Sampai sekarang, produk andalan dari usaha tani ternak itik adalah telur. Sementara dagingnya menjadi penghasilan sampingan setelah itik diafkir. Walaupun itik potong berpeluang untuk dikembangkan, para peternak itik nasional belum banyak tergiur mengusahakannya. Menurut mereka yang mengusahakan itik di sentra produksi di Jawa, itik yang ada sekarang lebih menguntungkan dijadikan itik petelur. Berikut petikan wawancara dengan para peternak itik di Jabar, Jateng, dan Jatim. Warkiya Untung Rp100.000/Hari Dibandingkan jadi petani padi, penghasilan peternak itik lebih besar. Tenaganya pun lebih ringan, dan bisa memperoleh uang harian. Itulah kesimpulan Warkiya, Ketua Kelompok Tani Ternak Agribisnis Itik “Bebek Jaya”, di Desa Babadan, Kec. Cirebon Utara, Cirebon, Jabar. Pria yang hanya tamat SD ini memberi ilustrasi, petani yang memiliki satu hektar sawah rata-rata memperoleh hasil penjualan padi Rp7,5 juta (6 ton x Rp1.500/kg). Setelah dikurangi biaya produksi Rp6 juta, keuntungannya hanya Rp1,5 juta/musim (3 bulan). Sedangkan dari beternak itik, imbuh pria kelahiran 1957 ini, dengan memelihara 500 ekor saja, keuntungan tiap hari bisa Rp100.000, atau Rp3 juta/bulan. “Kalau mau untung dari usaha tani ternak itik, minimal mesti memiliki 250 ekor. Rata-rata produksi 60%, sehingga kebutuhan pakan yang Rp60.000/hari bisa tertutupi dari hasil penjualan telur, dan masih ada untung,” ucap Warkiya. Saat ini Warkiya memiliki 1.000 ekor itik. Walaupun yang berproduksi hanya 50%, dia masih menikmati keuntungan cukup besar. Betapa tidak, dengan harga jual telur Rp850/butir, pria ini memperoleh hasil penjualan Rp425.000/hari. Setelah dikurangi biaya pakan Rp250.000/hari, dia masih untung Rp175.000 sehari. “Gara-gara harga pakan naik, saya pernah punya utang Rp3 juta. Tapi dalam satu bulan, saya sudah bisa melunasinya,” jelasnya. Dari pengalaman Warkiya, itik mulai berproduksi bagus pada bulan ke empat (April). Soalnya, pada Januari—Maret pesawahan di Cirebon terkena banjir sehingga itik stres. Setiap 4 bulan, itik rontok bulu, dan saat bulunya tumbuh kembali dilakukan seleksi. Yang tidak produktif langsung diafkir. Itik afkir itu dikumpulkan di koperasi untuk dikirim ke Jakarta, Surabaya, dan Bandung, sebagai itik potong. Raharjo Perlu Digembalakan “Kami tidak mengusahakan bebek (itik) dari pullet, tapi dimulai dari DOD (day old duck/anak itik umur sehari),” ungkap Raharjo, Ketua Kelompok Tani Ternak Itik (KTTI) “Adem Ayem”, di Desa Pakijangan, Kec. Bulakamba, Brebes, Jateng. DOD dibeli seharga Rp3.500—Rp4.500/ekor. Di Brebes, biasanya itik digembalakan di sawah selama 4—5 bulan, lalu setelah masuk masa produksi baru dikandangkan. Ini dilakukan untuk mengirit pakan. “Jika dikandangkan sejak kecil, terlalu mahal biaya pakannya. Selain itu, produksi kurang bagus dan itik cepat rontok bulu. Jika rontok, itik mogok bertelur,” ucapnya. Menurut pria yang sudah jadi peternak itik sejak 1995 ini, grafik produksi telur sangat tergantung cuaca dan cara penanganan itik. Mestinya, lanjut dia, tambah hari produksi harus naik. Umpamanya, pada fase awal bertelur 100 butir, maka harus mencapai puncaknya 70%—80% selama 6—7 bulan. Lalu turun lagi saat rontok bulu selama 2—3 bulan. Produksi kembali mencapai puncak selama 6—7 bulan juga. Berarti mencapai 2 kali puncak produksi. Setelah umur dua tahun, bebek diafkir dan dijual untuk dipotong. “Puncak produksi efektif dimulai setelah 1—2 bulan dikandangkan. Produksi akan turun 1—2 bulan sebelum rontok bulu. Tapi hal ini sangat tergantung mutu bebeknya sendiri,” jelas Raharjo. Untuk menjaga stamina itik, Raharjo dan peternak kelompok Adem Ayem membuat formulasi pakan berupa paduan 40% bekatul, 40% ikan yang sudah digiling, 15% nasi aking (nasi sisa yang dikeringkan), dan hijauan (kangkung). Misalnya untuk 100 ekor, dibutuhkan pakan 20 kg, terdiri dari 8 kg bekatul, 8 kg ikan, 2 kg aking, dan sisanya hijauan. Total biaya pakan sekitar Rp22.000—Rp23.000/100 ekor/hari. Dengan sistem itu, rata-rata produksi telur mencapai 60%. Dengan harga telur Rp820/butir, yang ditampung koperasi, dari 100 ekor diperoleh hasil penjualan Rp49.200/hari. Setelah dipotong biaya pakan dan biaya lain, Rp25.000/hari, diperoleh keuntungan Rp24.200 sehari. Hasan Bisri Tambal Sulam Berawal pada 1991, Hasan Bisri hanya bermodalkan kemauan dan tekad yang keras mengawali usaha ternak itiknya. Dengan memanfaatkan limbah pabrik pengalengan udang berupa kulit dan kelapa sebagai pakan, itik miliknya terus berkembang dari 200 menjadi 1.000 ekor. ”Dulu sempat ragu juga, apakah tetangga saya setuju kalau memelihara itik, sebab kotorannya bau,” kenangnya. Namun, setelah ia berbagi ilmu dengan tetangganya di Dusun Tawangsari, Kejapanan-Gempol, Pasuruan, Jatim, akhirnya banyak yang mengikuti jejaknya. Karena kiprahnya itu, Hasan diangkat menjadi Pemuda Pelopor KTNA. Populasi itik di Kejapanan sekarang sudah mencapai 12.000 ekor. Tidak salah jika bapak yang ramah dan suka berbagi ilmu ini mendapat penghargaan hingga 3 kali sebagai Juara Nasional dan mewakili Penas di Palangkaraya, Manado, dan Palembang. ”Berkat dukungan teman-teman, usaha kami berkembang, dan mendapat penghargaan. Pada 2005, Juara Kelompok Tingkat Nasional Ruminansia Peternakan, sehingga dua kali saya ke istana,” papar Hasan yang sempat dikomplain anggota lainnya karena usaha warung bebek goreng dan telur asin, yang juga milik dia, terus ramai. Dalam beternak itik, Hasan menerapkan sistem yang ia sebut tambal sulam. Katakan dari 1.000 ekor hanya 50% yang produktif. Dari 500 ekor sisanya, dipilih dan dipelihara terpisah. Itik afkir hasil seleksi dijadikan itik potong seharga Rp20.000/ekor.”Untuk kekurangan akibat dipotong, kita isi lagi dengan itik cepotan (itik yang pernah bertelur dan umurnya sama dengan yang ada di kandang). Jadi, produksi tidak pernah berhenti,” jelas Hasan. Kalau umur itik sudah dua tahun, lanjut dia, harus diganti secara berkala. Dadang, Enny, Yan, Indah RP