Memang, singkong sedang naik kelas. Sumber makanan sangat murah ini, kini tak hanya berperan sebagai tumbal ketika harga beras tak terjangkau rakyat jelata. Keberadaannya mulai diperhatikan ketika ia diketahui bisa dijadikan sumber bahan bakar tergantikan, bioetanol.
Banyak pengusaha yang sekarang menanamkan modalnya untuk membangun pabrik bioetanol. Tentu saja pabrikan ini menjadi pasar baru yang menjanjikan. Imbasnya, harga singkong tak lagi jeblok. Berikut pengalaman beberapa petani yang menikmati keuntungan dari naiknya harga ubi kayu ini.
Iran Sembiring
Saatnya Menikmati Keuntungan
Lika-liku usaha tani singkong cukup banyak. Salah satunya, harga jual hasil panen yang tidak stabil. Misalnya, saat panen raya harga anjlok sampai Rp100/kg. Malahan dulu, hanya Rp30—Rp50/kg. Demikian diutarakan Iran Sembiring, petani singkong di Desa Tanjung Ratu, Way Pungguan, Lampung Tengah.
Itu cerita ketika singkong belum dilirik para pengusaha bioetanol. Awalnya, singkong hanya diperlukan sebagai bahan makanan dan pakan ternak. Tapi kini gengsinya naik lantaran bisa juga dijadikan bahan bakar.
Tahun lalu, harga singkong di Lampung masih sekitar Rp250/kg. Awal tahun ini, harganya merangkak naik menjadi Rp280—Rp350/kg. Bulan lalu, harganya bahkan sudah menembus Rp400/kg.
“Dalam 5 bulan terakhir, harga singkong di tingkat petani cukup bagus, rata-rata Rp400/kg. Dengan harga itu, petani akan menikmati keuntungan,” ucap Iran yang sudah 10 tahun menjadi petani singkong. Ia memberi contoh, dari 2 ha kebun singkong miliknya diperoleh 60 ton. Dengan harga Rp400/kg, ia memperoleh Rp24 juta. Setelah dikurangi biaya produksi Rp2,5 juta/ha, selama 10 bulan, ia mengantongi keuntungan Rp19 juta.
Menurut pria kelahiran Karo, Sumut, 1962, ini, biaya produksi singkong meliputi ongkos mengolah tanah, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pestisida, dan panen. Di tempat dia, biaya mengolah tanah sekitar Rp300.000/ha. Untuk penanaman dan pemeliharaan masing-masing Rp300.000 serta Rp500.000. Sementara modal pembelian pupuk dan pestisida masing-masing Rp800.000 serta Rp200.000. Terakhir, biaya untuk panen, besarnya sekitar Rp300.000—Rp400.000/ha.
Sembiring bisa menikmati harga bagus lantaran seluruh produksi ia jual langsung ke pabrik tapioka. Namun, kebanyakan petani singkong di Lampung menjual hasil produksi melalui perantara. Dari perantara inilah kemudian singkong sampai di perusahaan pengolah. Harga penawaran dari perantara, bulan lalu, rata-rata lebih rendah Rp50/kg.
Badrun
Sehari Dapat Rp300.000
Tingginya kebutuhan bibit singkong di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, ditangkap Badrun sebagai peluang usaha menggiurkan. Alkisah, Oktober 2006, di desanya, Bangun Sari, Tanjung Bintang, laki-laki ini mulai menancapkan keinginan untuk mengubah nasib dari petani penggarap menjadi petani pengusaha.
Badrun memilih menjadi pengusaha bibit singkong sambung lantaran banyak dibutuhkan para pemilik lahan singkong. Berbekal pengalaman dari menggarap kebun dan bekerja di pembibitan singkong, ia mulai memproduksi bibit singkong sambung sendiri dengan modal Rp470.000. Dengan modal itu, ia mampu membuat bibit sebanyak 1.000 batang. Setelah dipelihara 2 minggu, bibit itu sudah bisa dijual.
“Saya khusus membuat bibit singkong sambung, tidak menanam untuk dipanen. Sebab, saya tidak punya kebun,” aku Badrun. Ketiadaan lahan bukan alasan Badrun untuk mengusahakan bibit. Pekarangannya yang cuma seluas 20 m2 ternyata bisa disulap menjadi lahan usaha.
Ketika memulai usaha, Badrun baru mampu memasok bibit 1.000. sehari. Dengan dibantu 3 pekerja, kini dalam sehari pria asal Jatim ini mampu menyediakan 2.000 bibit. Satu bibit singkong sambung ia jual Rp350.
Untuk mendapatkan bahan berupa batang bawah dan batang atas, Badrun membeli dari kebun yang sedang panen. Batang bawah dibelinya seharga Rp80/batang, sedangkan batang atasnya Rp50/batang. Setelah ditambah biaya tenaga kerja, plastik untuk mengikat sambungan, dan pemeliharaan (penyiraman), biaya produksi per bibit jatuhnya Rp200. Jadi dari setiap bibit, Badrun kebagian untung Rp150.
Samega
Dulu Preman, Kini Pengusaha Singkong
Tak disangka, singkong mampu meluluhkan hati seorang preman sekelas Samega. Ya, hingga akhir 2002, di Desa Madukoro, Kotabumi Utara, Lampung Utara, Samega dikenal sebagai preman yang cukup ditakuti.
Namun, sejak 2003, kepremanan Samega sirna. Bukan lantaran kalah berduel, melainkan ia beralih profesi sebagai petani singkong. “Saya menjadi petani singkong sejak 4 tahun silam karena saya ingin mengubah hidup,” aku bapak dua anak ini. Di atas lahan ¼ hektar miliknya, ia menanam 2.225 batang singkong sayur (singkong biasa).
Langkah Samega itu ternyata berhasil. Selang setahun, ia mencoba mengembangkan singkong sambung (singkong untuk tapioka atau etanol). Ia menanam 1.900 batang yang 600 batang di antaranya merupakan bantuan dari PLN. “Bantuan dari PLN itu nilainya Rp3 juta yang digunakan untuk membeli bibit, pupuk kandang, dan biaya perawatan,” ucap pria kelahiran 1974 ini.
Jerih payah Samega membuahkan hasil. Selain ¼ ha lahan miliknya, kini ia mampu menyewa lahan. Total luas kebun yang digarapnya mencapai 5 ha. Kebun tersebut dirawatnya dengan baik. Setiap hektar diberi pupuk kandang 150—200 kg dan 250—300 kg pupuk pabrik (kimia).
Saat AGRINA berkunjung, singkong sambung milik Samega sudah berumur 5 bulan. Hebatnya, dari sampel yang ia ambil, bobotnya sudah mencapai 15 kg/tanaman. Ia yakin betul, 5—6 bulan kemudian, ketika dipanen, produksinya tak kurang dari 30 kg/tanaman.
Samega menghitung, dari singkong sambung saja bisa menghasilkan 57 ton. Dengan harga jual Rp400, ia akan memperoleh hasil penjualan Rp22 juta. Belum lagi pendapatan dari kebun singkong biasa.
Untuk memasarkan produksi, Samega bermitra dengan salah satu pemasok pabrik tapioka. Selain menampung hasil, mitra itu memberikan bantuan permodalan untuk biaya produksi. “Kerjasama ini sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak,” tandasnya.
DadangWI, Yan Suhendar