Pasar Induk Kramatjati (PIK) bukanlah nama yang asing bagi pebisnis sayuran dan buah-buahan segar. Begitu juga dengan para pelaku usaha rumah makan, katering, serta bagian penyedia makanan di rumah sakit dan hotel besar di wilayah Jakarta.
Betapa tidak, di tempat inilah beragam produk pertanian berupa buah, sayur, dan bumbu-bumbu tumpah ruah dari seluruh Indonesia. Itulah sebabnya, PIK menjadi barometer perdagangan sejumlah komoditas hortikultura, seperti sayuran dan buah-buahan.
PIK merupakan pasar grosir terbesar di Indonesia yang memperdagangkan tak kurang dari 37 jenis sayuran dan 31 jenis buah-buahan dari berbagai kelas kualitas (grade), baik lokal maupun impor. Tak kurang dari 3.000 ton/hari produk hortikultura di perdagangkan di pasar besar ini dengan omzet mencapai Rp15 miliar/hari.
Tak Becek Lagi
Seperti pasar tradisional lainnya, di PIK masih menerapkan sistem tawar menawar dalam bertransaksi. Kondisi ini membuka peluang bagi pembeli untuk mendapatkan harga miring, apalagi PIK merupakan pasar grosir yang rantai perdagangannya masih relatif pendek. PIK memang memberikan banyak peluang usaha bagi ribuan pedagang produk hortikultura di pasar-pasar kecil.
Banyaknya para pencari nafkah di pasar yang eksis sejak tahun 1973 ini, tak lepas dari volume penjualannya yang lumayan tinggi. Pasar ini memasok 150 pasar tradisional di wilayah Jakarta dan sedikitnya 30.000 orang terlibat di dalamnya.
Potensi transaksi yang begitu besar, tentu bisa menjadi harapan bagi pemasok dan produsen produk hortikultura, baik dari Pulau Jawa, NTB, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Sayangnya, menembus PIK bukan perkara gampang sehingga kabar kegagalan pemasok menembus PIK bukan lagi menjadi berita baru. Hal ini berkaitan dengan stigma buram yang masih melekat pada pasar-pasar tradisional meskipun sebesar PIK. Potret lusuh pasar tradisional yang paling utama adalah ketidakamanan berusaha akibat banyaknya preman yang berkeliaran di sekitar pasar.
Kehadiran mereka tentu mengggangu aktivitas pedagang maupun pembeli. Belum lagi ketidaknyamanan karena kondisi pasar tradisonal umumnya becek, sehingga istilah pasar becek begitu umum digunakan untuk membedakan dengan pasar swalayan.
Selain itu, pasar tradisonal identik dengan tumpukan sampah yang menggunung, tidak mempunyai fasilitas parkir, apalagi sarana penunjang bertransaksi, seperti bank misalnya.
“Jika pasar tradisional tidak segera berbenah, dapat dipastikan akan segera dilibas oleh hipermarket karena kita tidak bisa menolak masuknya globalisasi,” ujar Benny Kelana, area manajer PIK. Untuk itu, PD Pasar Jaya kini tengah berusaha meningkatkan pelayanan yang baik pada para pedagang maupun pembeli.
Satu contoh yang mulai dilaksanakan adalah perombakan habis-habisan di PIK, baik dalam infrastruktur maupun pengelolaan yang sudah berjalan sejak tahun 2002. Pembangunan PIK yang diprediksikan selesai pada November 2007 ini menelan biaya sekitar Rp240 miliar, belum termasuk lahan.
Fasilitas pendukungnya tergolong lengkap, seperti lahan parkir yang luas, fasilitas bongkar muat, pusat informasi pasar, bank, area pameran, dan tempat ibadah. Di atas lahan seluas 14,5 hektar ini terdapat 4.619 tempat usaha yang terdiri dari grosir buah, grosir sayur, subgrosir buah, subgrosir sayur, pelengkap, dan uniko.
Lelang Foward di PIK
Dari sekitar 4.600-an pedagang di PIK, 1.500 orang di antaranya tergabung dalam Koperasi Pedagang Pasar Kramatjati (Koppas) Induk Kramatjati. Melalui organsasi inilah, kepentingan pedagang PIK ditampung dan diakomodir oleh para pengurusnya. Namun demikian, tidak semua pedagang menjadi anggota Kopass, “Kami tidak bisa memaksa pedagang menjadi anggota,” ujar Setyo Margono, Ketua Koppas Induk Kamatjati.
Beberapa kepentingan pedagang PIK yang berhasil diwujudkan adalah kenaikan retribusi secara bertahap dan jumlah kepemilikan los yang diizinkan oleh pedagang.
“Saat ini kami tengah memperjuangkan agar SK Gubernur DKI No. 23 Tahun 2005 tentang pola distribusi barang bisa segera dilaksanakan,” ujar Margono yang baru menjabat sebagai ketua Koppas Induk Kramatjati setahun yang lalu. Dengan demikian, pasar-pasar di luar PIK, seperti Pasar Angke, Pasar Cibubur, atau Pasar Ciracas seharusnya mengambil barang dari PIK.
Hal ini selaras dengan keinginan Prabowo Soenirman, Direktur Utama PD Pasar Jaya yang tengah gencar-gencarnya mendongkrak posisi pasar tradisional. “Hipermarket seharusnya wajib mengambil barang dari PIK,” jelasnya.
Maklum saja, sebagian besar hipermarket memotong rantai distribusi sehingga harga jual produk lebih rendah dibanding dengan pasar tradisional.
Untuk itu, petinggi PD Pasar Jaya ini mempunyai program membawa sejumlah pedagang PIK ke berbagai sentra produksi pertanian. “Ini merupakan bagian dari pembinaan yang tujuannya untuk memotong rantai perdagangan,” katanya lagi.
Beberapa sentra produksi yang sempat dikunjungi oleh para pedagang PIK adalah Kuningan, Brebes, Lampung, Medan, dan, Pontianak.
Bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI dan Kadin, PD Pasar Jaya juga berusha memberdayakan potensi PIK menyelenggarakan lelang forward. Pasar lelang fisik ini menjual berbagai jenis komoditas pertanian, mulai beras hingga minyak atsiri dengan total transakasi 2.000—3.000 ton/komoditas. Dalam lelang ini, penjual diwajibkan menyerahkan barang secara fisik, sesuai dengan harga dan kualitas.
Tujuan diselanggarakannya lelang forward antara lain adalah untuk menciptakan sistem perdagangan yang baik melalui mekanisme harga dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem perdagangan.
Lelang forward telah diselenggarakan untuk pertama kalinya di PIK pada 24 September lalu dengan nilai transaksi mencapai Rp54,7 miliar. Tahun depan, rencananya lelang itu akan kembali digelar sebanyak empat kali.
Mesti Mengantungi Cukup Informasi
Untuk menjual produk pertanian di PIK dengan harga yang pantas, memang tidak mudah. Penyebabnya, sebagian besar pedagang di tempat tersebut sudah menjalin kerjasama dengan petani maupun pemasok dalam jangka waktu yang lama. Bahkan tak sedikit dari mereka yang sudah menjalin hubungan bisnis selama tiga generasi.
“Saya tidak mau bermitra dengan pemasok hanya untuk jangka pendek saja karena hubungan bisnis yang langgeng dapat membentuk ikatan batin dan kepercayaan,” kata Achmad Wafiq,” pedagang buah di PIK.
Maklum saja, transaksi di pasar yang berlokasi di Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, km 20, ini tak menggunakan secarik kertas pun sebagai tanda bukti. Padahal, pembayaran ke pemasok maupun pembeli tidak semuanya dalam bentuk kontan.
Namun, bukan berarti pemain baru tidak bisa mencicipi manisnya bisnis buah dan segarnya sayur di PIK asalkan memiliki informasi yang cukup dan tahu aturan mainnya. Paling aman jika pemasok baru menghubungi PD Pasar Jaya sebagai pengelola PIK dan Koppas yang merupakan wadah para pedagang di tempat tersebut.
“Minimal keselamatan uang Anda terjamin karena kami merekomendasikan nama-nama pedagang yang baik track recordnya,” ujar Margono. Namun ia menambahkan tidak bisa menjamin harga jual produk karena sangat bervariasi dan mengikuti mekanisme pasar.
Terjun ke lapangan untuk mengetahui kondisi pasar yang sebenarnya pun harus dilakukan. Harap maklum, “Tidak semua pedagang di PIK mempunyai los.
Ada yang sewa tahunan, bulanan, bahkan sewa rit-ritan,” ujar Achmad Wafiq, yang juga menjabat sebagai Ketua I di Koppas Induk Kramatjati. Artinya, tidak semua pedagang eksis berdagang sepanjang tahun sehingga kestabilan bisnis dan keberadaannya di PIK pantas diragukan.
Berbeda dengan lelang forward, peminta cukup mendaftarkan diri ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat sesuai dengan domisili perusahaan untuk yang berbadan hukum dan domisili perseorangan berdasarkan KTP. Pada prinsipnya, penjual maupun pembeli bebas turut serta dalam kegiatan pasar lelang forward tanpa dipungut biaya apapun.
AGRINA