Kalangan perbankan nasional sudah saatnya melihat potensi pertanian organik di Indonesia selain karena keuntungan dari usaha tersebut cukup besar juga karena hingga saat ini tidak ada lagi kredit pertanian yang benar-benar untuk kalangan petani. Untuk perbankan sendiri, katanya, yang bisa dilakukan sebelum adanya perubahan ketentuan dari BI adalah melalui program lingkage dengan BPR dan BMT seperti yang selama ini dilakukan BRI. Sumber : antara.co.id
Komisaris Bank BRI BS Kusmuljono kepada pers di Jakarta, Kamis, mengatakan, dirinya prihatin dengan kondisi saat ini dimana sektor pertanian yang sebenarnya bisa memberi kontribusi besar bagi perekonomian justru terlupakan.
Perbankan bahkan tidak menyentuh sektor tersebut karena takut dengan resiko kegagalan pembayaran kredit. "Mereka lebih sering memberi kredit bagi para pedagangnya, dan tidak di sisi produksinya," katanya.
Pertanian organik padi, lanjutnya, bisa memberi keuntungan besar hingga mencapai Rp26 juta/hektar/tahun. Sisi keuntungan ini, menurut dia, perlu dilihat oleh perbankan sehingga mereka juga bisa memberi kredit untuk di sisi produksi.
Keuntungan yang sangat jelas, katanya, jika perbankan bisa melakukan program linkage dengan berbagai lembaga keuangan mikro (LKM) berupa bunga yang tinggi. Perbankan, katanya, tidak perlu menyimpan dananya di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berbunga hanya sembilan persen.
"Dari sisi bunga sebenarnya akan jauh lebih tinggi jika melalui LKM yaitu mencapai 24 persen, dibanding jika hanya di SBI hanya sembilan persen," kata Kusmuljono yang baru saja meraih gelar doktor dari IPB.
Diakuinya perbankan lebih memilih investasi yang tidak mengandung resiko sama sekali di SBI ketimbang di sektor pertanian melalui LKM. Namun ada hal yang terlupan yaitu besarnya manfaat jika kredit tersebut jatuh langsung ke petani.
"Kalau SBI yang jumlahnya mencapai Rp300 triliun hanya memberi manfaat bagi para penabung. Tapi jika SBI tersebut bisa dialihkan ke pertanian maka puluhan juta rakyat bisa menikmati," katanya. Bahkan ia menduga bunga SBI tersebut hanya bisa untuk menutup overhead perbankan saja.
Kusmuljono dalam disertasinya sebelumnya menyatakan bahwa salah satu kendala pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil adalah adanya ketentuan kehati-hatian bank dengan prinsip 5-C (character, condition, capacity to repay, capital dan collateral).
Terhadap ketentuan itu, lanjutnya, sudah saatnya Bank Indonesia (BI) untuk merevisi ketentuan tersebut terutama yang menyangkut adanya jaminan tambahan berupa aset tetap jika memang BI juga ingin berperan untuk mendukung sektor pertanian.
Sejak diberlakukannya UU tentang Bank Indonesia, kredit pertanian seperti KUT dan kredit program lainnya dihapuskan. Pemerintah pernah berupaya mengajak perbankan untuk menggulirkan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) namun tidak berjalan mulus karena penyalurannya yang masih harus melalui prinsip kehati-hatian dari BI.
"Program ini relatif mudah diawasi," katanya dan menambahkan program kredit pertanian akan memberi dampak besar jika masing-masing pemerintahan daerah juga memberi dukungan.
Dukungan itu bisa berupa penjaminan dari APBD daerah masing-masing seperti yang diterapkan di Sragen dan juga DIY. Selain itu juga perlu ada trust fund untuk dijadikan sebagai dana penjaminan serta pembentukan lembaga yang berfungsi seperti "trading house".
Khusus untuk pertanian organik, Kusmuljono yang melakukan penelitian di Garut selama dua tahun menyatakan bahwa permintaannya masih cukup besar. "Saat ini produk pertanian organik baru mampu memenuhi sekitar 100 ribu orang saja. Padahal pasarnya jauh dari itu," katanya.