Petani yang mampu mengatasi kendala budidaya dan bertanam pada waktu tepat bisa meraup keuntungan hingga Rp240 juta/musim tanam. Meski tantangan teknis maupun pasar tak bisa dibilang mudah, bukan berarti tidak bisa disiasati. Sejumlah petani menuturkan kiat usaha budidayanya. Arif Darmono: Tantangan Terberat Tetap di Pasar Menjadi petani adalah pilihan hidup bagi Arif Darmono. Dua hari setelah lulus dari Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi UGM, ia langsung terjun mengelola lahan sayuran di Sukabumi, Jabar. Titik balik pada 1994 membawa dirinya menjadi petani sayuran. Perjalanan waktu memberinya pengalaman dan pengetahuan baru, terutama di bidang usaha tani tomat yang hampir 13 tahun digeluti. Menurut Arif, “Dari sisi budidaya, petani kita sudah mampu menanam tomat. Benturan terjadi ketika fluktuasi harga yang sangat tajam.” Di tingkat petani harga tomat bisa jatuh hingga Rp150/kg, tapi lain waktu melambung sampai Rp4.500/kg. Dia pun memutar otak dengan mencari informasi akurat tentang luas tanam, tanam tidak serempak, dan lebih dari satu jenis, serta sanggup bertanam saat “musim penyakit”. “Petani yang mempunyai informasi paling akurat akan kebagian untung karena harga sangat dipengaruhi oleh suplai,” kata Arif. Caranya, dengan meminta info ke distributor benih untuk memprediksi luas tanam di sentra tomat yang ada di Pulau Jawa. “Setelah itu, data kita olah dan kita putuskan, tanam atau nggak,” jelasnya. Tanam tidak serempak atau lebih dari satu jenis mengurangi risiko kerugian. Jadi, ada tempat atau jenis sayuran yang kena harga bagus, di tempat lain kena harga jelek. Berjibaku ketika musim penyakit berpeluang meraup keuntungan karena suplai diprediksi turun sehingga harga tomat naik. “Serangan hama dan penyakit makin berat, tapi kendala terbesar tetap di pasar,” tandas Arif. Enny Purbani T. H. Uu Suryana: Tak Mungkin Tinggalkan Tomat Yang namanya usaha, termasuk usaha tani tomat, kadang untung kadang rugi. Tapi kalau diperhitungkan secara seksama, bertani itu tidak rugi. Berdasar pengalaman, menemui kerugian itu jarang, paling banyak dua kali. Kalaupun rugi sampai empat kali berturut-turut, biasanya terbayar oleh sekali keuntungan. Demikian diutarakan H. Uu Suryana yang sudah 27 tahun menekuni usaha tani tomat, seledri, dan kubis, di Ciwidey, Bandung. Saat ditemui AGRINA minggu pertama Mei, pria paruh baya ini sedang menggarap 1,5 ha kebun tomat, 1 ha seledri, dan 1,5 ha kubis. Menurut Pak Haji Uu, semua jenis sayuran menarik diusahakan. Kalau sedang beruntung, hasil dari tomat lumayan tinggi, walaupun pemeliharaan tomat agak sulit. Ia memberi ilustrasi, dari satu hektar kebun tomat ditaksir produksinya mencapai 80 ton. Bila harga jual bertahan Rp3.000/kg, seperti pada minggu pertama Mei, total penjualannya menembus Rp240 juta. Sementara biaya produksi sekitar Rp35 juta/ha. Oleh karena itu, “Tomat tidak mungkin saya tinggalkan,” tegas Uu. Untuk mengejar target produksi, Uu sangat telaten memelihara tanamannya. Ia tidak jor-joran menggenjot produksi dengan pemupukan dan pemeliharaan tandan bakal buah. Tiap tanaman dibatasi 8 tandan buah, 5 tandan pada cabang utama dan 3 tandan pada cabang kedua. Soal pemupukan, disesuaikan kebutuhan tanaman. “Kalau tanaman sudah tampak subur, tak perlu diberi pupuk berlebih. Sebab, tidak akan bermanfaat. Malahan batang tanaman bisa pecah sehingga mengundang penyakit,” jelas Uu. Yang terpenting, lanjut dia, jaga tanaman agar jauh dari penyakit dengan rutin menyemprotkan pestisida. DWI. Supriadi: Tak Puas Dengan 3 Kg Penurunan produktivitas adalah fakta yang harus dihadapi Supriadi, petani tomat di Kediri, Jatim. Kenyataan ini tentu tidak menimpa Supriadi seorang, tapi diterima hampir seluruh petani tomat di Pulau Jawa. Bayangkan saja, “Sebelum tahun 2000, satu batang tanaman tomat mampu menghasilkan 5—7 kg. Tiga tahun belakangan, dapat 3 kg/tanaman sudah hebat,” ujar Supriadi. Menurunnya, produktivitas tomat di Kediri, ditengarai akibat merosotnya unsur organik tanah hingga ke titik 1,6%, padahal idealnya sekitar 5%. Mengembalikan bahan organik tanah selanjutnya menjadi salah satu cara petani di Kediri dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman tomat. “Bahannya bisa berasal dari kompos, limbah tanaman, dan hewan, serta sampah domestik,” ujar Supriadi. Kompos digunakan karena para petani melihat tanaman tomat di tepian hutan justru tumbuh dengan bagus, contohnya di Kecamatan Pongoh, Kabupaten Blitar, Jatim. Agar tanaman tumbuh sehat, ”Pengolahan tanah harus benar dan penggunaan pupuk organik dan anorganik harus seimbang,” terangnya. Menurut Supriadi, jika tanaman itu sehat dengan sendirinya mampu bertahan dari serangan penyakit, termasuk virus. Sebaliknya, tanaman yang sakit karena tidak mampu menyerap nutrisi tanah langsung stres. Akibatnya, kandungan antibodi drop dan tanaman mudah terinfeksi virus. Enny Purbani T., Indah Retno Palupi