Fluktuasi harga yang tinggi bukan untuk ditakuti, tapi disiasati supaya jauh dari rugi. Sudah menjadi hukum pasar, ketika pasokan tomat berlimpah, harganya melorot. Sebaliknya, saat pasokan seret, harganya melejit. Akhir tahun lalu, harga tomat di tingkat petani jatuh sampai titik terendah, Rp200/kg. Padahal, biaya untuk menghasilkan 1 kg buah tomat tak kurang dari Rp1.000. Akibatnya, banyak petani bermodal kecil kehabisan napas. Namun, awal Mei ini harga tomat melonjak menjadi Rp3.000/kg. Tentu, bagi mereka yang mempunyai kebun tomat siap panen bakal menangguk untung gede. “Membaiknya harga tomat sudah berlangsung sejak pertengahan April, dan diperkirakan akan bertahan lama karena memang pasokan dari sentra produksi belum banyak,” ungkap Ii Winaryo, petani merangkap bandar tomat di Pasirjambu, Kab. Bandung, Jabar. Wawan Darmawan, juragan tomat di Pasirwangi, salah satu sentra produksi di Garut, membenarkan ucapan Ii. “Produksi tomat saat ini (Mei), memang tidak banyak. Tapi bukan berarti di sentra produksi tidak ada tanaman tomat. Hanya saja, di kawasan Garut, banyak kebun yang tidak berproduksi optimal lantaran terserang penyakit kuning,” papar pria yang sudah 20 tahun menggeluti usaha tani tomat ini. Sekadar tahu, menurut H. Uu Suryana yang sudah 27 tahun menekuni tomat di Ciwidey, Bandung, sejak 1995 Garut menjadi pengendali harga tomat di Jabar. Sementara era 1980—1990-an, harga lebih banyak dipengaruhi oleh produksi dari Lembang dan Ciwidey. Sulit Diprediksi Cerita Ii, usaha tani tomat saat ini tidak segampang 10 tahun silam karena sejak tahun 2000, harga tomat sulit diprediksi. “Dulu, harga tomat biasanya bagus pada bulan lima enam (Me-Juni, Red.). Sekarang tergantung harga di pasar,” ucapnya. Harga sayuran, termasuk tomat, lanjut dia, rusak semenjak dana Kredit Usaha Tani (KUT) turun besar-besaran sekitar 1999. Pasalnya, semua orang bisa bertani dengan dana itu tanpa memperhitungkan daya serap pasar. Lebih jauh Ii menuturkan, “Dulu, dari satu lokasi kebun bisa dipetik (panen) sampai 30 kali lantaran harga bagus. Sekarang, paling kuat 25 kali, panen berikutnya harga sudah turun,” ucapnya. Hal senada diutarakan H. Atep, pemilik 10 ha kebun tomat di Panundaan, Ciwidey. “Dalam beberapa tahun terakhir, usaha tani tomat memang banyak unsur spekulasinya,” katanya. Ketika para petani mempunyai prediksi sama untuk menanam, imbuh dia, maka penanaman akan serempak di mana-mana. Akibatnya, produksi melimpah dan harga anjlok. “Keadaan itu sulit diubah karena sebagian besar petani melakukan usaha sendiri-sendiri, jarang yang berkelompok,” tandasnya. Wawan menambahkan, “Mengusahakan tomat saat ini lebih banyak menggunakan feeling (perasaan).” Walaupun jadwal penanaman sudah diatur, lanjut dia, soal harga jual nanti, siapa yang tahu. Beragam Kiat Kendati harga jual produksi tidak menentu, toh para petani di sentra-sentra produksi, tetap melakukan usaha tani tomat. Mereka seakan seolah tidak peduli oleh perubahan harga yang sangat tajam. “Mau harga murah atau mahal, saya terus tanam tomat,” tekad H. Atep. Selidik punya selidik, selain sudah banyak makan asam garam, ternyata mereka mengantungi berbagai kiat agar usahanya tidak gulung tikar. “Menyikapi harga yang tidak menentu, sekarang kita tidak bisa hanya memiliki satu lahan garapan,” urai Ii. Artinya, lahan garapan Ii terbagi beberapa bagian yang berisi tanaman tomat dengan berbagai umur. Ia mengaku, setiap hari menanam 10 kantung benih (15.000—25.000 tanaman). “Bila terjadi kerugian dari satu lahan garapan, diharapkan tertutup oleh hasil dari lahan lainnya,” kilahnya. Kekurangan kepemilikan lahan bukan alasan Ii tidak melaksanakan konsep itu. Kebun miliknya hanya sehektar sehingga ia bermitra dengan 50 petani lain di beberapa lokasi. Di samping itu, 15 karyawan bagian pengemasan juga diberi modal untuk berkebun tomat. Ii menyediakan seluruh sarana produksi dan modal keperluan sehari-hari. Petani mitra hanya bermodalkan tenaga dan lahan. Seluruh produksi ia tampung dan dipasarkan sendiri ke pasar induk serta beberapa pasar kecil. Dengan cara tersebut, setiap hari Ii mampu menjual 6 ton. Dan selama ia jadi pengusaha tomat, baru sekali rugi hingga Rp70 juta ketika harga tomat Rp200/kg. Hal serupa dilakukan Arif Darsono, petani di Sukabumi, Jabar. “Tanam tidak serempak memang salah satu strategi dalam menyiasati fluktuasi harga,” paparnya. Karena itu, di atas lahan seluas 25 ha garapannya, ia menanam secara bertahap. Hasilnya, setiap hari Arif mampu memasok rata-rata 6 ton ke pengumpul yang dipercaya. Dan, sudah 13 tahun Arif bertahan menjadi petani tomat. Pun Wawan, dengan 12 ha kebunnya dan 10 ha garapan 30 petani binaan, selalu mengatur jadwal tanam. Dengan cara begini, pada musim biasa, Wawan memasarkan 5 ton/hari. Bila sedang panen raya, 15 ton. Sebagian besar produksi dikirim ke Pasar Induk Cibitung, Bekasi, Jabar. “Alhamdulillah, kelompok kami masih menikmati keuntungan,” akunya. Selama bertani dari 1987, baru sekali kena musibah, yaitu saat harga tomat Rp200/kg. Akses Informasi Di luar itu, masih ada beberapa kiat mereka untuk berkelit dari kerugian. Menurut Wawan, jadwal penanaman harus tepat. Sebelum tanam, ia mencari informasi di pasar, sentra produksi, dan produsen benih tomat. Bila harga di pasaran jelek, ia menanam lebih banyak. Sebaliknya, saat harga baik, niat menanam banyak direm. “Kalau harga membubung tinggi, biasanya banyak petani menanam, kita harus waspada dan ngerem,” imbuh Uu. “Dari pengalaman, kalau harga jelek kemudian kita tanam, nanti harga jualnya di atas Rp800/kg,” sambung Atep. Yang juga perlu diwaspadai, menurut Nanang Ismail dari CV Bimandiri, pemasok sayuran ke pasar swalayan di Bandung, harga tomat cenderung turun ketika musim mangga, yang biasanya berlangsung pada Agustus. “Penurunan permintaan bisa lebih dari 10%,” jelasnya. Menurut Ii, sebaiknya membaca situasi pasar dilakukan setiap hari supaya hasilnya akurat. Lebih penting lagi, petani harus mampu mengejar waktu penjualan, terutama mereka yang membidik pasar induk. Artinya, mesti menghitung konsumen yang akan belanja banyak. Biasanya, orang mulai belanja menggunakan truk untuk dibawa ke luar daerah, pukul 13.00—15.00. Kalau tidak tepat waktu, akan ketinggalan menjual, akhirnya harga yang diterima murah. Arif menandaskan, siapa yang mempunyai akses informasi paling bagus, paling akurat, dialah yang akan meraih keuntungan karena harga sangat dipengaruhi pasokan. Harga bisa dicek terutama di Jakarta lantaran ibukota menyerap 50% produksi tomat di Jawa. Sementara informasi penanaman bisa diperoleh dari sentra produksi. Misalnya untuk Jabar: Kab. Bandung (Lembang, Pangalengan, Ciwidey), Sukabumi, dan Garut; Jateng: Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo; Jatim: Blitar, Kediri, Malang, Jember; Sumut: Karo, Dairi, Simalungun. “Semakin banyak narasumber, semakin baik,” ucapnya. Di luar itu, masih ada cara lain untuk menekan kerugian. Mereka yang tetap eksis jadi juragan tomat, selalu mengusahakan 2—3 jenis sayuran lain. Maksudnya, bila tomat sudah tidak bisa tertolong, masih ada harapan dari sayuran lainnya, pun sebaliknya. Berlipat Tak dapat dipungkiri, ketika harga bagus dan produksi tanaman optimal, keuntungan menanam tomat bisa berlipat. “Kalau lagi mujur, hasilnya bisa 10 kali lipat, dan saya pernah merasakannya,” papar Wawan. “Minimal kalau harga bagus seperti sekarang (Rp3.000/kg pada awal Mei, Red.), minimal keuntungannya berlipat sampai 5 kali,” sambung Uu. Sementara biaya produksi sekitar Rp1.000—Rp2.000/tanaman, tergantung sistem budidaya, dengan produktivitas 2—4 kg/tanaman. Memang, usaha tani tomat kadang untung, kadang buntung. Tapi dari pengalaman petani sukses yang sempat ditemui AGRINA, menyebutkan, 3—4 kali menderita kerugian, dapat tertutup oleh satu kali keuntungan. Iming-iming itu pula yang memberi semangat mereka tetap menekuni tomat, walaupun harga jualnya bergejolak. Yang penting, “Kalau mau sukses, kita tidak boleh putus asa,” saran Haji Uu. Masih Bisa Digarap Naik turunnya harga yang tajam bukan alasan untuk tidak melirik tomat sebagai peluang usaha. Betapa tidak, “Tiap tahun permintaan tomat cenderung naik,” jelas Nanang. Soalnya, tomat memiliki multifungsi: sebagai sayuran, bumbu, dan buah. Ia memberi ilustrasi, awal berdiri Bimandiri pada 1998, pihaknya baru bisa memasok puluhan kilo per hari. Kini, dalam sehari sudah menembus 1.500 kg. “Akhir tahun ini diperkirakan kami mampu memasok 2 ton/hari,” harapnya. Memang boleh dibilang, setiap rumah perlu tomat, entah untuk sambal, dimakan langsung, ataupun untuk dibuat jus. Tak berlebihan bila hal itu dijadikan potensi usaha tani tomat. Nyatanya, animo petani untuk mengusahakan tomat tetap tinggi. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari penyerapan benih. “Petani Pangalengan saja, setiap bulan menyerap benih dari perusahaan kami 10—12 kg,” ungkap Wagimin, bagian promosi produk PT East West Seed Indonesia (EWSI), produsen benih sayuran di Jabar. Jumlah itu setara dengan 3 juta tanaman (120 ha). Glenn Pardede, Direktur Pemasaran PT EWSI, mengaku, pangsa pasar benih tomat dataran menengah—tinggi, tahun lalu, mencapai 51,4%. Sedangkan untuk tomat dataran rendah, lebih dari 71%. Di luar EWSI masih ada sejumlah produsen benih tomat. Di antaranya Tanindo Subur Prima, Prima Seed, Known You Seed, Top One, Bintang Mas, dan Bulan Mas. Ini membuktikan peminat usaha tani tomat tetap tinggi. Yang jelas, sebelum terjun di bisnis tomat, Anda perlu memperhatikan karateristik pasarnya. Soal ketersediaan sarana produksi dan sistem budidaya, dengan mudah akan Anda peroleh. Dadang WI, Enny PT, Yan S., Selamet