Bandung - Indonesia terlambat menerapkan standar kualitas pertanian, padahal akan menjadi kunci persaingan di pasar global. Karena itu, produk pertanian
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Departemen Pertanian, Djoko Said Damardjati, mengingatkan, saat ini negara-negara maju dan negara berkembang lainnya sudah menerapkan standar kualitas sebagai kebijakan non tariff barrier untuk melindungi produk pertanian mereka.
"Jika di dalam negeri tidak ada standar, akhirnya negara lainlah yang akan membuat standar terhadap produk pertanian kita. Akibatnya, produk kita akan kalah ber- saing dengan produk impor," ujar Djoko pada Sosialisasi Jabatan Fungsional Pengawas Mutu Hasil Pertanian, di
Karena itu, Djoko mengatakan, kualitas produk pertanian harus dibina mulai dari pembenihan, panen, pengolahan, hingga pemasaran. Caranya, antara lain kualitas kontrol terhadap produk pertanian harus dikuasai dan dibenahi. Jika dulu petani menjual apa yang dihasilkan, maka ke depan pemikiran itu harus diubah, yakni mengetahui pasar lebih dulu, baru kemudian memproduksi.
Djoko mengakui, kebijakan pengembangan produk pertanian pada masa lalu kurang tepat karena kurang memperhatikan persoalan mutu dan cenderung hanya terfokus pada meningkatkan produksi. Padahal mutu merupakan salah satu faktor terpenting dalam persaingan pemasaran di pasar global.
"Negara-negara tetangga penghasil produk pertanian seperti Vietnam dan Thailand, sudah menerapkan standar mutu melalui pendekatan yang ditetapkan ISO. Sedangkan kita masih sulit menerapkan standar itu karena lemahnya peraturan, pengawasan, dan masih adanya kepentingan tertentu dalam membuat peraturan," ucapnya.
Contohnya, ungkap Djoko, dalam produk kakao sudah ada standar nasional Indonesia (SNI) tapi sangat sulit mewajibkan penerapan SNI tersebut. Akibatnya, hingga kini ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat selalu terkena pemotongan harga secara otomatis atau automatic detention.
Selain terhadap produk di dalam negeri, pemerintah akan memberlakukan standar untuk poduk pertanian impor. Misalnya akan diterapkan pada bawang putih.
Paling lambat, katanya, akhir tahun 2007 pemerintah akan mewajibkan penerapan standar mutu pada bawang putih untuk melindungi pasar dalam negeri. Sebab, sekitar 90 persen bawang putih yang beredar di Indonesia berasal dari luar negeri. Tanpa perlindungan, produk lokal akan semakin tergusur.
Tak Layak Konsumsi
Selama ini, banyak produk pertanian impor, terutama buah-buahan, seperti apel, jeruk, pir, anggur, dan klengkeng, masuk ke pasar dalam negeri. Padahal, produk itu sebenarnya sudah tak layak dikonsumsi karena disimpan lebih dari satu tahun di dalam mesin pendingin, bahkan ada yang lebih dari dua tahun.
Namun, Djoko mengakui, untuk menerapkan SNI harus benar-benar dipersiapkan karena akan ada risikonya. Jangan sampai penerapan SNI memberatkan produk pertanian di dalam negeri dengan produk impor. Selain itu, harus memperhitungkan nilai ekonomis suatu produk agar bisa bersaing dengan produk impor.
Selain penerapan SNI untuk menjaga mutu suatu produk, pemerintah juga akan mendorong penerapan label pada produk pertanian. Saat ini yang telah dicoba pada beras pandanwangi, agar masyarakat mengetahui keaslian produk itu. Dia mengungkapkan, hasil penelitian Litbang Deptan pada 1989 di lima kota besar, menunjukkan banyak beras pandanwangi dicampur dengan varietas lain.
Saat itu, paparnya, terjadi economic loses sebanyak Rp 240 miliar dengan kurs Rp 2.000 per US$. Jika dihitung kurs saat ini akan terjadi economic loses sebesar Rp 1 triliun. Diperkirakan, hingga kini masih banyak beredar beras pandanwangi palsu di pasaran sehingga merugikan konsumen.
Sumber : www.suarapembaruan.com