Sepanjang tahun aneka buah lokal membanjiri pasar. Buah impor pun tak kalah melimpah. Jadi, mengapa tak mencoba berdagang buah?
Setidaknya itulah yang menjadi pegangan Iwan, pedagang buah kaki lima di kawasan Petukangan Selatan, Jakarta Barat, dalam berbisnis buah. “Mulai April—September itu musim jeruk, dilanjut dengan musim mangga dari Oktober—Desember. Musim durian mulai Januari—Februari, terus duku dari Maret—April,” ujar Iwan.
Pilihannya berdagang buah lokal ternyata berbuah manis. Dalam kurun waktu setahun saja, lelaki kelahiran 6 April 1980 ini berhasil membuka delapan kios di wilayah Jakarta Barat dengan total omzet mencapai Rp200 juta/bulan. Dengan marjin keuntungan hingga 40%, bisa dihitung berapa penghasilan pria asal Muaraenim, Sumatera Selatan itu.
Gerobak, Mobil, Kios, dan Toko
Pelaku bisnis buah yang lain adalah Abdul Madjid. Berbeda dengan Iwan yang baru seumur jagung berdagang buah, ia sudah 25 tahun berdagang buah di kios Pasar Depok Jaya, Jabar. “Dulu mah di pinggir jalan, kecil-kecilan. Sekarang alhamdulillah, punya kios sendiri,” ucapnya.
Dalam sehari, lelaki asli Betawi itu meraup omzet sekitar Rp2 juta—Rp2,5 juta. Marjin keuntungannya? Lumayan. “Seperti jeruk medan ini dibeli Rp8.000/kg dan saya jual Rp12.000/kg,” beber Abdul Madjid. Jika dalam 2—3 hari buah tak laku, “Paling saya jual Rp9.000/kg, yang Rp1.000 itu buat transpor,” imbuhnya.
Segarnya bisnis buah juga menjadi jaring penyelamat bagi sejumlah karyawan yang terkena imbas pemutusan hubungan kerja (PHK). Maryono salah satunya. Mantan karyawan sebuah perusahaan kontraktor di wilayah Jakarta Barat ini berdagang buah di wilayah Pasarminggu, Jakarta Selatan. “Dari uang pesangon sebesar Rp20 juta, Rp5 juta saya gunakan sebagai modal berdagang, untuk beli buah dan bikin kios di pinggir jalan,” ujarnya.
Setelah dua tahun berjualan, ia ditawari untuk membeli kios di los buah Pasarminggu. “Meskipun agak ke dalam, saya ambil. Dari pada saya diobrak-abrik tramtib terus,” ujarnya. Omzetnya turun hingga 50%, tapi ia mengaku masih mendapat keuntungan dari pelanggan yang umumnya ibu rumah tangga di seputaran wilayah tempatnya mangkal.
Peluang lain bisnis buah juga diambil oleh Saiful yang menjual buah dari mobil bak terbuka. Berawal dari sopir pengangkut buah dan sayur dari Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, kini ia mangkal di Lenteng Agung, masih wilayah Jakarta Selatan. Apel, pir, jeruk, dan salak adalah buah yang ia jajakan di mobilnya. “Saya lihat pembelinya. Kalau saya bawa buah yang mahal nanti malah nggak laku, ‘kan percuma. Makanya saya pilih buah yang kira-kira bakal laku aja,” tuturnya.
Dengan omzet rata-rata Rp2,5 juta/hari, Saiful mengaku mendapat keuntungan sekitar 20%. “Yah, kalau dihitung-hitung, sehari saya dapat untung Rp500.000. Lumayan buat hidup sehari-hari,” ujar pedagang yang memulai usahanya sejak musim rambutan tahun lalu.
Berdagang di kaki lima, di dalam los buah pasar milik PD Pasar Djaya, atau dari mobil bak terbuka dilakoni pedagang buah untuk menjaring konsumen menengah bawah. Umumnya, para pedagang membidik konsumen dari kalangan ibu rumah tangga dan para karyawan yang umumnya pengendara motor. Itulah sebabnya lokasi memegang peranan yang sangat penting dalam bisnis buah segar ala kaki lima ini.
“Pertimbangan dalam membuka kios buah adalah lokasi. Kita lihat, rame nggak lalu-lalang mobil atau motor karena pembeli utama kita 80% adalah pengendara motor,” ujar Iwan. Hal senada dilontarkan Saiful, “Yang penting harus di jalur ramai. Seperti di sini ‘kan banyak mobil atau motor yang lewat ke arah Depok. Selain itu, dekat stasiun, jadi ramai.”
Setahun Kembali Modal
Lain kaki lima, lain pula gerai buah segar modern, pasar adem ini jelas membidik konsumen berkantung lebih tebal dibandingkan konsumen buah kaki lima. “Kita bermain di segmen premium yang harganya tidak terlalu tergantung dari pasar,” ujar Pricahyo, pemilik gerai buah segar Fress e, yang berlokasi di Margonda, Depok, Jabar.
Semangka misalnya, “Kita beli yang grade-nya bagus dan besar karena semangka yang berukuran kecil ‘kan belum maksimum matangnya, yang namanya kulit, masih tebal,” ujar mantan Development Manager Carrefour ini. Dalam sebulan, tak kurang dari 300 ton buah mampu ia pasarkan, baik melalui gerai maupun melalui layanan pesan antar.
I Made Donny Waspada, adalah pemain lain di bisnis buah level menengah atas. Sejak 1990, alumni IPB ini telah merintis gerai buah segarnya, Moena Fresh, di kampung halamannya, Bali. Wajar, jika kini ia mampu mengembangkan usahanya hingga mencapai tujuh gerai yang semuanya ada di Bali. Menurut pria yang akrab disapa Donny Melon ini, “Tujuh gerai dalam 17 tahun, cukuplah. Ibarat lokomotif, jangan jalan terlalu kencang supaya rangkaian gerbong di belakang tidak terlepas atau tertinggal,” katanya.
Omzet Moena Fresh rata-rata Rp10 juta/hari, sehingga total omzet tujuh gerainya kurang lebih Rp70 juta/hari atau Rp2,1 miliar/bulan. Donnny mengaku marjin yang peroleh dari berbisnis buah berkisar 20—30%. Jika mendapat buah yang bagus secara terus menerus dari pemasok, ia tak segan-segan mengangkat harga. “Jadi sama-sama senang, sama-sama puas,” ujar Donny.
Pendatang baru di gerai buah segar modern adalah H. Widodo. Pedagang buah di Pasar Induk Kramatjati ini baru saja membuka gerai buah bersih di Jalan Raya Bogor, Km. 21, Jakarta Timur. Di gerai buah berukuran 4,5 m x 6,5 m tersebut, dijual sedikitnya 60 jenis buah lokal maupun impor.
Dalam sehari, gerai yang baru dibuka seminggu yang lalu, beromzet sekitar Rp3 juta—Rp5 juta/hari. “Marjin keuntungan buah lokal kurang lebih 20%, sedangkan untuk buah impor berkisar 10%—15%,” ujar seorang kepercayaan Widodo kepada AGRINA. Untuk menyiasati buah yang tak terjual dalam waktu dua hari, buah disegarkan kembali dalam ruang pendingin berukuran 2 m x 6 m yang terletak di belakang gerai.
Meskipun menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, berbisnis buah segar kelas menengah atas membutuhkan investasi yang cukup besar. Menurut Pricahyo, dibutuhkan sedikitnya Rp1,75 miliar. “Sekarang ini yang paling mahal tempat. Kalau peralatan sekitar Rp400 juta, jadi modal di luar tempat ya sekitar Rp750 juta,” lanjutnya.
Kapan bisa balik modal? Menurut Pricahyo bergantung dari sumber permodalan. “Kalau pakai duit adem (uang sendiri), insya Allah bisa kembali dalam waktu setahun,” ujar lulusan teknik sipil Universitas Airlangga 1988 itu. Jika menggunakan uang pinjaman dari bank, menurut perkiraannya baru akan kembali setelah enam tahun
Modal Harus Besar
Menjadi pedagang, baik kaki lima atau gerai buah modern, bukan satu-satunya cara berbisnis buah segar. Bagi yang punya jaringan dan modal kuat, jadi pemasok buah bisa jadi pilihan. J.K.Soetanto, pemilik Boga Tani Farm di Jakarta misalnya, sudah sejak 1980-an menjadi pemasok beberapa pasar swalayan di Jawa. Dari lahan 70 ha yang ia kelola, setiap hari Boga Tani memasok 5 ton pepaya dan 4—5 ton melon.
Demikian pula Abdullah Taqwim, yang sudah lebih dari 15 tahun melakoni profesi pedagang dan pemasok buah kaki lima di seputaran Jabodetabek. Salah satu pelanggannya adalah Iwan yang sudah mendapat kelonggaran pembayaran mundur satu bon. Dalam sehari, lelaki asal Demak, Jateng, ini mampu memasarkan 20—25 ton buah, terutama jeruk dan mangga. “Saya dapat keuntungan dari komisi yang diberikan oleh petani buah, untuk mangga misalnya saya dapat Rp1 juta/truk,” ujarnya.
Di level yang lain, Martin, pemasok asal Malang, Jatim, telah mantap menjadi pemasok sayuran dan buah segar di berbagai swalayan di Jawa Timur, seperti Ramayana Group, Superindo, dan Carrefour. Dengan bendera UD Alam Jaya, arek Malang ini sanggup memasok 80 jenis buah dan sayuran dan meraup omzet sekitar Rp12 miliar/tahun. “Dipotong biaya packing, kirim, dan beban-beban kontrak, keuntungan saya sekitar 15%,” ujar Martin.
Guna meraih keuntungan tersebut, memang butuh modal yang tak sedikit. Menurut Martin, untuk melayani satu swalayan, paling tidak membutuhkan Rp100 juta, bergantung pada jenis buah yang dikirim. Modal yang besar juga dibutuhkan karena pembayaran dari pihak swalayan biasanya mundur 2—4 minggu.
Donny pun, selain mengelola toko, juga menjadi pemasok pasar swalayan di Bali dan Jakarta. Menurut dia, volume pasokan buah lokal untuk dua tempat itu sebanyak 8—10 ton sehari. Sementara omzetnya, dari satu lokasi saja mencapai Rp20—Rp25 juta sehari.
Untuk masuk pasar swalayan juga tidak mudah. Pemasok harus siap-siap mempelajari kontrak yang berhubungan dengan harga, volume, dan jadwal kirim yang ditentukan pihak swalayan, kalau perlu sampai jamnya. “Perhatikan juga item service claim yang bisa berujung penalti denda serta item potongan berupa promotion fee, rabat, marketing fee yang bisa mencapai 6%. Namun, meskipun swalayan cenderung tidak fair, tetapi bila pasokan lancar dan sesuai keinginan mereka, bisnis pasokan bakalan mulus,” terang Martin.
Teliti dalam memilih mitra kerja adalah salah satu kiat langgeng menjadi pemasok buah ke pasar swalayan. Paling tidak itulah yang dialami PT Moena Putra Nusantara (MNP), pemasok buah yang berlokasi di kawasan Jatiwarna, Bekasi, Jabar. Perusahaan yang sudah bermain buah sejak 1982 itu, hanya memasok buah ke swalayan Hero, Carrefour, Makro, dan Ramayana. “Jika harga kualitas dan harga cocok, baru kita kirim,” ujar Halimatussa’diah Lubis, Manager Marketing PT MNP.
Jadi, mana yang Anda pilih, menjadi pedagang atau pemasok buah?
Enny PT.,Yan S.,Selamet R.,Tri Pranowo, Tri Mardi,Dadang