Sebelum dijual, buah harus ditangani dengan baik mulai dari budidaya sampai pascapanen, supaya tetap diminati konsumen.
Sebagian besar buah-buahan lokal dipasarkan dalam bentuk segar. Hanya sebagian kecil dijual dalam bentuk olahan. Oleh sebab itu, penampilan, kesegaran, dan rasa buah harus tetap dijaga agar disukai konsumen serta mampu bersaing dengan buah impor.
“Dengan kualitas yang baik, posisi tawar petani menjadi lebih kuat,” ungkap J.K.Soetanto, Presiden Direktur Boga Tani Farm, produsen dan pemasok buah-buahan segar ke pasar swalayan, di Jakarta. Berbagai upaya, lanjut dia, perlu dilakukan pelaku usaha (petani, pemasok, pedagang) untuk menghasilkan buah berkualitas premium. Upaya itu meliputi budidaya yang benar dengan menerapkan teknologi tepat guna, penanganan pascapanen, penyimpanan dalam ruang berpendingin, dan pendistribusian, termasuk transportasi, yang baik pula.
Lakukan Pembinaan
Rudi Sendjaja, pemilik Toko Buah Segar di Muara Karang Jakarta Utara, menyarankan dilakukan pembinaan terhadap petani buah sehingga mereka dapat meningkatkan dan menghasilkan produksi buah berkualitas tinggi. Contohnya, dibuatkan buku panduan budidaya yang tepat, lalu diperkuat dengan sertifikasi budidaya. “Intinya agar petani mempunyai panduan, percontohan, dan sertifikasi dari produk buah yang dihasilkannya,” ucap Rudi.
Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, Deptan, menegaskan, dalam meningkatkan kualitas buah perlu diperhatikan beberapa faktor. Meliputi kondisi awal kesehatan tanaman di lapangan, termasuk penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), suhu dan kelembapan saat pascapanen (postharvest), penanganan (handling), penyimpanan (storage), transportasi, serta distribusinya.
Djoni Sapto Prijogo, pemasok buah-buahan segar di Jakarta, mengamini. Soalnya, bila tidak dilakukan, ia khawatir biaya produksi per buah menjadi tinggi sehingga harganya jadi mahal. Secara umum, lanjut dia, tingkat kerusakan buah lokal saat ini mencapai 30%—40%, dan harganya lebih tinggi dibandingkan buah impor.
Walaupun buah impor dibebani bea masuk (BM) 25%, tetap saja harganya lebih murah. Contoh, di pasar swalayan di Jakarta, jeruk impor dari China atau Pakistan dijual Rp7.000/kg. Harga ini lebih murah Rp3.000 dibandingkan harga jeruk lokal asal Medan. Padahal, di daerah asalnya, Karo-Sumut, jeruk Medan hanya dihargai Rp1.500—Rp2.000/kg. “Harga buah lokal lebih tinggi lantaran pola perkebunan yang tidak berorientasi komersial dan sistem distribusinya tidak efisien," ucap Rudi.
Jalin Kemitraan
Untuk mengontrol kualitas, kuantitas, dan kontnuitas pasokan buah lokal, Dimyati berharap ada jalinan kemitraan antara pemasok atau pedagang dengan petani. Langkah ini sebenarnya sudah ditempuh beberapa pemasok, seperti Soetanto dan Djoni.
Djoni mengawali kemitraan dengan melakukan seleksi terhadap petani mitranya. Ini dilakukan untuk mencari petani yang benar-benar ingin bermitra, bukan sekadar mencari modal saja. Alhasil, kualitas produksi buah yang bagus dari petani mitranya di atas 75%. “Hal ini terkait dengan mentalitas petani itu sendiri. Ada petani yang begitu dapat uang dipergunakan untuk kebutuhan instan, bukan untuk pengembangan usaha,” paparnya.
Dalam konteks kemitraan, Djoni memberikan petunjuk cara pembudidayaan yang benar dan meminjamkan benih. ”Kalo ndak, petani akan spekulasi saja, walaupun dikasih benih unggul tetap saja hasilnya tidak maksimal,” imbuh Djoni Melon, sapaan akrabnya.
Begitu pula PT Moena Putra Nusantara (MPN), penyuplai buah lokal ke pasar swalayan di Jabotabek. Perushaan ini melakukan pembinaan terhadap petani semangka di Banyuwangi, Lampung dan Bali, serta petani melon di Ngawi, Muntilan, dan Banyuwangi.
Halimatussa’diah Lubis, Marketing Manager PT MPN, mengaku, selama ini pihaknya memperoleh pasokan semangka dan melon dari agen dan petani mitra. Kemitraan, ada yang langsung melalui perusahaan, ada juga yang melalui agen. Dalam hal ini, agen berperan sebagai pemasok sekaligus pengontrol buah agar kualitas, kuantitas, dan kontinuitas tercapai sesuai yang diharapkan konsumen. Ia berpendapat, “Kemitraan sangat bermanfaat untuk menjaga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan buah lokal selama ini,karena buah melon dan semangka sudah menjadi primadona bagi konsumen.”
Bisa Tersaingi
Bila petani dan pemasok tidak mampu menjaga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas suplai buah-buah lokal, bukan tak mungkin nanti konsumen akan lebih memilih buah-buah impor karena kualitasnya lebih terjaga. Ahmad Dimyati memberi contoh, impor jeruk yang kini semakin merajalela dari negara-negara penghasil jeruk besar, seperti China dan Pakistan. Di negara-negara tersebut, ongkos produksi bisa ditekan dengan cara pengusahaan kebun yang lebih luas, mekanisasi produksi lebih efisien, dan teknologi pascapanen yang lebih unggul sehingga kualitas menjadi lebih baik.
Demikian pula, menurut Rudi Sendjaja, sistem pertanian (budidaya) buah-buah (termasuk jeruk) di Indonesia dari zaman kolonial sampai sekarang tidak ada perkembangan. Hal ini terkendala masih banyaknya petani bermodal kecil, bibit buah tidak standar, biaya produksi tinggi sehingga mengakibatkan harga jual buah hampir sama dengan buah impor.
Rudi memberi ilustrasi harga jeruk lokal (keprok) hampir sama dengan jeruk Australia lantaran pekebun di negara kanguru itu dapat menghasilkan jeruk berkualitas relatif lebih baik. “Apalagi, harganya bisa lebih murah karena ada proses packaging dan sentuhan teknologi,” jelasnya.
Untuk itu, perlu ada harmonisasi bea masuk tarif impor agar dapat “melindungi” jeruk lokal. Namun hal ini harus dibarengi dengan pembenahan sistem pertanian. “Jika tidak, maka pasar lokal akan dibanjiri jeruk impor, padahal kita mempunyai pasar jeruk yang besar. Bila 10% saja pasar buah kita mengonsumsi jeruk, tentu bukan jumlah yang kecil,” harap Rudi mengakhiri pembicaraan dengan AGRINA.
Yan S., Enny TP,Selamet R.,Dadang