Rabu, 13 Juni 2007

Rame-rame Merengkuh Singkong

Rencana pembangunan pabrik etanol di beberapa daerah di tanah air menggairahkan petani bertanam singkong.

 

Di Lampung misalnya, banyak petani yang mengembangkan singkong sambung lantaran dibutuhkan sebagai bahan baku etanol. Singkong sambung, yaitu singkong hasil teknik penyambungan antara singkong biasa dengan singkong karet. Batang bawah berasal dari singkong biasa varietas unggul. Biasanya batang bawah dipilih yang sudah berumur minimal 11 bulan, berdiameter sekitar 2 cm. Batang bawah yang banyak digunakan jenis singkong Kasetsart dari Thailand. Sementara batang atas berupa pucuk singkong karet (entres), berdiameter sekitar 1 cm dan panjang 15—30 cm.

Masih di Lampung, sehubungan pembangunan pabrik etanol, ada beberapa petani sawit di sana yang beralih menjadi petani singkong. Winarno di Lampung Utara dan Sartawan di Lampung Selatan, dua contoh yang mengalihkan kebun sawit menjadi kebun singkong. Mereka tidak sayang membongkar sawitnya yang sudah berumur 4 tahun (memasuki fase buah pasir) gara-gara tergiur kalkulasi usaha singkong lebih menguntungkan.

 

Bermitra

Di Jabar, Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat, tengah mengupayakan penyediaan 100.000 ha lahan singkong untuk mendukung rencana pembangunan pabrik bioetanol. Menurut Koestaman, Kepala Bidang Investasi Dalam Negeri, Badan Penanaman dan Promosi Modal Daerah (BPPMD) Jabar, investor asal Korsel hendak menanamkan modalnya senilai US$100 juta.

Menurut Agus Kordiat, Kasi Palawija Distan Jabar Agus, Distan Jabar sudah merekomendasikan daerah yang potensial ditanami singkong. Dan saat ini telah tersedia sekitar 50.000 ha yang biasa dikelola petani. Kekurangannya akan ditanam di lahan PT Perum Perhutani Unit III dan PTPN VIII.

Pun PTPN VIII, mulai mengembangkan singkong. Akhir  Februari lalu, BUMN ini menandatangani nota kesepahaman dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Kec. Pameungpeuk, Garut, untuk penanaman singkong seluas 23.000 ha. Achmad Mutaqien, Sekretaris Daerah Kab. Garut, menyebutkan, di Garut sebenarnya tersedia lahan telantar 85.000 ha.

Rodiman, Kepala Humas PTPN VIII, menegaskan, anggota ICMI di Garut Selatan akan menyediakan lahan dan menanam singkong. Sementara pihaknya menyediakan bibit unggul dan menampung  hasilnya. “Kami sedang menanam singkong varietas unggul seluas 40 ha untuk dijadikan bibit di Perkebunan Miramareu, Garut, sebelum dibagikan kepada masyarakat Oktober mendatang,” katanya.

Program tersebut melibatkan 100 koperasi yang mampu menampung 200.000 tenaga kerja. Sementara untuk penanaman singkong tahap pertama melibatkan 12.700 petani. PTPN VIII memasok PT Medco Energi yang menginvestasikan Rp200 miliar—Rp300 miliar untuk membangun pabrik etanol di Pameungpeuk.

 

Menguntungkan

Kemitraan juga dilakukan PT Madusari Lampung Indah (MLI), pabrik bioetanol di Lampung Timur. Padahal pabrik yang dibangun sejak 2006 itu ditargetkan baru beroperasi pada September 2008. Dari total lahan seluas 60 ha, yang dibangun untuk pabrik baru 20 ha.

Susilo Sugiarto, Manajer Kemitraan MLI, menuturkan, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perlu 4.000 ha kebun singkong sambung yang produktivitasnya 60—100 ton/ha. Dalam kemitraan ini petani hanya menyediakan lahan, sementara MLI memasok modal dan menjamin pasar. Paket modal berupa bibit, kompos, pestisida, dan kapur dolomit, senilai Rp5,5 juta atau Rp6,5 juta setelah ditambah bunga.

Sampai Mei lalu, MLI sudah bermitra dengan 1.400 petani di 46 desa di Lampung Timur. Kemitraan itu baru mencakup luasan 1.600 ha. “Saat ini, harga kontrak yang sudah disepakati Rp280/kg. Tapi harga ini akan kami tingkatkan karena harga singkong di pasaran sudah menembus Rp350—Rp400/kg,” urai Susilo. Menurutnya, dengan harga Rp300/kg saja, petani bisa untung Rp8 jutaan. Pasalnya, produksi singkong sambung minimal bisa 60 ton/ha sehingga hasil kotornya Rp18 juta.

Untuk mengejar target produksi, MLI memberi bimbingan teknis usaha tani, termasuk memperhatikan kesuburan tanah. “Kalau asal tanam saja sih bisa. Tapi kita ingin produktivitas singkong yang ditanam petani meningkat, sehingga masalah kesuburan tanah harus diperhatikan,” urai Susilo. Memang, “Selain jaminan pasar, kami juga menerima alih teknologi dari Madusari,” jelas Pardiono, petani plasma MLI di Desa Nabung Baru, Merga Tiga, Lampung Timur. Pardiono, yang juga Ketua Kelompok Tani Singkong Sambung di desanya, menambahkan, pihaknya sudah beberapa kali menerima pelatihan dari MLI. Pelatihan itu di antaranya mencakup penguatan kelembagaan dan pengembangan usaha.

 

Dadang, Yan, Muhanda

 

Pilih-pilih Sumber Modal

Boleh dibilang, dulu para petani singkong nyaris tidak tersentuh sumber permodalan yang resmi. Apa boleh buat, untuk mempertahankan hidup, mereka mencari tambahan modal usaha kepada pemilik modal kuat, seperti bandar. “Untuk ongkos produksi, setiap tahun saya meminjam tambahan modal kepada pemasok pabrik tapioka,” aku Samega, petani singkong di Desa Madukoro, Kotabumi Utara, Lampung Utara.

Kini, setelah singkong naik daun lantaran banyak dibutuhkan sebagai bahan baku bioetanol, pihak perbankan mulai melirik keberadaan usaha tani ubi kayu ini. Bank Rakyat Indonesia (BRI) misalnya, sudah menyalurkan kredit KKP untuk petani singkong. Nilai per paket kredit yang dikucurkan Rp2,14 juta (sesuai ketetapan Deptan). Menurut Siti Adimurwani, Wakil Kepala Divisi Kredit Program BRI, pihaknya sudah menyiapkan dana KKP Rp148,5 miliar.

Per Maret lalu, menurut Siti, dari plafon KKP tersebut baru tersalurkan Rp118 miliar. Khusus untuk pembiayaan singkong, BRI baru melaksanakan di Kantor Cabang Tanjung Karang dan Bandar Jaya, keduanya di Lampung. Kredit yang terealisasi sebanyak Rp31 miliar yang diserap 56 kelompok tani.

Namun, memperoleh kredit itu tak mudah. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi petani adalah:

§         Sudah berusia 21 tahun ke atas atau sudah menikah.

§         Melampirkan foto kopi KTP atau surat keterangan domisili dari kepala desa.

§         Memegang bukti kepemilikan lahan atau surat kuasa garap dari pemilik lahan yang diketahui oleh kades.

§         Tidak memiliki tunggakan kredit dengan bank.

§         Harus menjadi anggota dalam satu kelompok yang terdaftar pada dinas setempat.

§         Kelompok tani menyusun Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang memuat kebutuhan bibit, pupuk, dan biaya penggarapan masing-masing anggota. RDKK ditandatangani pengurus kelompok dan direkomendasikan oleh PPL dan perusahaan mitra.

 

Dadang, Peni SP

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain