Memanen Devisa dari Buah Peningkatan ekspor buah segar masih terkendala mahalnya transportasi. Soalnya, Indonesia masih belum memiliki transportasi yang efektif. “Semua buah-buahan yang ada di Indonesia bisa diekspor, tapi butuh penanganan yang lebih baik,” ungkap Yoseph Joemono, Direktur PT Agung Mustika Agro Lestari (AMAL), eksportir buah-buahan di Tangerang, Banten. Misalnya, lanjut dia, agar duku dan manggis bisa berumur panjang serta tidak rusak saat disimpan dan dikirim, butuh sentuhan teknologi. Selain itu, penanganan buah harus sudah dilakukan sejak panen sampai pascapanen supaya kualitas buah terjaga. Memang, saat ini buah-buahan telah menjadi barang dagangan internasional. Dengan status pasar yang mendunia itu, persaingan buah produksi Indonesia tidak sebatas Asean, melainkan secara frontal masuk ke pasar internasional. “Pasar global telah menyatukan pasar buah dalam arena persaingan bebas. Siapa unggul, akan memperoleh kemenangan,” papar Djeimy Kusnaman, Manajer Proyek Hortikultura, dari Pusat Pengembangan Ekspor Buah (Fruit Export Development Centre-FEDC) di Jakarta. Eksotik Sampai sekarang, pasar buah internasional masih didominasi pisang, jeruk, apel, pir, anggur, dan kelompok stone fruits. Walau begitu, banyak buah-buahan tropis Indonesia, di luar pisang, yang diminati pasar internasional. Pasar dunia menyebutnya kelompok buah eksotik, yaitu nenas, pepaya, alpukat, mangga, dan manggis. Berdasar catatan Ditjen Hortikultura, Deptan, terdapat lebih dari 10 negara yang membutuhkan pasokan buah-buahan dari tanah air. Negara tersebut tersebar di Asia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dalam 4 tahun terakhir, Indonesia rata-rata mengekspor buah-buahan sebanyak 219.773 ton. Jenis buah yang diekspor di antaranya nenas, manggis, pisang, pepaya, mangga, dan jeruk (Tabel 1). Tahun lalu, ekspor buah-buahan tersebut menyumbang devisa Rp35,65 miliar. Tahun ini nilainya ditargetkan mencapai Rp36,72 miliar. Negara tujuan ekspor utama adalah India, Singapura, Pakistan, Vietnam, dan Amerika Serikat. Tapi dalam beberapa tahun terakhir permintaan cukup tinggi datang dari China. “Tahun 1980-an, kami mengekspor pepaya, duku, salak, dan manggis ke Hongkong dan Taiwan. Kini kami hanya menggarap pasar China dengan mengirim manggis, pisang, dan nenas,” aku Budi Waluyo, Manajer PT AMAL. “China juga butuh banyak pasokan pepaya,” ucap Djeimy. Dia memberi ilustrasi, sebuah perusahaan di Banyuwangi, Jatim, menerima permintaan dari China untuk memasok pepaya jenis Hawaii 500 ton per minggu. Namun sampai sekarang permintaan itu belum terpenuhi. Nenas, Manggis, dan Pisang Menurut Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, Deptan, buah-buahan Indonesia yang menjadi prioritas utama ekspor adalah manggis, mangga, pisang, durian, jeruk, nenas, salak, dan rambutan. Produksi buah-buahan tersebut akan digenjot sehingga volume ekspor tahun ini meningkat. “Kami akan mengembangkan ekspor dengan program berbasis kawasan,” janji Dimyati. Dalam 4 tahun terakhir, ekspor buah dari Indonesia masih didominasi nenas, manggis, dan pisang. Volume ekspor nenas rata-rata tiap tahun sebanyak 171.637 ton. Sementara manggis dan pisang masing-masing 6.670 ton dan 2.593 ton. Jumlah eksportir nenas, manggis, dan pisang, cukup banyak. Tapi yang benar-benar terbuka, bukan musiman, dan melakukan pembinaan terhadap petani hanya ada beberapa perusahaan. Di antaranya PT AMAL, PT Masindo Mitra Mandiri (Jakarta), dan PT. Nusantara Tropical Fruit (NTF), serta PT Great Giant Pineapple Company (Lampung). Dari pengakuan Budi, setiap minggu perusahaannya mengekspor manggis ke China sebanyak 3—4 kontainer berukuran 40 feet. Satu kontainer berisi 20—25 ton. Manggis itu berasal dari seluruh sentra di Sumatera dan Jawa. Pada musim panen raya, satu daerah bisa mengirim sampai 16 ton per hari. Sebaliknya bila musim biasa, sekitar 4 ton. “Pasar ekspor masih terbuka. Apalagi ke China yang tidak terlalu ketat menerapkan standar kualitas,” urai Budi. Sementara Masindo, tahun lalu mengekspor manggis sekitar 240 ton. Negara tujuan ekspornya mencakup beberapa negara Uni Eropa dan Timur Tengah. “Market kami 100% pasar ekspor,” ucap Salim Ali, bagian pemasaran Masindo. Lain lagi dengan NTF. Perusahaan yang berbasis di Lampung Timur ini, setiap bulan mengekspor pisang Cavendish 4 kontainer ukuran 20 feet. Pisang itu dikirim ke Jepang dan Hongkong. “Sebetulnya permintaan pasar ekspor cukup besar, tapi kami belum bisa memenuhi semuanya karena keterbatasan produksi sebab kami juga memenuhi permintaan pasar lokal,” aku Nilwan Gumanti, Public Relations PT NTF. Walaupun ekspor pisang dan buah lainnya dari Indonesia bersaing dengan Filipina dan Thailand, tapi Nilwan yakin prospek pasar ekspor cukup cerah. “Memang kita bersaing dengan negara lain, tapi lantaran permintaannya besar harganya cukup stabil,” paparnya. “Untuk manggis, pesaing kita adalah Thailand dan Malaysia. Terutama eksportir Malaysia yang mengambil barang dari Indonesia, kemudian mengirim lagi ke negara lain,” imbuh Budi. Unggul Buah asal Indonesia sangat diminati konsumen luar negeri lantaran mempunyai keunggulan. “Manggis Indonesia, khususnya dari Tasikmalaya (Jabar), memiliki citarasa khas, perpaduan asam dan manis. Citarasa ini yang membuat orang ketagihan,” tandas Denis Aditya Hudiono, Direktur PT Karoma Bumi Wasesa, pemasok manggis ke eksportir. Memang, “Citarasa buah Indonesia khas dan spesifik sehingga disukai konsumen di luar negeri,” imbuh Nilwan. Keunggulan lain, menurut Budi, karena manggis Indonesia masih alami sehingga rasanya berbeda. Dari pengalaman PT AMAL yang sudah 20 tahun menjadi eksportir manggis, kualitas manggis yang diinginkan konsumen biasanya berkelopak utuh, hijau, dan segar sesuai standar SNI. Kulit buah mulus, tidak burik, dan hitam mengkilap. “Kami mengirim manggis dalam kondisi kulit buah berwarna merah, atau 80% matang,” tandas Budi. Ukurannya bermacam-macam. Jika permintaan sedang banyak, ukuran 10—16 buah/kg masih diterima. Tapi pada saat panen bareng dengan Thailand, permintaan pasar berubah, ke buah berukuran besar. Menurut Budi, kalau sedang tidak ada barang, manggis ukuran apa aja bisa masuk. Tapi kalau harga tinggi dan persaingan ketat, pihaknya melakukan penyortiran ketat pula. Biasanya itu terjadi pada saat perayaan keagamaan di negara tujuan. Soal harga, fluktuatif, mulai US$0,5—US$1/kg. Sementara eksportir membeli ke pengumpul sekitar Rp2.500—Rp4.500/kg. Banyak Hambatan Meski ekspor buah-buahan masih terbuka, para eksportir masih terhadang berbagai kendala. Kendala yang paling sering dikeluhkan saat ini adalah persoalan karantina. “Di masa liberalisasi perdagangan berlangsung, masing-masing negara menjaga pasarnya dengan mengharuskan karantina atas produk impor,” kata Sri Kuntarsih, Direktur Buah-buahan, Ditjen Hortikultura. Selain itu, sampai saat ini, ekspor buah segar masih terkendala mahalnya transportasi. Pasalnya, Indonesia belum memiliki transportasi yang efektif. Padahal, buah segar memerlukan distribusi yang cepat, apalagi untuk ekspor ke Uni Eropa (UE). Ongkos transpor memang sangat mahal. Misalnya untuk ke China via udara, satu kontainer 40 feet biayanya US$1.200 (US$0,62/kg). Apalagi ke UE, ongkosnya US$2/kg. Padahal Thailand memberikan subsidi bagi eksportir. Untuk masuk pasar UE, eksportir di Indonesia harus punya EurepGAP (EG) yang dikeluarkan asosiasi ritel di sana. “Hampir 80% pembeli di UE meminta EG,” jelas Djeimy. Dimyati membenarkan soal mahalnya transportasi. Bahkan, lanjut dia, di tingkat produksi pun masih berkendala. Produksi tersebar di unit petani kecil sehingga produk dan pemasaran tidak efisien. Akibatnya, keuntungan yang diperoleh petani relatif kecil. “Permintaan eksportir sangat besar, tapi untuk memenuhi terkendala oleh beragam hambatan, misalnya kualitas buah,” ucap Aji Gunawan, Ketua Gapoktan Arta Mukti, Puspahiang, Tasikmalaya, Jabar. Budidaya manggis di tanah air memang masih sangat tradisional. Petani jarang melakukan pemupukan, bahkan tidak pernah. Penyiangan dan pemangkasan pun tidak dilakukan. “Bila petani mau menerapkan teknologi, peluang peningkatan produksi, kualitas, dan pemasaran masih bisa diharapkan,” ungkap Heti Heryati, Kasi Buah-buahan dan Tanaman Hias, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tasikmalaya. Persoalan lain adalah banyak eksportir musiman, yang merugikan eksportir sungguhan maupun petani. Mereka datang ke Indonesia dengan visa dan pinjam PT di sini. Mereka datang pada saat harga manggis di luar negeri tinggi. Tapi saat harga jatuh mereka kabur. “Kalau dibiarkan akan mengakibatkan produk kita tidak dihargai,” geram Budi. Di Tasikmalaya AGRINA menemukan manggis yang sudah dikemas berlabel sebuah perusahaan luar negeri, bukan made in Indonesia. Sebenarnya ada aturan bahwa pedagang dari luar negeri tidak boleh langsung membeli di tingkat petani. Tapi pengawasannya tidak ketat. “Hal itu sudah saya sampaikan kepada Departemen Perdagangan secara lisan. Kalau belum ditangani, akan kami susul secara tertulis,” tutur Dimyati. Masih Ada Peluang Di balik setumpuk persoalan, peluang ekspor buah-buahan masih terbuka. “Negara yang potensial untuk menjadi pasar ekspor adalah Uni Eropa, Timur Tengah, China, dan negara-negara pecahan Uni Soviet,” urai Dimyati. Potensi ekspor buah ke sana, lanjut dia, sangat besar. Menurut Djeimy, UE butuh buah-buahan 74,5 juta ton/tahun. Walaupun jaraknya jauh, setelah dihitung, ekspor ke UE masih masuk hitungan. Misalnya, harga pepaya sekitar 2,78 Euro (US$3,5). Setelah dikurangi transpor US$2/kg dan biaya lain, masih ada untung 20—30 sen dolar. Untuk meningkatkan aktivitas ekspor, khususnya ke pasar UE, Komisi Eropa telah mensponsori pembangunan FEDC. Menurut Elmar Bouma, Managing Director Indonesian-Benelux Chamber of Commerce, tujuan pendirian FEDC adalah untuk memberikan akses informasi dalam rangka membantu peningkatan ekspor buah tropis dan subtropis segar, olahan, serta produk buah lainnya ke UE. Walaupun jenis buah-buahan yang dibutuhkan lebih dari 10 macam, produk buah segar Indonesia yang menjadi fokus FEDC adalah manggis, mangga, nenas, pepaya, dan pisang. Dadang WI, Peni SP, Enny Purbani T, Yan Suhendar, Tri Mardi, Syafnijal D.