Selasa, 20 Maret 2007

Pengembangan Bahan Bakar Nabati

Penggunaan bahan bakar dari minyak bumi (BBM) nasional sebanyak 65 juta kilo liter atau 65 miliar liter setahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 73% dipasok dari produksi dalam negeri, dan sisanya impor.

Kalau 10% saja BBM itu bisa diganti dengan bahan bakar nabati (BBN) tentu akan sangat menghemat devisa. Selain itu, tujuan lain dari pengembangan BBN adalah pembukaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.

Berdasarkan cetak biru Pengelolaan Energi Nasional, cadangan minyak bumi kita sebanyak 9 miliar barrel dan diproduksi sebanyak 360 juta barrel per tahun. Tanpa penemuan cadangan baru, sumber minyak itu akan habis dalam dua dekade ke depan dan kita harus mengimpor semua kebutuhan BBM.

Dari porsi penggunaan BBM, transportasi menyerap 48%, industri 19%, rumahtangga 18%, dan kelistrikan 15%. Dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor, penggunaan BBM transportasi diperkirakan akan naik 5% per tahun. Tahun ini diperkirakan penggunaan premium nasional mencapai 17,46 juta kilo liter atau 17,46 miliar liter.

 

Tak Perlu Malu Meniru

Tingginya angka penggunaan BBM, sejatinya tidak harus ditutup melalui impor. Ada beberapa sumber energi alternatif yang bisa disubstitusikan sebagai pengganti BBM. Tentu, energi alternatif ini harus bisa diperbarui dan berkelanjutan. Jawabannya adalah tanaman.

Hasil penelitian di ITB, Bandung, sedikitnya ada 50 jenis tanaman yang potensial dijadikan bahan baku BBN. Jauh sebelum itu, pada tahun 1900 Rudolf Diesel, sang penemu mesin diesel, pun sudah memperkenalkan mesin diesel berbahan bakar minyak kacang. Namun dalam perkembangannya, bahan bakar solar (diesel) dari turunan minyak bumi lebih banyak digunakan. Demikian pula di Indonesia, dengan harga yang murah, lantaran disubsidi pemerintah, bahan bakar dari minyak bumi menjadi pilihan selama bertahun-tahun.

Pembuatan energi nabati (biofuel), sudah menggejala di berbagai belahan dunia. Ada yang mengembangkan biodiesel, sebagian lainnya mengaktifkan bioetanol.

Produsen minyak kelapa sawit di Malaysia, IOI Corp., dan Kuok Oil & Grains, misalnya,  membangun dua penyulingan minyak kelapa sawit di Rotterdam, Belanda. Perusahaan yang memproduksi satu juta ton minyak kelapa sawit dalam satu tahun ini, bertujuan memenuhi kebutuhan biodiesel di Eropa. Sementara itu, perusahaan minyak raksasa Brasil, Petrobras, akan meningkatkan ekspor etanol sampai 9,4 miliar liter pada 2010. Hal serupa dilakukan kalangan perusahaan minyak dunia lainnya. Misalnya, North Dakota Biodiesel Inc., yang menginvestasikan US$50 juta untuk proyek biodiesel di Minot, North Dakota, Amerika Serikat. Biodiesel ini berbasis tanaman kanola (sejenis sawi). Demikian pula yang dilakukan Thailand, India, China, Jepang, dan Kanada. Di Indonesia?

 

Sebatas Harapan?

Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku BBN. Sebagai produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen biodiesel berbasis sawit. “Tulang punggungnya memang ada di sawit. Namun, sawit juga sumber minyak pangan sehingga kestabilan penyediaan biodiesel akan terganggu jika kebutuhan minyak pangan meningkat. Oleh karena itu, perlu ada bahan back-up, berupa minyak nonpangan,” ungkap Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Forum Biodiesel Indonesia (FBI), yang juga peneliti biodiesel di Fakultas Teknik Kimia ITB. Alternatifnya adalah jarak pagar (Jatropha curcas).

Biodiesel dimanfaatkan untuk pencampur atau pengganti solar dan pengganti minyak tanah (biokerosen). Porsi pencampuran untuk transportasi sampai 30%, tapi berdasar SK Migas hanya sampai 10%.

Sementara itu, untuk menekan penggunaan premium, perlu dikembangkan bioetanol, sebagai pencampur atau pengganti premium. Kadar campuran maksimal rekomendasi sampai 15% volume, tapi berdasarkan SK Migas hanya 10%. 

Bioetanol dapat diproduksi dari bahan yang mengandung pati, misalnya jagung, sorgum, hanjeli, sagu, ubijalar, singkong, ganyong, garut, dan umbi dahlia. Juga dapat dihasilkan dari tetes tebu, nira, nipah, sorgum manis, sari buah mete, dan nira aren. Atau bisa juga dikembangkan dari kayu, jerami, batang pisang, dan bagas tebu. Namun, dari sekian banyak sumber bioetanol, tampaknya tebu, singkong, dan jagung yang menarik minat pelaku bisnis untuk mengembangkannya.

Berdasarkan Strategi Pengembangan BBN, sampai 2010 pasokan bioetanol diharapkan dari 750.000 ha kebun tebu bukaan baru, dan singkong 1,5 juta ha. Masing-masing diharapkan memasok 5,77 juta kilo liter dan 4,69 juta kilo liter. Sedangkan pasokan biodiesel  diharapkan dari 1,5 juta ha lahan baru sawit dan 1,5 juta ha perkebunan jarak pagar. Perkebunan sawit baru itu diharapkan menghasilkan 1,3 juta kilo liter, dan dari kebun jarak pagar sebanyak 1 juta kilo liter.

Sejak genderang pengembangan BBN ditabuh pemerintah saat krisis BBM pada 2005, sampai sekarang bukti keseriusannya boleh dibilang belum nyata. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden mengenai Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden tentang biofuel (BBN). Perpres No 5 tahun 2006 itu dibuat dengan pertimbangan untuk menjamin pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Sedangkan Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar alternatif. Inpresi ini memerntahkan 13 kementerian dan seluruh gubernur, bupati, walikota mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN.

“Pengembangan BBN tidak berjalan karena kebijakan pemerintah belum jelas,” tandas Tatang. Mestinya, lanjut dia, pemerintah mengawal industri BBN yang baru tumbuh supaya bergairah. Misalnya, pemerintah membuat aturan untuk menyisihkan 15% produk CPO nasional untuk dijadikan biodiesel. Lebih dari itu, silakan mencari sumber lain. Demikian pula yang terjadi pada program pengembangan jarak pagar. “Muatan politiknya lebih besar ketimbang teknisnya,” imbuh Tatang.

 

Baru Beberapa

Memang Pertamina, salah satu perusahaan milik negara, yang diamanati sebagai pembeli siaga saat ini sudah memasarkan BBM mengandung BBN. Hal ini dikonfirmasi Toharso, Vice President Communication Division PT Pertamina.  Dari produksi solar yang sebanyak 70.000 kilo liter/hari, pihaknya baru memproduksi 1.800 kilo liter biosolar yang mengandung 5% Fatty Acid Methyl Esther (FAME), turunan CPO. Biosolar ini sudah dipasarkan melalui 200 SPBU di Jabotabek, dan 5 SPBU di Surabaya. Bahan bakar yang lebih ramah lingkungan ini dijual dengan harga sama dengan solar.

Pertamina juga sudah memasarkan biopremium dan biopertamax yang masing-masing mengandung bioetanol dari tetes tebu 5%. Namun, “Produksinya masing sangat sedikit, jauh di bawah biosolar. Biopremium dijual di satu SPBU di Malang, sedangkan biopertamax di SPBU Permata Hijau,” ungkap Toharso.

Hal serupa telah dilakukan PLN, pembeli siaga BBN yang lain. “Sebenarnya kita sudah mencoba menggunakan BBN tapi belum dari jarak pagar. Kita memakai minyak goreng curah (olein) sebagai pencampur solar dengan kandungan 50% dan 80% untuk menghidupkan mesin pembangkit. Totalnya 10 mega watt (MW),” papar Ario Senoaji, Manager  Manager of Renewable Energy,   Directorate Generation & Primary Energy PT PLN. Namun, lanjut dia, karena sekarang harga minyak goreng curah mahal, Rp5.300, lebih mahal ketimbang solar tanpa subsidi, Rp5.000, PLN tidak menggunakan lagi. “Nanti kita dikatakan nggak efisien. Jadi, sepanjang itu harga sama dengan BBM, kita pasti akan memprioritaskan bahan bakar nabati,” tandasnya.

Pihak swasta yang telah mengembangkan bioetanol, di antaranya PT Indo Lampung Distillery, anak perusahaan Sugar Group Companies (SGC), di Lampung Tengah dan PT Molindo Raya Industrial, di Malang, Jatim. Indo Lampung Distillery yang ditinjau Presiden SBY akhir Februari lalu itu ditargetkan mampu menghasilkan 60 juta liter etanol/tahun.  Direktur SGC M. Fauzi Thoha menyatakan, pabrik etanol ini menggunakan bahan baku tetes tebu yang merupakan hasil sampingan dari pabrik gula. Etanol yang dihasilkan nantinya akan menjadi campuran premium dengan komposisi 10% etanol dan 90% premium. Latar belakang pihaknya mendirikan pabrik etanol untuk membantu pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, mendukung program konversi BBM ke minyak nabati, menghemat devisa negara, dan menyediakan lapangan pekerjaan.

Sementara Donny Winarno, VP Sales & Marketing PT Molindo Raya Industrial, mengungkap, pihaknya kini memproduksi 50 juta liter bioetanol/tahun. Bahan bakunya dari tetes tebu yang dibeli dari RNI. Selama ini, bioetanolnya dipasarkan ke perusahaan farmasi dan kosmetik. Sekitar 3 juta liter antara lain diekspor ke Filipina, Thailand, India, dan Malaysia. Sekarang mereka juga sudah memasarkan produksinya ke Pertamina sebanyak 10 juta liter per tahun untuk memproduksi biopertamax.

 

Jarak Pagar

Di luar seabrek bahan baku BBN, sesungguhnya, jarak pagar merupakan pilihan paling layak untuk dipertimbangkan. Menurut Dr. Robert Manurung, peneliti jarak pagar dari ITB Bandung, jarak pagar mempunyai beberapa keunggulan dibanding sumber BBN lainnya. Jarak pagar bisa hidup dan tetap produktif meski ditanam di tanah kritis dan tandus. Sementara luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 25 juta ha dengan tingkat penggundulan 3 juta hektar per tahun. Jarak pagar pun tidak bersaing dengan sumber pangan, dan dapat dipanen terus menerus hingga usia 50 tahun.

Beberapa lembaga yang kini sudah mencoba memanfaatkan jarak pagar adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), ITB yang bekerjasama dengan perusahaan Belanda, PT Rekayasa Industri, PT Energi Alternatif Indonesia, dan PT Lakban Silinggapuri Lampung.

Menurut Rama Prihandana, Direktur Utama RNI, jarak pagar bisa menggerakkan embrio perekonomian pedesaan yang terpencil, menghijaukan lahan gundul, tandus, dan marginal. Para petani pemilik lahan seperti ini dapat memperoleh penghasilan dengan menjual biji jarak atau menjual minyak jarak mentah kepada perusahaan mitranya. Pihaknya pun berkepentingan untuk dipasok minyak jarak mentah.

Nurmizan, Wakil Direktur PT Lakban Silinggapuri, mengatakan, pihaknya sudah mulai mengembangkan tanaman jarak pagar untuk bahan baku minyak biodiesel di Lampung, Pada tahap awal perusahaan lokal ini menanam 7.000 ha tanaman jarak di Pulau Tabuan, Kabupaten Tanggamus.

Dari sisi pemerintah daerah, Pemda Lampung, menurut Tri Hardiyanto, Kepala Dinas Perkebunan Lampung, memberikan dukung penuh terhadap pengembangan tanaman bioenergi di daerahnya. Saat ini pihaknya sedang melakukan pembibitan seluas 3 ha untuk memenuhi kebutuhan petani.

Menyinggung soal pasar minyak jarak pagar, baik Rama maupun Manurung, yakin sangat terbuka. “Pasar minyak jarak (crude jatropha curcas oil/CJCO), khususnya untuk pasar ekspor unlimited (tidak terbatas). Pasalnya, harga CJCO bisa bersaing dan kualitasnya lebih baik ketimbang rapeseed (kanola),” jelas Manurung. “Kalau barangnya ada, kami bisa memasarkan 100.000 ton minyak jarak per tahun,” imbuh Rama.

Walau demikian, kenyataannya, Indonesia belum optimal mengkonversi energi matahari yang tersimpan di dalam beragam tanaman untuk dimanfaatkan sebagai BBN. Padahal, selain potensi bisnis, pengembangan BBN juga dapat dijadikan alat pengentasan kemiskinan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu membuat kebijakan radikal untuk mendukung dan mengkampanyekan pengembangan agribisnis BBN.

 

Dadang WI, Peni SP, Safnijal DS, Tri Pranowo, Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain