Embargo ekspor ikan Indonesia ke Uni Eropa (UE) barangkali hanya tunggu waktu. Ancaman itu sudah terjadi sejak 2004, tetapi beruntung tidak terwujud selama ini.
Perkembangan terakhir menunjukan UE sebagai importir tidak main-main. Bila Indonesia tidak serius dalam menjawan tuntutan pasar UE, dalam waktu singkat, palu embargo bisa dijatuhkan.
Sikap tegas UE sudah dibuktikan terhadap Pakistan. Negara bekas jajahan Inggris itu sejak 12 April 2007 dihukum embargo seluruh produk perikanannya secara sepihak oleh UE. Pakistan tidak bisa berbuat apa-apa.
Awalnya ada asumsi sebagai bekas jajahan negara Eropa, Pakistan akan ditolong, setidaknya dengan bantuan lobi Inggris ke Komisi Eropa di Brussels. Namun Asumsi itu salah. Embargo yang sudah terjadi membuktikan bantuan lobi tidak ampuh, sia-sia.
Embargo itu merupakan kulminasi dari proses yang panjang. Pada Januari 2005, Food And VaterinaryOffice (FVO) UE menginspeksi ekportir perikanan Pakistan.
FVO juga memriksa seluruh sistem produksi yang ada, terutama di Karachi fish Harbour. Intinya, semua proses produksi serta produk perikanan harus sesuai dengan standar kualitas Uni Eropa. Inspeksi itu memberi rekomendasi dan kesempatan bagi produsen perikanan Pakistan untnuk memperbaiki diri.
Dua tahun kemudian, pada 22 – 26 Januari 2007, inspeksi diadakan lagi. Hasilnya seperti di atas, tidak ada kemajuan yang berarti pada sistem produksi perikanan Pakista,
Produk yang dihasilkan masih berkualitas rendah dan tidak layak bagi konsumen UE. Keputusan embargo pun diambil. Dengan demikian, Pakistan hilang kesempatan meraup US$ 50 juta setahun dari ekspor ke UE.
Memang hanya ada 11 perusahaan ekspor di negara itu. Tetapi di balik para eksportir itu, ada ratusan ribu bahkan jutaan produsen skala kecil yang kena dampaknya. Ada pengaruh bola salju dengan embargo ini.
Hal itu dibuktikan dengan jatuhnya harga ekspor produk Pakistan sebesar 20% ke negara lain hanya seminggu setelah diumumkan akan ada embargo oleh UE. Reputasi Pakistan di pasar global produk perikanan pun terpuruk. Hal ini karena importir perikanan dunia mengeksploitasi posisi Pakistan yang lemah.
Target nilai ekspor US$ 169 juta mungkin tidak akan tercapai. Lebih menyakitkan tentu bila dihitung dampak lanjutannya terhadap ribuan produsen berskala kecil.
Nasib Indonesia
Nasib Indonesia sebetulnya tidak berbeda dengan Pakistan. Ancaman embargo itu ada, bahkan sangat mungkin terjadi, bila tidak ada perbaikan secara substansial pada sistem produksi serta pengendalian mutu ikan Indonesia yang akan diekspor ke UE.
Kebijakan UE seperti ini tidak diambil begitu saja, tetapi melalui bukti dan fakta. Di mana sebagaian ikan yang masuk ke wilayahnya tidak layak dimakan konsumen. Bahkan tidak layak sebagai pakan hewan sekalipun.
Supaya tidak terjadi embargo dan dengan pendekatan preemptive, inspeksi dilakukan aparat UE di Indonesia pada 2004 dan 2005. dua tahun sebelumnya, inspeksi serupa tidak perlu dilakukan, karena sejak 2002 sistem pengendalian mutu di Indonesia sudah harmoni dan kompatibel dengan yang berlaku di UE.
Saat itu, otoritas UE mengakui sistem produksi dan pengendalian mutu sudah dibangun Indoneisa. Ekspor ke UE dapat dilakukan dengan relati mudah dan tiba dengan lancar di tangan konsumen, karena tidak perlu lagi diuji laboraturium di pelabuhan negara UE.
Tetapi perkembangan pasar terus terjadi. Tuntutan kualitas konsumen UE terus berkembang. mereka menolak kandungan antibiotik, logam berat, histamin dan bakteri salmonela.
UE tidak menerima produk makanan yang dihasilkan secara tidak jelas asal-usulnya. Mereka juga tidak menghendaki produk makanan yang dihasilkan melalui cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
Pada saat yang sama, sistem pengendalian mutu di Indonesia juga mengalami degradasi. Pengujian mutu produk pre ekspor yang tadinya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat didelegasikan ke daerah.
Padahal, banyak daerah yang belum mampu melakukan itu. Maka akhirnya runtuhlah sistem yang sudah secara internasional diakui itu.
Akibatnya, setelah inspeksi UE ke Indoneisa pada 2004 dan 2005 ditemukan sistem pengendalian mutu kedau belah pihak, yang tadinya harmoni dan kompatibel, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, di satu pihak UE makin maju, tapi di lain pihak Indonesia berlari di tempat, bahkan mundur.
Karena itu, UE memberi hukumna yang sebetulnya sudah tergolong berat yang meningkatkan biaya dan menurunkan daya saing eksportir. Pascainspeksi 2005, semua produk perikanan ndonesia yang diekspor ke UE harus diuji secara menyeluruh.
Seluruh isi peti kemas yang tiba di setiap pelabuhan di negara anggota UE marus diuji kelayakannya apakah aman dimakan oleh konsumen.
Tim Lobi
Bukan itu saja. Meskipun produk tersebut sudah lolos di pelabuhan impor, bila diuji kembali di pasar eceran ternyata mutunya jelek, maka produk itu harus ditarik dari pasaran. Selain itu, UE mengharuskan Indonesia secara total memperbaiki sistem produksi dan pengendalian mutu.
Maka Indonesia pun mencari solusi total. Sudah sekian banyak tim lobi yang berkali-kali datang ke brussels untuk menyakinkan Komisi eropa bahwa Indonesia mau memperbaiki diri.
Hubungan formal dan informal juga dibangun dengan pemerintah dan swasta Belanda. Harapannya, saudara tua itu akan ingat bekas jajahannya. Setidaknya seperti Inggris dan Perancis yang memperhatikan nasib negara-negara bekas jajahan mereka, Belanda juga diharapkan akan berbuat hal yang sama untuk Indonesia.
Perbaikan juga dilakukan di dalam negeri dengan melengkapi laboraturium di daerah dengan alat uji mutu yang canggih. Kapasitas lembaga di tingkat pusat juga diperkuat SDM yang berkualitas tinggi direkrut.
Namun, itu semua belum cukup untnuk mengamankan ekspor Indonesia ke Eropa. Selama ini, ekspor ke eropa bernilai US$300 juta per tahun.
Pada awal Februari 2007, inspektur UE datang lagi ke Indonesia, persis seperti yang dilakukan di Pakistan.
Hal itu mereka lakukan, karena 36 kali ekspor Indonesia kedapatan tidak layak mutu selama 2006. UE juga mengevaluasi apakah janji Indonesia untuk memperbaiki sistem produksi dan pengendalian mutu, benar-benar sudah dilaksanakan.
Namun, pinalti embargo UE sebagai salah satu satu konsumen besar dunia itu belum dijatuhkan terhadap Indonesia. Kita berharap pinalti itu tidak akan ada sama sekali.
Karena bila hal itu ada, bukan saja usaha lebih dari 100 eksportir akan tutup, tetapi dibalik itu, ada jutaan nelayan dan produsen berskala kecil yang akan terkena dampaknya. Seperti yang terjadi dengan Pakistan, pinalti itu juga akan meruntuhkan pasa ekspor Indonesia ke negara lain.
Pelajaran lain dari pengalaman Pakistan bahwa lobi ke Komisi eropa dan Belanda perlu. Tetapi yang lebih penting lagi adalah pembinaan oleh pemerintah dan produsen di daerah. Mereka sesungguhnya yang menentukan kualitas produk Indonesia.
Oleh : Victor PH Nikijuluw Dosen Program Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB
Sumber : Harian Bisnis Indonesia