Suasana gembira menyelimuti PT Sumber Alam Sutera (SAS), anak perusahaan Artha Graha Network. Kamis, 28 September 2006, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, sudah menandatangani surat keputusan merilis padi hibrida Bernas Super (GH-2) dan Bernas Prima (GH-7). Kedua varietas benih padi ini diproduksi dan dipasarkan SAS.
Informasi tersebut disampaikan Ir. Sutarto Alimoeso, MM, Dirjen Tanaman Pangan, Deptan, Jum’at, 29 September 2006, di Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, Lampung. “Alhamdulillah, kemarin sudah ditandatangani Pak Menteri (Anton Apriyantono),’’ kata Sutarto di Pendopo Markas Kodim 0424/TGM di Kota Agung.
Sutarto datang ke Tanggamus atas undangan SAS untuk panen perdana padi hibrida Bernas Super di lahan milik Rasidi, petani di Desa Waysom, Kota Agung, Tanggamus, Lampung.
Selain Sutarto, ada pula direksi PT Petrokimia, PT Pupuk Sriwijaya, Bank Artha Graha, wakil BRI, Pangdam II Sriwijaya Mayjen. Sjarifudin Tippe, S.IP, M.Si., dan Komandan Korem 043/Gatam Kol. (Inf.) Bambang Gandhi. Tentunya hadir juga Babay Chalimi, Presiden Direktur SAS, dan Eryck Wowor, Direktur Pemasaran SAS.
Dari kalangan pejabat daerah, hadir pula Gubernur Lampung Sjachroedin ZP dan Bupati Tanggamus Fauzan Sja’ie. Yang tidak kalah menarik kehadiran Tommy Winata, pemilik Artha Graha Network. “Pak Tommy sangat perhatian dengan kesejahteraan petani,’’ kata Eryck, dalam penerbangan ke Jakarta dengan pesawat Sriwijaya Air.
Tahan Napas
Padi hibrida Bernas Super ditanam di lahan 6.000 m2 atau 0,6 ha, milik Rasidi alias Zaidi, 52, yang lokasinya tidak jauh dari Makodim 0424/TGM. Menurut ayah tiga anak ini, ia mau menanam padi hibrida Bernas Super karena menghormati Letkol. (Art) Purwo Sudaryanto, Dandim 0424/TGM, dan pihak SAS.
Maklumlah, selama ini ia biasa menanam padi varietas IR-64 sehingga belum percaya dengan varietas padi hibrida. Biasanya, kalau menggunakan IR-64, ia menanam 10 bibit (batang) per lubang, sedangkan dengan bibit padi hibrida hanya satu batang saja.
Sebelum 15 hari setelah tanam (HST), anakan padi hibrida baru 9—10 batang. Padahal kalau dengan IR-64 sudah lebih banyak. “Saya tahan napas, kalau tidak kuat, sudah mundur,’’ kata Rasidi. Tapi, ia kaget setelah di atas 15 hari, jumlah anakan padi hibrida cepat sekali bertambah. Bahkan, pada saat panen, padi hibrida yang berusia 111—112 hari ini, anakannya sudah mencapai 30-an. Jauh dibandingkan IR-64, yang sekitar 20-an.
Rasidi menjadi lebih kaget lagi. Dari hasil penimbangan Dinas Pertanian Tanggamus terhadap tiga lokasi ubinan (6,25 m2/ubinan), rata-rata hasilnya sekitar 7,78 kg/ubinan atau 12,44 ton Gabah Kering Panen (GKP)/hektar atau setara 6,84 ton beras/ha. Karena lahannya 0,6 ha, berarti ia memperoleh sekitar 7,46 ton GKP.
Tentu saja penghasilan Rasidi cukup besar. Apalagi, dalam proses sosialisasi padi hibrida ini, ia sepakat dengan SAS, kalau produksinya kurang dari 4 ton/0,6 ha, SAS tetap membayar sejumlah 4 ton, tapi kalau lebih, itu keuntungan Rasidi. Dengan harga yang disepakati Rp2.000/kg GKP, berarti pendapatan Rasidi mencapai Rp14,92 juta.
Itu merupakan pendapatan kotor. Tentunya perlu dikurangi dengan biaya produksi seperti pembelian sarana, biaya pengolahan lahan, tenaga kerja, dan pascapanen. Dalam hal ini, Rasidi menggunakan pupuk urea, produksi PT Pupuk Sriwijaya, pupuk Phonska produksi PT Petrokimia, dan pestisida Fastac, produksi BASF Indonesia.
Bandingkan kalau Rasidi menggunakan benih varietas IR-64. Biasanya, produksinya sekitar 4 ton GKP/0,6 ha. Memang harga benih padi hibrida sekitar Rp35.000/kg, sedangkan benih IR-64 cuma Rp4.000/kg. Dengan padi hibrida, kebutuhan benihnya 9 kg/0,6 ha atau setara Rp315.000, sedangkan padi inbrida 27 kg/0,6 ha atau setara Rp108.000. Meski demikian, keuntungan dari padi hibrida lebih besar ketimbang padi inbrida.
Guo Hao Seed
Dalam mengembangkan padi hibrida Bernas Super dan Bernas Prima ini, SAS bekerjasama dengan Guo Hao Seed Industries, Co., Ltd., Sichuan, China. Diperkirakan, setiap tahun, Guo Hao mengekspor sekitar 1.500 ton benih padi hibrida ke Vietnam.
Vietnam sangat gencar menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi berasnya. Diduga, menurut sumber AGRINA, impor beras 210.000 ton yang dilakukan Perum Bulog dari Vietnam Oktober ini, justru berasal dari padi hibrida yang benihnya diimpor Vietnam dari China. “Kalau kita impor (beras), berarti kita membantu petani di luar. Masa kita negara agraris, impor beras,’’ kata Babay Chalimi.
Karena itu, Menteri Pertanian Anton Apriyantono berkepentingan meningkatkan produksi beras nasional. Salah satu caranya, meski tetap berhati-hati, dengan menggunakan varietas padi hibrida untuk meningkatkan produktivitas padi nasional. Beberapa waktu lalu Anton sempat berkunjung ke Guo Hao Seed Industries, Co., Ltd.
Jaminan Pasar
Padi hibrida memang belum banyak dikenal sehingga para petani ragu apakah padi hibrida ini bisa diterima konsumen atau tidak. Berbeda dengan IR-64, misalnya, sudah dirasakan konsumen kenikmatannya. “Kita duduk-duduk saja di rumah, pembeli datang. Kalau padi hibrida ini, saya belum tahu,’’ kata Rasidi.
Untuk tahap awal ini, menurut Babay Chalimi, pihaknya membeli hasil panen padi hibrida. “Kalau jual benih saja, tapi tidak ada jaminan pasar padi, kami tidak menerima,’’ ujar Rasidi.
Tapi, ke depan, SAS ingin melibatkan Perum Bulog atau perusahaan lainnya membeli hasil panen padi hibrida. Jika SAS dan beberapa perusahaan lain berhasil mensosialisasikan padi hibrida ke para petani, boleh jadi kita tidak perlu impor beras.
AGRINA