Saat panen raya, setiap hari, 100 ton buah manggis dari Kecamatan Puspahiang, Tasikmalaya, Jabar, diekspor ke berbagai negara. Buah manggis yang dikirim ke luar negeri itu bermutu super. Sisanya yang sejumlah 50—150 ton mengisi ke pasar lokal. Negara tujuan ekspor manggis tersebut meliputi China, Hongkong, Taiwan, Singapura, Timur Tengah, dan Uni Eropa. “Sempat juga ada permintaan untuk mengisi pasar Amerika Serikat, minimal 32 ton per 3 hari. Lantaran terbentur modal, peluang itu belum terealisasi,” ungkap Aji Gunawan, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Arta Mukti, Puspahiang, kepada AGRINA. Tujuh Sentra Selain Puspahiang, masih ada 6 kecamatan di Tasikmalaya yang menjadi sentra manggis, yakni Salawu, Tanjungjaya, Sodonghilir, Mangunreja, Jatiwaras, dan Sukaraja. Tahun lalu, produksi dari ketujuh sentra tersebut sebanyak 15.235 ton. Dari jumlah itu, 44,2% di antaranya, dihasilkan dari Puspahiang. Sampai Maret tahun ini, total produksi manggis di Tasikmalaya tak kurang dari 27.764 ton. “Setiap tahun, produksi manggis terus meningkat karena ada penambahan jumlah tanaman produktif,” papar Ir. H. Henry Nugroho, MP, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tasikmalaya. Tahun silam, tanaman manggis yang sudah menghasilkan baru 167.082 pohon, tahun ini bertambah menjadi 231.882 pohon. Menurut Aji, panen raya manggis berlangsung dua tahun sekali, dan jatuh pada tahun ganjil. Tahun ini, hasil panen sudah mulai banyak sejak Januari, dan diperkirakan bertahan sampai Agustus mendatang. Gapoktan Arta Mukti sendiri yang membawahi 5 kelompok tani, menghasilkan sekaligus memasarkan 20—30 ton sehari. “Sebenarnya volume bisa lebih besar, tapi banyak petani yang terikat dengan bandar (sudah mengijonkan, Red.), sehingga tidak masuk ke gapoktan,” tutur Aji. Dari volume yang ditampung Aji, sebanyak 30% diserap eksportir, 30% dijual ke beberapa pasar swalayan di Jakarta, dan 40% dikirim ke luar daerah lain. Namun, ketika tidak musim raya, pasar lokal paling kebagian 10%—20%. “Permintaan eksportir sangat besar, tapi untuk memenuhinya terkendala oleh kualitas buah yang beragam,” imbuhnya. Sangat Tradisional Beragamnya kualitas buah tersebut tidak terlepas dari sistem budidaya yang masih sangat tradisional. “Umumnya, pohon manggis milik petani merupakan warisan turun-temurun. Umurnya sudah tua, 70 tahun ke atas, sehingga petani hanya menunggu musim berbuah,” kilah Sumpena, Ketua Kelompok Tani Saripuspa, yang juga petani manggis di Puspahiang. Namun, terhadap tanaman muda, petani mau melakukan perawatan. Terlebih setelah dibentuk gapoktan yang dibina Dinas Pertanian untuk melakukan budidaya manggis sesuai standar prosedur operasional. Sayang, gapoktan manggis di Tasikmalaya baru terbentuk satu, yaitu Arta Mukti. Menurut Aji, sejak dibentuk November 2006, gapoktan yang diketuainya lebih banyak berperan dalam pemasaran. “Paling tidak, melalui gapoktan, rantai tataniaga menjadi pendek, keuntungan petani jadi meningkat,” ucapnya. Sebelum sampai eksportir, pasar swalayan, atau pasar lokal, petani hanya melalui satu pintu, yaitu gapoktan. Sebaliknya, tataniaga sebelumnya, manggis dari petani—pengumpul kecil—pengumpul besar (bandar)—eksportir/pasar lainnya. Di lain pihak, “Bandar manggis di Puspahiang saja terdapat 40 orang, dan ratusan pengumpul kecil,” imbuh Ir. Heti Heryati, MP., Kepala Seksi Buah-buahan dan Tanaman Hias, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tasikmalaya. Perbedaan harga di bandar dan gapoktan sangat mencolok. Misalnya, gapoktan berani membeli dari petani Rp8.000/kg. Sementara bandar hanya membeli Rp3.000/kg. Awal April, gapoktan membeli manggis kualitas ekspor dari petani antara Rp3.500—Rp8.000/kg. Sedangkan untuk pasar lokal Rp1.400—Rp2.000/kg. Klasik Persoalan lain yang masih dihadapi petani adalah modal usaha. “Ketika tidak musim manggis, banyak petani meminjam uang kepada para bandar,” aku Sumpena. Bandar ini mampu memberi pinjaman cepat, tanpa potong, dan jaminannya hanya pohon manggis. Petani yang memiliki 400 pohon misalnya, bisa meminjam sampai Rp20 juta. “Padahal bila tidak diijonkan, setiap musim panen, petani bisa membeli Kijang Innova,” ucap Aji. Sebenarnya, pemerintah sudah menyuntikkan dana bergulir Penguatan Modal Usaha Kelompok (PUMK) berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Menurut Heti, ketujuh sentra sudah mendapat BLM sejak 2003. Puspahiang mendapat Rp400 juta, Sodong Hilir Rp300 juta, Tanjungjaya Rp200 juta, Sukaraja Rp150 juta, Mangunreja Rp150 juta, dan Jati Waras Rp100 juta. Namun sayang sampai sekarang dana itu macet. “Kesadaran petani memang kurang, kami menganggap dana itu hibah sehingga tidak bergulir,” aku Sumpena, pemilik 200 pohon manggis ini. Selain BLM, melalui APBD, Pemda Tasikmalaya tiap tahun menyediakan kredit program melalui BKPD dengan bunga 12% per tahun sampai Rp1 miliar untuk berbagai komoditas. Namun, petani manggis baru memanfaatkan Rp30 juta—Rp50 juta/tahun. Sesungguhnya, bila semua pelaku usaha manggis di Tasikmalaya arif dan bijaksana, persoalan yang mereka hadapi tentu dapat segera diatasi. Bukankah bisnis manggis dapat diandalkan dan pasarnya sangat terbuka? Dadang WI Potensi Pengembangan Kebun Manggis di Tasikmalaya Kecamatan Potensi Dimanfaatkan Sisa Lahan Ketinggian Curah Hujan Topografi (Ha) (Ha) (Ha) (m dpl) (mm/Tahun) Puspahiang 1.640 1.178 462 690 1.200-2.500 Berbukit Salawu 2.183 448 1.735 690 1.200-2.500 Berbukit Tanjungjaya 516 451 66 350 1.200-2.500 Berbukit Sodonghilir 2.860 527 2.333 700 1.200-2.500 Berbukit Mangunreja 540 100 440 424 1.200-2.500 Berbukit Jatiwaras 2.487 412 2.075 345 1.200-2.500 Berbukit Sukaraja 625 197 428 350 1.200-2.500 Berbukit Jumlah 10.851 3.313 7.538 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tasikmalaya, 2007