Keputusan tersebut menyikapi desakan para peternak ayam pedaging di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang dalam tiga hari terakhir (26—28 Maret) memboikot pengiriman ayam. Selama ini peternak melempar produksi ayam pedaging mereka ke sebagian wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalanbun. Aksi pemboikotan terjadi karena mereka dirugikan akibat pemberlakuan peraturan daerah Kota Palangkaraya Nomor 32 Tahun 2004, yang memungut retribusi Rp2.000 per ekor untuk setiap lalulintas ternak antarprovinsi.
Dalam melakukan aksinya, peternak mencegat setiap angkutan ternak ayam pedaging di sekitar Jembatan Barito yang akan menuju perbatasan wilayah Kalteng. Aksi ini sempat menimbulkan ketegangan lantaran para pedagang dari wilayah Kabupaten Kuala Kapuas meminta tetap dikirim. Alasannya, kabupaten tersebut tidak melakukan pungutan retribusi serupa.
Aksi itu mendapat perhatian Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang yang kemudian mengambil alih penyelesaian polemik peraturan daerah tersebut dari Pemerintah Kota Palangkaraya. “Ini karena imbas dari peraturan daerah tersebut sudah menyangkut hubungan lintasprovinsi, terutama antara Kalteng dan Kalsel,” kata Teras Narang, kepada wartawan di Palangkaraya (28/3).
Mantan anggota DPR itu menambahkan, Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus pembina pemerintah di daerah. Oleh karena itu Gubernur berusaha dulu menyelesaikan masalah terkait perda retribusi unggas ini di daerah.
Di Jakarta, Don P. Utoyo, Koordinator Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) menyambut baik keputusan pencabutan perda tersebut. Ia berharap, hal ini menjadi pelajaran bagi pembuat kebijakan agar tidak gegabah. “Karena kebijakan seperti ini tidak masuk akal. Masa’ retribusi 25% dari biaya produksi,” komentar Don.
Ketua Persatuan Peternak Kecil Mandiri (PPKM) Kalsel, Suhaimi, yang dikonfirmasi lewat telepon, menyatakan, pungutan retribusi itu memang sangat merugikan peternak karena selisih antara biaya produksi dengan harga jual di daerah menjadi pas-pasan. Ia memberi ilustrasi, kalau biaya produksi berkisar Rp8.000/kg, maka harga jualnya hanya Rp10.000/kg. Artinya, kalau dikenai pungutan Rp2.000/ekor, peternak nyaris tak meraup keuntungan.
Mengancam Keberlangsungan Usaha
Kepala Dinas Peternakan Kalsel, Maskamian Anjam, sendiri mengaku heran dengan pemberlakuan perda. Pasalnya, saat dikeluarkan pada 2004, perda itu diprotes dan akhirnya dihentikan. Namun, pemkot Palangkaraya kembali memberlakukan tahun ini. Padahal, selain ayam pedaging, untuk memenuhi kebutuhan telur, pakan, obat-obatan, dan bibit ayam, Provinsi Kalteng masih bergantung kepada peternak Kalsel.
Selama ini, peternak ayam di Kalsel mampu memproduksi ayam pedaging sekitar 60.000 ekor/hari. Sebanyak 15.000—20.000 ekor di antaranya dipasok ke beberapa kota di Kalteng.
Maskamian yang dihubungi via telepon kepada AGRINA mengatakan, dilihat dari sisi hukum, perda tersebut tidak mempunyai dasar yang cukup. Seharusnya untuk memungut retribusi, pemerintah setempat terlebih dahulu memberikan fasilitas pelayanan. Selain itu retribusi diberlakukan bila ada sumber daya, tenaga, atau modal daerah yang terkuras. “Kedua hal itu sama sekali tidak terpenuhi,” ucap Bu Mian, sapaannya. Ia bersyukur akhirnya perda yang mengancam keberlangsungan usaha 2.000 peternak di wilayahnya tersebut dibatalkan.
Yan Suhendar