Dalam empat tahun terakhir, Amerika Serikat rata-rata mengimpor 124.000 ton ikan nila dari berbagai negara. Sayang, Indonesia baru dapat memasok rata-rata 8.000 ton per tahun.
Pasar ekspor ikan nila paling potensial adalah Amerika Serikat (AS). Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan, impor dan konsumsi nila di AS dari tahun ke tahun terus meningkat. Alhasil, konsumsi nila masyarakat AS pada tahun lalu sudah mencapai 1,2 kg/kapita/tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, AS mendatangkan nila dalam berbagai bentuk produk dari 25 negara, termasuk Indonesia. Ragam produk yang diimpor adalah bentuk utuh beku, fillet (lempengan daging ikan tanpa tulang) segar, dan fillet beku.
Menurut catatan National Marine Fisheries Service, tahun lalu, negara Paman Sam itu mengimpor nila sebanyak 158.253 ton, atau naik 14,8% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah ini, 74.381 ton berupa fillet beku.
Sekitar 85% produk nila yang diimpor AS berasal dari China. Sebagian lagi dipasok dari Indonesia, Taiwan, Thailand, Ekuador, dan Vietnam.
Indonesia sendiri, tahun lalu, hanya memasok 7.392 ton dalam bentuk fillet beku, dan utuh beku. Volume ini menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya yang sudah mencapai 16.398 ton. Yang menarik, fillet nila beku dari Indonesia dan Ekuador dibeli AS lebih tinggi ketimbang fillet asal China. Sepanjang 2006, fillet beku asal Indonesia dan Ekuador dihargai rata-rata US$5/kg. Sementara asal China rata-rata US$3/kg. Khusus untuk nila utuh beku, AS mematok harga US$1,5/kg.
Di luar AS, masih banyak negara yang butuh banyak pasokan nila, seperti Jepang, Singapura, Hongkong, dan Eropa. Walaupun di Eropa nila masih dianggap komoditas baru, setiap tahun negara itu mengimpor 10.000 ton.
Peluang Besar
Sampai sekarang, baru ada beberapa perusahaan yang menggarap pasar ekspor, seperti PT Aquafarm Nusantara (Sumut), PT Dharma Samudera Fishing Industries (Jakarta), PT Kelola Mina Laut, dan PT Bumi Agro Bahari Nusantara (keduanya di Jatim). Namun, perusahaan yang mampu mengekspor nila secara kontinu dengan volume besar, baru Aquafarm.
Menurut Freek Huskens, Pimpinan Aquafarm, dari cold storage yang berlokasi di Serdang Bedagai-Sumut, setiap bulan diekspor sebanyak 26 kontainer, atau 520 ton. Negara tujuan ekspor, yakni AS (75%), Kanada, dan beberapa negara Uni Eropa. Produk yang diekspor berupa fillet beku dan utuh beku.
“Sebenarnya peluang peningkatan ekspor sangat besar. Pasalnya, pertumbuhan konsumsi nila di dunia mencapai 30%—40% per tahun,” ungkap Freek, suatu waktu kepada AGRINA. Untuk meningkatkan ekspor, Aquafarm terus berupaya untuk meningkatkan produksi. Soalnya, kapasitas pabrik yang mencapai 100 ton per hari, baru terpenuhi 75%.
Untuk menghasilkan fillet siap ekspor, setiap hari Aquafarm mengolah 73 ton nila yang masih hidup dan segar. Nila yang rata-rata berbobot 2 kg itu merupakan hasil budidaya di Danau Toba, setelah dipelihara selama 7,5 bulan.
Selain daging, Aquafarm juga mengekspor kulit, sisik, dan dada. Kulit nila dikirim ke Prancis dan Italia. Dua tahun silam sudah diekspor sebanyak 560 ton. Di sana, kulit dimanfaatkan sebagai bahan gelatin bermutu tinggi.
Demikian juga dengan sisik. Setelah dibersihkan dan dikeringkan, diekspor ke Korea Selatan untuk bahan kosmetika. “Satu bulan kami bisa kirim 30 ton,” aku Freek. Sementara dada ikan, setelah diproses, dikirim ke Taiwan. Ekspornya setiap bulan mencapai 25 ton.
“Setelah kita promosi, ternyata pasar dalam negeri juga sangat besar,” tandas Freek. Setiap hari Aquafarm menjual 14 ton kepala nila untuk restoran dan rumahtangga. Sementara sisanya dijual ke pabrik tepung ikan dan pabrik minyak ikan.
Membaiknya pasar lokal dibenarkan Agung Nugroho, Technical Sales and Service Aquafeed Operation PT Suri Tani Pemuka (STP), salah satu produsen pakan nila di Jakarta. Menurut dia, pasar Surakarta, Semarang, Yogya, dan Surabaya saja membutuhkan lebih 100 ton/bulan, tapi baru terpenuhi sekitar 30%.
Mulai Berkembang
Selain diminati pasar ekspor, kini nila memang banyak dibutuhkan pasar lokal. Menurut Aminto Nugroho, Sales Manager Aquafeed Operation PT STP, pasar nila, khususnya lokal, saat ini membaik, terutama di luar Jabar. Sejak usaha tani ikan mas luluh-lantak oleh serangan virus herpes, para petani beralih ke nila. “Soalnya ada kepastian usaha. Tidak seperti ikan mas, nila nyaris tahan penyakit dan pasarnya ada,” tandasnya.
Hal senada diutarakan Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Sinta Prima Feedmill, produsen pakan nila di
Sementara itu, Mamat Slamet, GM Marketing Pakan Ikan PT CP Pertiwi, juga produsen pakan nila, melihat adanya fenomena menarik di pasar ikan air tawar. Setiap bakul ikan mas harus menyertakan nila hidup. Ini menunjukkan minat konsumen terhadap nila meningkat. “Kalau fenomena ini berkembang terus, khususnya di Jabar, akan menggeser ikan mas, karena pasar sudah minta nila,” ujarnya.
Bagi pedagang, berjualan nila tampaknya menggiurkan. Harga nila di tingkat petani jaring apung (japung) rata-rata Rp6.200/kg. Para bakul menjual ke lapak di pasar Rp9.000/kg. Sementara lapak menjual ke konsumen Rp12.000/kg. Lain lagi dengan nila dari kolam air deras, harganya lebih tinggi Rp2.000/kg. “Harga nila relatif stabil, walaupun ada fluktuasi harga tapi tidak setajam harga ikan mas,” ucap Hendro Nuswantoro, petani nila di Waduk Jatiluhur, Jabar.
Aminto menambahkan, nila yang dibutuhkan pasar lokal kebanyakan berbobot 3—5 ekor/kg. Sementara untuk pasar swalayan berukuran 1—2 ekor/kg. Yang jelas, lanjut dia, secara nasional, sekitar 80% produksi nila diserap pasar lokal.
Kurang Benih dan Indukan
Meningkatnya animo petani untuk mengusahakan nila berdampak positif terhadap penyerapan pakan. Tahun lalu konsumsi pakan nila nasional mencapai 6.000—7.000 ton sebulan. “Tahun ini diperkirakan permintaan pakan naik 10%,” ucap Anang. Namun perhitungan Mamat lebih optimis, bisa naik sampai 30%. “Sebaliknya pakan ikan mas bisa turun hingga 20%,” imbuhnya.
Sayang, gairah usaha nila belum didukung penyediaan benih dan induk unggul. Padahal di Indonesia terdapat 30 Balai Benih Ikan (BBI) Sentral dan 422 BBI Lokal. “Untuk menghasilkan satu strain unggul tidak gampang, perlu waktu minimal tiga tahun,” kilah Ir. Sri Judantari, Kepala Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) Wanayasa, Purwakarta, Jabar.
Tahun ini, Sri menargetkan produksi benih unggul strain Nirwana 2,613 juta ekor, ukuran 1—3 cm, dan 9,18 juta ukuran 3—5 cm. Jumlah ini masih jauh dari cukup bila dibandingkan permintaan Jabar yang mencapai 107,169 juta ekor dalam berbagai ukuran. Selain itu, BPBI Wanayasa juga menargetkan produksi 100 paket induk nila (PS). Tiap paket terdiri 300 ekor nila betina dan 100 ekor jantan. Harga setiap paket Rp2,5 juta.
Di luar milik pemerintah, ada juga panti benih milik swasta. Aquafarm misalnya, membangun hatchery seluas 30 ha. Dalam menghasilkan strain unggul, Aquafarm mendatangkan induk dari Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan AS. Kini perusahaan PMA ini sudah menghasilkan 12 strain nila unggul. Namun, produksi benihnya yang mencapai 2,3 juta ekor/bulan itu digunakan sendiri.
PT Sinta, PT STP, dan PT CP Pertiwi pun memproduksi benih. Ketiga perusahaan ini memproduksi benih berbagi ukuran sekitar 6 juta ekor/bulan, dan dijual ke pasar umum. Walaupun ditambah swasta, tetap saja pasokan benih unggul masih kurang.
Bisa Didongkrak
Secara umum, agribisnis nila di tanah air belum digarap optimal. Masih banyak budidaya dilakukan tidak intensif, sehingga lambat berkembang. Tengok saja di Waduk Jatiluhur dan Cirata (Jabar), nila hanya dijadikan komoditas kedua setelah ikan mas.
Usaha tani nila di waduk itu dilakukan tumpangsari dengan ikan mas. Nila diusahakan pada lapis jaring kedua (jaring kolor). Pakan untuk nila hanya mengandalkan dari pakan yang lolos dari jaring lapis pertama.
Menurut Yanto, Wakil Ketua Himpunan Petani Jaring Apung (HPJA) Waduk Jatiluhur, dari 15.000 japung yang beroperasi, sekitar 13.000 berisi nila. Sementara di Cirata terdapat 40.000 japung. Menurut H. Baban, petani nila di Cirata, 99% petani Cirata menerapkan sitem jaring kolor.
Dari dua waduk tersebut, setiap bulan hanya dihasilkan 3.000—4.000 ton nila ukuran konsumsi. Seluruh produksi dilempar ke pasar lokal.
Pemanfaatan waduk dilakukan juga di Kedung Ombo (Jateng) dan Danau Singkarak (Sumbar). Menurut Pujianto, petani nila di Kedung Ombo, jumlah japung di kawasan itu sekitar 220, dengan produksi 21 ton/bulan. Beda dengan Jatiluhur maupun Cirata, di Kedung Ombo nila dibudidayakan secara intensif.
Agribisnis nila yang lambat berkembang sangat disayangkan Ir H. Koesnan Maryono, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Yogyakarta. Menurut dia, walaupun pasarnya terbuka dan bisnisnya menguntungkan, usaha tani nila masih dianggap sampingan.
Menyikapi kondisi itu, kini PT CP Pertiwi sedang menggarap proyek agribisnis nila di Subang, Jabar. “Kami ingin memberi contoh kepada petani untuk memanfaatkan kolam air deras bekas ikan mas, dijadikan tempat budidaya nila,” papar Emma Dolly Raphen, S.Pi, Manajer Proyek Nila PT CP Pertiwi. Rencananya, selama 2007, perusahaan ini akan mengembangkan sampai 800 kolam.
Ikhtiar semacam itu sebenarnya bisa ditiru perusahaan lain. Harapannya tentu untuk merangsang agar agribisnis nila dalam negeri berkembang pesat.