Jakarta - Mengantisipasi kemungkinan rawan pangan terkait lonjakan harga beras dunia, pemerintah tampaknya akan lebih memperlonggar impor beras.
Terlebih Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan negara-negara eksportir beras sebagai antisipasi atas risiko lonjakan harga pangan dunia akibat pengaruh perubahan iklim dan cuaca global itu.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengakui, pemerintah amat mewaspadai kemungkinan lonjakan harga bahan pangan di pasar internasional, yang bisa melahirkan rawan pangan di dalam negeri. "Keanehan iklim global ini amat berpengaruh terhadap sektor pangan. Produksi kemungkinan turun, sehingga harga-harga jadi naik. Karena itu,
Menurut Bayu, langkah pengamanan itu antara lain mengadakan perjanjian atau nota kesepahaman (MoU) dengan negara-negara pengekspor beras. Dengan itu, jika sewaktu-waktu membutuhkan,
Namun ketika ditanya dengan negara mana saja Indonesia sudah menandatangani MoU, Bayu mengatakan, untuk sementara ini baru dengan Vietnam. "Sementara dengan
Menurut Bayu, negara-negara eksportir beras yang sudah meneken MoU dengan Indonesia tiap saat siap mengapalkan beras ke Indonesia. "Mereka siap kapan pun kita minta," kata Bayu.
Karena berbagai kondisi, seperti iklim global yang tidak lazim, harga beras di pasar internasional saat ini berkisar 305 hingga 310 dolar AS per ton. Itu lebih tinggi dibanding Desember 2006 dan Januari 2007 yang masih sekitar 295 dolar AS per ton.
Mengenai harga beras di dalam negeri sendiri, menurut Bayu, pekan depan berbagai instansi pemerintah yang terkait akan melakukan evaluasi secara menyeluruh. "Namun berdasar pengamatan saat ini, harga beras di tingkat petani cukup aman. Kalaupun harga jatuh, kita lihat penyebabnya -- bisa karena mutu buruk atau karena petani telanjur terperangkap ijon akibat sudah kepepet butuh duit, sehingga mereka menjual gabah atau beras di tangan mereka dengan harga berapa saja," katanya.
Di lain pihak, harga beras di tingkat konsumen sekarang ini relatif terkendali. Tapi sikap waspada tetap perlu. Ini karena Agustus-September, saat permintaan tinggi, pasokan justru menipis. "Saat itu, kemarau sudah mulai bersamaan dengan Ramadan. Berkombinasi dengan harga dunia yang tinggi, itu bisa menyulitkan kita," ujar Bayu menjelaskan. Dia menambahkan, negara-negara lain juga sudah melakukan langkah pengamanan menyangkut stok pangan ini.
Berdasarkan pengamatan, faktor cuaca dan iklim telah mendongkrak harga pangan dunia sejak November 2006. Kenaikan harga gandum dan kedelai, misalnya, kini sudah mencapai sekitar 20-30 persen dibanding posisi pertengahan tahun lalu.
"Pergerakan harga itu mudah merambat ke komoditas lain, termasuk beras. Tapi untung beberapa negara di Asia Tenggara kini mulai panen, sehingga laju kenaikan harga pangan agak tertahan. Tapi kita tetap harus mengantisipasi musim kemarau," kata Bayu.
Sumber : www.suarakarya-online.com