Selasa, 5 Desember 2006

Katanya Swasembada Kok Impor?

Stok jagung dunia semakin menipis. Menurut catatan Deptan Amerika, USDA, tahun lalu stoknya masih 122,6 juta ton. Namun, sampai Oktober lalu tinggal 88,1 juta ton.

Tiga tahun lalu, Indonesia mengimpor 1,5—2 juta ton. Setahun kemudian impornya turun menjadi 1 juta ton. Tahun lalu kita masih impor walaupun hanya 400.000 ton. Namun tahun ini diperkirakan impor bakal membengkak menjadi 1,6 juta ton.

Sebenarnya, menurut Dirjen Tanaman Pangan, Sutarto Alimoeso, secara nasional terjadi peningkatan produksi jagung. Bila pada 2004 produksinya baru 11,225 juta ton, pada 2005 meningkat menjadi 12,52 juta ton.

Namun, kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan, makanan, dan minuman selalu meningkat 10%—15%/tahun. “Sehingga, peningkatan produksi belum mampu memenuhi kebutuhan, maka masih diperlukan impor,” jelas Sutarto melalui telepon.

 

Mesti Digenjot

Menurut Ketua Umum Dewan Jagung Nasional, Fadel Muhammad, agar Indonesia tak lagi mengimpor jagung, harus digenjot program swasembada jagung dalam waktu 1—2 tahun mendatang.

Indonesia, lanjut dia, cukup mampu memenuhi kebutuhan jagung karena potensi lahan yang cukup besar. “Namun, pemerintah belum menaruh perhatian terhadap jagung karena terlalu fokus pada beras,” tandasnya.

Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri memang masih terbuka luas. Caranya, melalui peningkatan produktivitas yang sekarang masih rendah (rata-rata 3,4 ton/ha), dan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas, terutama di luar Jawa.

Menjawab hal itu, pemerintah telah merancang program swasembada jagung pada 2007. Targetnya, terjadi penambahan luas lahan sebanyak 271.000 ha di 20 provinsi dan 129 kabupaten. Jadi, diharapkan ada penambahan produksi sebanyak 542.000 ton.

“Untuk merealisasikan program ini, pemerintah akan memberikan bantuan dana bagi petani Rp20.000,00 untuk setiap kg benih,” jelas Sutarto. Hasil program tersebut ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan, khususnya untuk industri pakan ternak (unggas) yang merupakan kegiatan agribisnis hilir yang terpenting dalam agribisnis jangung.

Berdasarkan analisis Ditjen Tanaman Pangan, pada periode 2005—2020, kebutuhan jagung untuk industri pakan diperkirakan meningkat menjadi 51,5% dari kebutuhan jagung nasional, bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60% dari kebutuhan tersebut.

Selain itu, jagung juga sebagai bahan penting industri tepung, pangan olahan, dan minuman serta pati. Pada 2005, penggunaan jagung untuk industri ini diperkirakan sebanyak 2,17 juta ton dan diprediksi pada 2025 nanti sekitar 4,94 juta ton. Rata-rata penggunaan selama periode 2005—2025 diperkirakan 22,5% dari kebutuhan nasional dan cenderung meningkat 3,0%/tahun. 

Sembari menunggu realisasi swasembada, Dirjen Peternakan, Mathur Riady, berharap pemenuhan jagung bagi industri pakan dapat tergantikan sebagian oleh rendering produk dari meat & bone meal (MBM) atau poultry meat meal (PMM).

Dengan demikian harga jual pakan di pasaran dapat ditekan. Memang, pabrikan sudah lama memanfaatkan bahan baku pakan tersebut. Namun dalam beberapa bulan terkahir pasokannya terganggu lantaran ada kasus impor MBM ilegal dari Spanyol. Sementara izin impor MBM dari zona bebas sapi gila baru saja dibuka oleh pemerintah.

 

Melangit

Jika kita tidak mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, kita akan sangat tergantung kepada impor. Sementara jagung impor harganya terus melangit. Awal September lalu, misalnya, harga jagung impor sudah mencapai US$200,00/ton. Akhir Oktober silam harganya melonjak menjadi US$329,50/ton. Dan pada minggu pertama bulan ini harganya kembali meroket menjadi US$351,00/ton.

Seretnya pasokan jagung dikonfirmasi Ari dari PT Jakson Niagatama, pedagang dan importir jagung di Jakarta. Melalui telepon ia mengatakan, harga pasaran jagung lokal akhir minggu lalu berkisar Rp2.150—Rp2.200/kg. Hal ini, menurutnya, karena suplai lokal sudah habis. Jagung impor pun tak kalah mahal, rentang harganya Rp2.300—Rp2.400/kg. Pada akhirnya harga pakan ternak pun naik.

Melihat fenomena tersebut, tentu pelaku industri pakan akan terbebani yang sangat berat ketika mendatangkan bahan baku pakan ini. Anton J. Supit, Ketua Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), mengatakan, seharusnya kondisi itu dapat diantisipasi sejak lama. “Dengan stok jagung dunia yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu, kenaikan harga ini akan terus terjadi,” imbuhnya.

Hal ini terjadi karena Amerika Serikat mengurangi ekspor sebanyak 15%—20%, dan mengalihkan ekspor untuk produk bioenergi, seperti etanol. China juga mengeluarkan kebijakan serupa.

Sementara menurut Fadel, naiknya harga jagung itu akibat
telah terjadi perubahan strategi politik pangan negara-negara penghasil utama jagung seperti AS, yang secara tradisional menjadi pemasok utama jagung dunia dengan mengisi pasar dunia hingga 200 juta ton.

Amerika Serikat, menurut Fadel, saat ini hanya memasok 50 juta ton saja dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dengan meningkatkan produksi bioenergi seperti etanol.

Selanjutnya, China juga tidak lama lagi akan menjadi importir karena komsumsinya yang terus meningkat. Selain untuk konsumsi, China juga memanfaatkan jagung bagi industri. “Kondisi tersebut akan mengakibatkan terjadinya kekurangan jagung secara besar-besaran di dunia,” urai Fadel.

AGRINA

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain