Peluang usaha rumah makan bebek tampaknya kian berkembang seiring peningkatan minat masyarakat menyantap daging bebek. Belakangan ini penjaja menu daging bebek terlihat makin marak. Mereka menawarkan berbagai variasi masakan bebek, mulai dari bebek goreng, bebek bakar, bebek sambal hijau, bebek kebuli, tongseng, dan sebagainya. Di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, misalnya, dalam waktu sebulan terakhir muncul dua rumah makan bebek. “Perkembangan usaha rumah makan bebek ini semakin besar selama orang masih menginginkan makanan dengan menu-menu baru. Tentunya ini bisa jadi sebuah peluang bagi pemasok bebek,” ujar Antonius Kardjono, pemilik dan pengelola Rumah Makan Bebek Ginyo di Tebet, Jakarta Selatan. Hal yang sama dibenarkan Rouf Estianda, pemilik Rumah Makan Bebek Tunjungan juga di Tebet. “Tren makan daging bebek mulai berkembang tidak hanya di pedagang kaki lima saja tapi sudah mulai ke kelas restoran. Menu yang ditawarkan juga relatif terjangkau oleh masyarakat,” komentarnya. Komentar Rouf ada benarnya. Lihat saja warung-warung tenda di Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi yang menyajikan menu bebek dengan berbagai variasinya nyaris selalu ramai diserbu pengunjung. Selain mengindikasikan minat menyantap daging bebek, maraknya warung bebek sedikit banyak juga menggambarkan bisnisnya. Seporsi menu bebek bisa mendatangkan laba bersih Rp3.000. Dengan asumsi, harga bebek Rp22.000/ekor dan tiap ekor dipotong jadi 4 bagian. Satu porsi menu bebek lengkap (nasi, lalapan dan sambal) dijual Rp12.000. Rata-rata keuntungan yang diperoleh warung kaki lima maupun outlet berkisar Rp500.000—Rp 2,4 juta/hari. Butuh Banyak Pemasok Pertumbuhan usaha kaki lima yang berjualan bebek goreng, menurut Sugeng Widodo, pemilik Warung Tenda Bebek Goreng Joko Putra di daerah Petogogan, Jakarta Selatan, cukup bagus. “Beberapa warung tenda yang dulunya hanya menyajikan menu ayam dan ikan lele. Kini mereka mencoba menu bebek goreng,” tambahnya. Hasilnya tidak kurang dari 10 ekor per hari mereka bisa memenuhi kebutuhan konsumennya. Perkembangan usaha rumah makan bebek lebih cepat lagi. “Saya hanya butuh waktu 6 bulan untuk bisa membuka 3 cabang. Omzetnya pun cukup lumayan,” ungkap Rouf Estianda. Dalam sehari, rumah makannya menghabiskan 400 ekor/hari. Sementara itu, Antonius Kardjono yang terbilang pendatang baru sanggup menjual 150 ekor/hari dengan 5 variasi menu. Sedangkan Sugeng Widodo menghabiskan sekitar 75 ekor dan Santoso pemilik Resto Tiktok Van Depok 50 ekor per hari. Namun sayang, kebutuhan setiap warung ini seringkali terganggu karena pasokan yang seret. Padahal bagi pemilik Rumah Makan Bebek, urusan memperoleh bahan baku sangat penting. “Tak jarang saya mendapatkan jumlah bebek kurang dari kebutuhan sehari-hari. Mungkin disebabkan masih sedikitnya budidaya bebek khusus potong,” keluh A. Kardjono. Ini membuat Kardjono was-was karena pernah butuh 150 ekor/hari ternyata pemasoknya hanya sanggup mengirim 50 ekor. Sisanya harus dicari sendiri. Padahal itu tidak mungkin dilakukannya. Hal yang sama juga dialami Sugeng Widodo. Bahkan ia pun harus mencari sendiri ke pasar-pasar di seputar Jakarta. “Memang hanya 75 ekor per hari kebutuhan warung saya. Tapi kalau hanya ada separuhnya, ‘kan kasihan pelanggan setia saya yang ingin makan bebek, saat datang, bebek sudah habis,” jelasnya. Rouf Estianda pun mengaku seringkali kehabisan bahan baku. “Kadang target stok tidak terpenuhi dari satu supplier saja,” katanya. Untuk menjaga agar jangan sampai kekurangan, Kardjono menyiasatinya dengan tidak mengandalkan satu pemasok. Dia terpaksa harus mencari banyak pemasok. Menghilangkan Rasa Amis dan Alot Selain peluang yang masih terbuka, bisnis warung bebek menghadapi tantangan untuk menghilangkan kesan daging bebek alot dan amis. Dengan teknik pengolahan yang tepat, daging bebek pun bisa tampil menjadi sajian yang empuk dengan cita rasa menggoda. Syukurlah, citra daging alot dan amis sudah mulai berkurang di beberapa warung tenda dan rumah-rumah makan yang menyajikan menu bebek. Beberapa rumah makan bebek memiliki kiat tersendiri agar bisa mendapatkan olahan bebek yang prima. Usaha yang dilakukan meliputi dari pemilihan bahan baku, tatacara pengolahan, hingga bumbunya. Sugeng Widodo misalnya, memilih bebek yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Soalnya, menurut Kardjono, “Bebek yang terlalu tua dagingnya sangat alot, sementara yang terlalu muda, dagingnya sedikit. Para penyaji bebek itu umumnya biasa mendapatkan bebek yang sudah dibuang bulunya dari pemasok. Daging bebek ini tidak langsung diolah tapi melalui tahapan lain, yaitu pemeriksaan sisa bulu yang mungkin tidak tercabut. “Ini penting agar pengunjung tidak kecewa atau merasa jijik melihat bulu bebek yang masih ada di daging tersebut,” terang Kardjono. Setelah tak ada lagi sisa bulu yang tertinggal, barulah bebek dipotong menjadi 4 bagian, lalu bebek pun siap diolah. Satu hal lagi, saat mengolah selama sekitar 3 jam itu, gunakanlah api kecil. “Dengan api kecil, bumbu lebih meresap, daging bebeknya pun menjadi lebih empuk,” alasan Kardjono. Sedangkan menurut Sugeng Widodo, bebek yang siap diolah ini harus dimasak selama 5 jam dengan api sedang supaya bumbunya lebih meresap. Pas digoreng bebek akan terasa empuk dan gurih. Kiat Rouf Estianda lain lagi. Agar daging empuk dan tidak amis, bebek diolah dalam kuali tanah liat. Dalihnya, supaya matangnya bersamaan dan bumbunya meresap. Agus, Rauf, Kardjono, Santoso, pun menyajikan bervariasi menu seperti bebek kremes, nasi bebek kebuli, bebek sambel hijau, tongseng bebek, gulai bebek cabai hijau, rendang bebek dan lain sebagainya. Tri Mardi Rasa, Selamet Riyanto