Walaupun diusahakan secara tradisional, beternak itik mampu meningkatkan kesejahteraan para peternak. Seperti biasa, usai sholat subuh, Warkiya, menyambangi kandang untuk memungut telur. Dari 1.000 ekor itik yang ia pelihara, setiap hari terkumpul 600—650 butir telur. Sejak 1981, pria lulusan SD ini mengukuhkan diri menjadi peternak itik di Babadan, Gunung Jati, Cirebon, Jabar. “Alhamdulillah, hasil dari bebek (itik) ini mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga,” akunya. Keberhasilan Warkiya juga dialami para peternak itik lainnya yang sempat ditemui AGRINA di Jabar, Jateng, dan Jatim. Majunya usaha itik Warkiya terkait erat dengan pengembangan pola kelompok ternak yang dirikannya sejak 1998. Bersama peternak lain, ia mendirikan Kelompok Tani Ternak Agribisnis Itik “Bebek Jaya”. Kelompok ini berhasil membangun sistem usaha agribinis mulai dari produksi pakan sampai pemasaran hasil. Dan, sampai sekarang desanya dijadikan salah satu sentra budidaya itik petelur di Cirebon. Selain Cirebon, di Jabar itik berkembang di beberapa kabupaten lainnya. Berdasar data Ditjen Peternakan, Deptan, Jabar terbilang sentra itik terbesar dengan populasi 5,9 juta ekor, atau 16—17 % dari populasi nasional. Posisi kedua dan ketiga dipegang Jateng dan Kalimantan. Tahun lalu populasi itik di Jateng mencapai 4,9 juta ekor. Sedangkan di Kalsel sebanyak 3,2 juta ekor. Secara nasional, populasi itik terus meningkat. Pada 2006, populasinya 34,6 juta ekor atau naik 6,8% dari tahun sebelumnya. Modal Kecil Selama ini, usaha tani itik masih terkonsentrasi sebagai penghasil telur. Sementara dagingnya merupakan penghasilan sampingan dari itik afkir. Menurut pengakuan beberapa peternak, usaha itik petelur lebih menjanjikan ketimbang itik pedaging. Warkiya berpendapat, menjadi peternak itik petelur itu tenaganya lebih ringan, tapi penghasilannya lumayan. Pendapatan harian diperoleh dari penjualan telur, dan penghasilan bulanan bisa dari itik afkir. Hal senada diutarakan Raharjo, Ketua Kelompok Tani Ternak Itik (KTTI) “Adem Ayem” di Pakijangan, Bulakamba, Brebes, Jateng. “Modal beternak itik tidak terlalu besar. Biaya utama hanya untuk membeli anak itik (day old duck-DOD) yang harganya Rp4.500—Rp5.000/ekor,” ucapnya. Biasanya, lanjut dia, di Brebes peternak membeli 500 ekor DOD. Jumlah ini menjadi patokan agar memperoleh keuntungan minimal. Dari 500 ekor, setiap hari diperoleh 350—400 butir telur. Dengan harga jual Rp800—Rp850/butir dapat diperoleh hasil penjualan Rp280.000. Setelah dikurangi biaya pakan dan obat-obatan sebanyak Rp150.000—Rp180.000, keuntungan bersihnya Rp90.000—Rp100.000 sehari. Menurut Prof. Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc., pakar itik dari Fakultas Peternakan IPB, jumlah keuntungan itu wajar. Soalnya, memelihara itik memang tidak terlalu rumit. Selain itu, kematian itik rendah dan produksi telurnya jauh lebih bagus ketimbang ayam kampung. Walaupun begitu, menurut Rekso Sulaiman, peternak itik dari KTTI Purwadiwangsa, Pesurungan Lor, Margadana, Tegal, yang harus diperhatikan pertama kali ketika beternak itik adalah wataknya. Itik tidak bisa disamakan dengan mesin untuk terus berproduksi. Permintaan DOD dan Pullet Tinggi Perkembangan itik di Cirebon cukup pesat. Hal ini berkat pola pengembangan sumber bibit, budidaya, dan pembesaran (CBU). Karena itulah Cirebon terkenal sebagai distributor bibit dan telur itik ke seluruh Indonesia. Ir. Setyo Utomo, dari Dinas Peternakan Kab. Cirebon, mengatakan, kerja keras ini membuahkan "Satya Lencana Pembangunan" dari pemerintah pusat. Anugerah ini berkat kebijakan pengembangan peternakan itik dalam bentuk kawasan dengan sentuhan prinsip agribisnis. Usaha yang semula hanya usaha turun-temurun dalam skala kecil, lalu disulap menjadi usaha strategis yang sangat menguntungkan sehingga bisa berkembang pesat. Data Dinas Peternakan Kab. Cirebon mencatat, populasi itik sebanyak 340.000 ekor yang menghasilkan telur hampir 3.400 ton/tahun. Dengan daya tetas 70—80%, sentra ini memproduksi bibit itik umur sehari (day old duck-DOD) hampir 2,9 juta ekor/tahun. Setyo Utomo memaparkan, jumlah itu pun masih jauh dari potensi pasar yang ada. Untuk konsumsi wilayah Jabar, Jateng, dan DKI saja mencapai 44.000 ton telur dan 4,3 juta ekor DOD per tahun. Ada tiga sentra peternakan itik di Kab. Cirebon, yakni Kapetakan, Gunung Jati, dan Losari. Produksi telur tetas dan DOD dikonsentrasikan di Kapetakan. Sementara itu, sentra produksi telur dan itik bayah (dara) di Losari dan Babadan. Ahmad Sobirin, Ketua KTTI Branjangan Putih Muda, produsen bayah di Desa Panggangsari, Kec. Losari, Cirebon, mengungkap, permintaan akan itik pullet atau dara masih tetap tinggi. “Saat ini permintaan ke kami hingga 5.000—6.000 ekor/minggu. Permintaan dari luar kota seperti Bandung, Banten, Lampung tidak dapat terpenuhi karena kami hanya mampu menyuplai 2.000—3.000 ekor/minggu,” ucapnya. Sementara, permintaan DOD juga sangat tinggi. Abdul Wakhid, Ketua Tani Ternak Tigan Mekar di Desa Karanganyar, Pangurangan, Cirebon, misalnya, setiap hari mampu memasok mitranya sekitar 5.000 DOD di Cirebon, Brebes, Tangerang, Banten, dan Lampung. Pesatnya usaha peternakan bebek bisa dilihat terutama di Desa Karanganyar, Kec. Panguragan, Cirebon. Sebanyak 570 KK terjun dalam usaha penetasan telur bebek dan produksi itik dara. Lain halnya, di sentra Dusun Tawangsari Kejapanan-Gempol, Jatim. Hasan Bisri mampu membuat pembibitan persilangan itik. Ia berani membuat pembibitan karena istrinya mempunyai latar belakang pendidikan Biologi. ”Karena itu kami sering bereksperimen hingga menghasilkan persilangan Jabelpas (Jawa, Khaki Campbell, Pasuruan). Hasilnya bagus, kita punya parent stock-nya,” jelas Hasan. Sayangnya, Hasan terkendala modal untuk pengembangan ke arah pembibitan. Padahal prospeknya bagus seandainya ada modal atau pinjaman lunak untuk pengembangan ini dari pemerintah. Sentra Telur Asin Telur asin sebagai hasil akhir agribisnis itik banyak dijumpai di Brebes dan Tegal, Jateng. Produksi telur asin yang telah menjadi trademark di kota penghasil bawang merah itu mencapai 1.591.500 butir/bulan. Melimpahnya produksi telur asin di Brebes tak terlepas dari tingginya populasi itik di sana yang 604.586 ekor. Produksi telurnya 53.055.030 butir/tahun. Saat ini tercatat 1.312 peternak itik yang tergabung dalam 10 kelompok tani ternak itik (KTTI). “Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan peternak unggas lain, seperti peternak ayam petelur ataupun peternak ayam pedaging,” Jhoni Murahman, Kepala Seksi Kesehatan Hewan, Kantor Peternakan Kabupaten Brebes. Usaha peternakan itik tumbuh di Brebes dan Tegal sejak awal 1970-an. Awalnya itik digembalakan di persawahan dan sungai oleh para petani di tengah kesibukan bercocok tanam. “Beternak itik dulu hanya sambilan. Sekarang sudah menjadi pekerjaan utama,” ungkap Atmo Suwito Rasban, Ketua Koperasi Adem Ayem di Desa Pakijangan, Bulakamba, Brebes. Sedangkan di Tegal, populasi itik mencapai 119.910 ekor dan produksi telur 17.200.000 butir/tahun. “Sentra peternakan itik dapat dijumpai di Desa Pesurungan Lor dan Desa Margadana Kecamatan Margadana,” jelas Ir. Nunik Pratiwi, Kepala Bidang Peternakan, Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal, Jateng. Bambang Haryo Wicaksono, Ketua KTTI Purwadiwangsa, Tegal, mengatakan, beternak itik sudah menjadi pekerjaan utama anggota kelompoknya. Mereka menerapkan metode pemeliharaan intensif dengan cara dikandangkan. Meniru jejak tetangganya, saat ini Tegal sedang giat memacu industri rumah tangga pengolahan telur itik yang menyerap 30% telur segar produksi peternak setempat. Hal ini merangsang peternak menambah populasi itik dan memperbaiki manajemen peternakannya. Perlu Diversifikasi Di luar kedua sentra tersebut, bisnis daging bebek mulai menggeliat dalam 1—2 tahun terakhir. Hal itu dapat dilihat dari menjamur resto bebek goreng, sate bebek, rumah makan bermenu bebek di tanah air. Linus Simanjuntak, peternak tiktok di Sawangan, Depok, membenarkan, permintaan bebek pedaging terus meningkat, sedangkan peternakan bebek di “Ini peluang pasar baru buat daging bebek. Untuk itu perlu ada usaha khusus bebek pedaging dari strain bebek pedaging,” saran Prof. Peni. Namun, peternak masih enggan membudidayakan bebek pedaging karena memang keuntungannya belum menjanjikan. Ini dibenarkan Syahroni, peternak itik anggota KT Ternak Sumber Pangan, Brebes. Kalau bebek umur 1 minggu dipelihara selama 5,5 bulan kemudian dijual sebagai itik pedaging dengan harga Rp20.000/ekor, untungnya tipis, hanya Rp2.500/ekor. Hal senada diungkap Sugiharto, Ketua Kelompok Ternak Itik Maju Jaya, di Desa Panimbungan Wetan, Brebes. Anggota kelompoknya sempat mencoba membudidayakan bebek pedaging, tapi merugi sehingga beralih lagi ke itik petelur. Lain halnya dengan Santoso yang sukses memelihara tiktok. Setelah dipelihara selama 1,5—2 bulan, tiktok laku dijual dengan harga Rp25.000/ekor. “Jika biaya pembesaran tiktok Rp20.000/ekor, maka keuntungannya Rp5.000/ekor,” jelas Santoso. Jadi pilih mana, produksi telur atau pedaging? Yan S., Enny P., Selamet R., Dadang, Indah RP