Konon alasannya, laju peningkatan populasi tidak mampu mengimbangi tingkat permotongan sapi. Walaupun tingkat konsumsi daging sapi masyarakat masih di bawah 2 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kekurangan pasokan dari dalam negeri, setiap tahun Indonesia mesti mengimpor.
Padahal Indonesia termasuk negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sapi gila (BSE) sehingga impor produk sapi berupa daging, jeroan, dan sapi bakalan itu harus didatangkan dari negara yang bebas kedua penyakit tersebut.
Berdasar data Deptan, kebutuhan daging sapi nasional pada 2005 sebanyak 499.000 ton. Ini dipenuhi dari pemotongan sebanyak 1,5 juta ekor sapi/tahun yang setara dengan 450.000 ton daging.
Kekurangannya ditambal dari impor daging dan jeroan sebesar 50.000 ton. Di sisi lain, industri penggemukan sapi hanya mampu memasok 350.000 ekor setahun. Berarti setiap tahun stok sapi dalam negeri terkuras sekitar 1,15 juta ekor.
Menyimak pertumbuhan populasi sapi potong yang tahun lalu minus 0,98%, banyak kalangan khawatir sapi domestik bakal habis dalam beberapa tahun ke depan. Karena itu, impor daging maupun sapi bakalan tampaknya cukup beralasan.
Menurut Gubernur Jabar, Danny Setiawan, populasi sapi lokal di Jabar saja sekitar 234.000 ekor. Angka ini setara dengan kebutuhan konsumsi daging sapi selama setahun. “Jadi kalau tidak mendatangkan sapi dari luar, populasi sapi di Jabar bisa habis dalam setahun,” ujarnya.
Menurut Djaja Gunawan, Presdir PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), perusahaan penggemukan sapi di Jakarta, permintaan daging sapi di dalam negeri relatif stabil. Walaupun ketika menghadapi hari-hari besar seperti Puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, permintaan daging sapi ada peningkatan.
Kendati demikian, Yudi Guntara Noor, Dirut PT Agro Nandini Perdana, perusahaan penggemukan sapi di Bandung menyebutkan, pasokan daging sapi di dalam negeri menjelang Puasa dan Lebaran masih aman. Soalnya, para pengusaha penggemukan sapi (feedlotter) mampu memotong 28.000—30.000 ekor/bulan setara dengan 60.000 ton daging. Ketersediaan itu ditambah hasil pemotongan sapi lokal yang biasanya 3 kali lipat dibandingkan sapi impor. “Jadi tak perlu impor daging,” tandasnya.
Penyeimbang
Fakta di lapangan, pengakuan H. Endang, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Sapi (Apdasi) Kota Bandung, di wilayahnya saja potensi pasar daging sapi sangat besar. Setiap hari 75 ton daging diserap konsumen. Jumlah itu dipasok dari 300 ekor sapi potong dan sisanya berupa daging impor. “Kita akui, sekitar 30% dari kebutuhan daging disuplai dari daging impor,” ujar H. Endang.
Menurut Endang, komposisi 70% sapi lokal dan 30% daging impor merupakan posisi ideal bagi para pedagang. “Sebenarnya jika hanya mencari untung besar, silahkan impor dibuka, tapi ini ‘kan menyangkut hidup orang banyak. Impor daging mengakibatkan banyak pekerja berhenti mulai dari peternak, supir, sampai jagal di Rumah Pemotongan Hewan (RPH),” katanya bijak.
Hal senada diutarakan Kepala Dinas Peternakan Jabar, Rachmat Setiadi. Menurut dia, Jabar merupakan pangsa yang sangat besar bagi produk daging sapi.
Kebutuhan daging di Jabar mencapai 240.000 ekor/tahun. Jumlah itu belum mampu dipasok peternak Jabar sendiri, sehingga 70% sapi harus didatangkan dari Jatim, Yogyakarta, dan Jateng.
Thomas Sembiring, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI), mengakui, pangsa pasar terbesar daging sapi 80%-nya dikuasai Jabotabek, Jabar, dan Banten. Dengan pangsa pasar demikian, menurut Nurendro Trikesowo, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), konsumen daging sapi bervariasi dari kelompok atas yang berpenghasilan besar hingga ke segmen menengah.
Lokal Lebih Murah
Sebenarnya, jika dibandingkan harga daging di negara-negara eksportir, misalnya AS, harga daging di Indonesia masih lebih murah. Daging paha belakang di AS dijual US$8/kg, atau dua kali lipat dari produk serupa di tanah air. Thomas pun memberi ilustrasi, dalam keadaan normal harga daging di Australia dan Selandia Baru sekitar US$2,8/kg. Namun saat ini harganya melonjak menjadi US$3,9/kg. Hal serupa terjadi juga bagi sapi bakalan yang kini harganya US$1,5—US$1,8/kg hidup.
Meski daging impor lebih mahal, tetap saja banyak importir yang ingin mendatangkannya lantaran ada peluang pasarnya. Untuk menyiasati tingginya harga daging, para importir tidak mendatangkan produk dalam bentuk daging murni, tapi ditambah jantung, hati, dan jeroan lainnya.
Thomas mengungkap, produk daging yang diimpor berupa jantung dan hati sebanyak 40% dan 35% jeroan lainnya. Produk tersebut diserap pasar dan industri pengolahan daging seperti sosis dan bakso. Daging murninya sendiri diserap pasar golongan atas.
Betsy Monoarfa, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia/ National Meat Processor (NAMPA), menjelaskan, industri pengolahan daging banyak menggunakan daging impor. Namun selama ini bahan baku itu hanya diperoleh dari Australia dan Selandia Baru. Tak pelak harga bahan baku daging sapi berupa jantung, hati, dan jeroan lainnya sangat mahal.
Ia berharap, dengan adanya Permentan No. 482/Kpts/PD.620/8/2006, tentang impor daging dari negara yang mempunyai zona bebas BSE, banyak sumber alternatif pemasok bahan baku sehingga harganya lebih kompetitif.
Pengembangan Breeding
Walaupun sudah ada Permentan yang baru, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Teguh Boediyana, berharap, impor sebaiknya berupa sapi bakalan karena memberikan nilai tambah di dalam negeri. Pemerintah juga diharapkan meningkatkan populasi sapi di tanah air.
Prof. Dr. Kusuma Diwyanto, MM, Peneliti Utama di Pulitbang Peternakan, Bogor, mengusulkan beberapa upaya teknis oleh pemerintah. Misalnya, mempercepat umur beranak pertama dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun dan memperpendek jarak beranak dari 18 bulan—2 tahun menjadi 1 tahun.
Sementara Siswono Yudho Husodo, Ketua Dewan Penasehat HKTI, menyarankan, setiap tahun pemerintah mengimpor sapi bakalan sekitar 560.000 ekor sekaligus sapi betina sebanyak 1 juta ekor. Menurut hitungan dia, dalam dua tahun ke depan tidak perlu lagi mengimpor karena anak sapinya sudah dapat memenuhi kebutuhan.
Pengusaha feedlot sesungguhnya sudah mencoba membantu pemerintah, seperti dilakukan LJP, sudah dua tahun mengembangkan pembibitan. Dari 2.000 ekor induk betina dihasilkan 1.500—1.600 ekor anak sapi/tahun.
Hal serupa dilakukan PT Great Giant Livestock Company (GGLC). Namun GGLC lebih memilih bermitra dengan sejumlah kelompok peternak di Lampung, misalnya Kelompok Penggemukan Sapi "Budi Daya", Karang Endah,Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Menurut Supardi, ketua kelompok itu, pola kemitraan sangat memberikan nilai tambah bagi peternak.
Mathur Riady, Dirjen Peternakan, menjawab, kebijakan pengembangan sapi potong mengacu pada program kecukupan daging 2010. Upaya itu berupa terobosan-terobosan yang efektif. Sasarannya meningkatkan produksi daging sapi dari 72% menjadi 90—95%, mengurangi impor dari 28% menjadi 5—10%, meningkatkan angka kebuntingan dari 50—55% menjadi 65—70%, dan menurunkan angka kematian dari 3—5% menjadi di bawah 3%, serta mengurangi pemotongan ternak betina produktif.
Meskipun demikian, masih banyak kendala yang dihadapi pemerintah seperti kelembagaan, infrastruktur, tenaga, dan anggaran. Begitu pula dari sisi budidaya yang didominasi peternakan rakyat. Wajar bila persoalan penyakit yang diakibatkan beragam cacing misalnya, masih kerap terjadi.
Dari sisi kelembagaan pun kita masih lemah. Lantaran itu pula berulang kali Indonesia kecolongan dengan masuknya daging ilegal. Syukur Iwantoro, Kepala Badan Karantina Pertanian, mengakui, pihaknya baru mampu menjaga sekitar 704 pintu pemasukan dan pengeluaran dari Sabang sampai Merauke.
Masih ada sekitar 2.612 pintu pemasukan dan pengeluaran yang belum diformalkan. Misalnya di Batam, terdapat 77 pintu pemasukan, yang formal baru 4 pintu. Begitu pula di Tanjung Balai, baru 2 yang diformalkan, sisanya masih terbuka dengan luas.
Dengan berbagai keterbatasan pemerintah, perlu dilakukan upaya khusus secara bertahap dan konsisten untuk membangun agribisnis sapi potong yang andal.