu, untuk domba jantan. Sementara dari domba betina, keuntungannya Rp15 ribu—Rp20 ribu. Kalau dijual berdasarkan bobot hidup, untungnya Rp1.000—Rp1.500/kg bobot hidup. “Setelah dipotong biaya operasional, Alhamdulillah, saya mendapat keuntungan bersih Rp70 ribu—Rp100 ribu sehari,” bebernya menutup perbincangan.

 

Muhammad Nasik

Minimal Pegang Rp10 Juta

Sudah lebih dari 35 tahun Muhammad Nasik menekuni usaha jual beli kambing dan domba. Walaupun usianya sudah 67 tahun, pria kelahiran Sawangan, Depok, Jabar, ini tetap di jalur bisnis ternak tersebut. Alasannya, usaha ini sudah turun-temurun.

“Dibanding jual beli sapi, modal untuk usaha kambing dan domba ini tidak terlalu besar. Hitungan kasar, kalau Anda ingin memulai usaha seperti saya, minimal harus memegang uang (modal, Red.) Rp10 juta,” ungkap Nasik. Bila ditekuni, lanjut dia, usaha ini cukup menguntungkan. “Alhamdulillah dari usaha ini, sampai sekarang, saya mampu menghidupi keluarga,” jelas bapak 13 anak dan 25 cucu ini.

Di kawasan Jl. Abdul Wahab, Sawangan, Depok, itu Nasik merintis jual beli kambing dan domba. Dengan memasang plang bertuliskan “Jual Beli Hewan”, Nasik melayani pembeli untuk keperluan akikah, kurban, dan kambing guling. Ia mengaku, setiap bulan mampu menjual rata-rata 20 ekor.

Domba atau kambing hidup ia jual Rp750 ribu—Rp 1 juta/ekor, tergantung bobot. Harga ini sudah termasuk jasa antar. Nasik juga melayani pemotongan sehingga pembeli menerima daging bersih. Dari usahanya itu, ia meraih laba Rp50 ribu—Rp100 ribu/ekor, atau Rp1 juta—2 juta/bulan. Namun menjelang Idul Adha, perolehan itu meningkat lantaran dari setiap ekor untung Rp200 ribu, dan kambing yang bisa dijual sampai 100 ekor. “Selama Idul Adha, minimal memperoleh keuntungan Rp15-juta,” akunya.

Untuk menjalankan usahanya, Nasik memiliki dua kandang yang bisa menampung 60 ekor kambing. Walaupun begitu, ia sanggup melayani partai besar, sebab sudah memiliki jaringan yang kuat dengan para perternak di beberapa daerah. “Bila kekurangan, saya tinggal menghubungi peternak di kawasan Parung, Curug, Bojongsari, Ciputat, dan Ciseeng,” ujarnya mantap.

 

Dadang WI, Yan Suhendar, Selamet Riyanto

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain