Selasa, 17 Oktober 2006

Bermanfaatkah Indonesia Bebas PMK dan BSE?

Kebijakan country base merupakan skema lama seperti tertuang pada Kepmentan No. 745/1992, yaitu dari negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Sementara sistem zonasi diberlakukan bagi pemasukan daging dari wilayah bebas penyakit sapi gila (BSE), tapi tetap dengan berbagai macam persyaratan. Kesepakatan itu tertuang pada Peraturan Mentan No. 482/Kpts/PD.620/8/2006, tanggal 22 Agustus 2006.

Berdasar Permentan tersebut, produk ruminansia yang dapat diimpor melalui persyaratan teknis adalah daging sapi tanpa tulang serta tepung daging dan tulang atau meat and bone meal (MBM). Persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam mengimpor daging tanpa tulang itu, yakni harus berasal dari sapi berumur maksimal 30 bulan.

Dalam penyembelihannya pun tidak boleh dipingsankan (stunning). Selain itu, sudah dilakukan tindakan untuk mencegah daging tidak terkontaminasi specified risk material (SRM). Terakhir, daging itu sudah diperiksa ante mortem dan post mortem dengan hasil tidak menunjukkan ada dugaan atau positif BSE.

Drh. Turni Rusli Sjamsuddin MM, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan-Deptan, menegaskan, langkah teknis yang sudah dilakukan sementara ini hanya berkaitan dengan rencana impor MBM untuk bahan baku pakan ternak unggas dari AS, bukan daging. Jadi bila ada pengusaha yang mau impor daging, lanjut dia, maka akan dilakukan peninjauan juga.

 

Analisis Risiko

Kebijakan itu tampaknya masih sangat relevan dalam upaya melindungi peternakan di dalam negeri terhadap kemungkinan tertular berbagai penyakit. Namun, menurut Dr. Tri Satya Putri Naipospos, M.Phil., Ph.D., Chief of Directive Board Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), untuk  mendapatkan jaminan dari negara pengekspor, pemerintah Indonesia harus mampu mengkaji sejauh mana negara tersebut telah melaksanakan semua persyaratan kesehatan hewan terkait dengan PMK atau BSE yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Untuk itu pemerintah harus menerapkan metode analisis risiko dengan mempelajari seluruh skenario yang terjadi dalam setiap kali importasi. Sangat penting untuk diketahui skenario di negara asal mulai dari asal hewan, pengangkutan ke rumah pemotongan hewan, pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah dipotong (ante dan post mortem), perlakuan sebelum dikemas sampai saat pengangkutan ke kapal.

Begitu juga begitu daging atau MBM masuk ke Indonesia, skenario dari saat tiba di pintu masuk, diangkut ke tempat penyimpanan, dikemas dalam bentuk yang lebih kecil sampai didistribusikan ke konsumen.

Apabila kebijakan pemerintah dinilai cukup memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan, maka titik berat jaminan keamanan sepenuhnya beralih kepada pengawasan rantai distribusi di dalam negeri.

Sistem kesehatan hewan nasional harus mampu menjamin keamanan yang dibutuhkan, terutama pengawasan di titik-titik kritis sepanjang matarantai distribusi mulai dari karantina pemasukan sampai ke industri pengolah/pengecer untuk daging atau industri pakan bila berupa MBM.

Sangat disadari bahwa baik terhadap PMK maupun BSE, pengawasan sangat sulit dilakukan begitu daging atau MBM sudah diimpor ke Indonesia. Soalnya, belum ada uji yang dikembangkan secara akurat untuk memeriksa daging atau MBM terhadap PMK atau BSE. 

Untuk menjalankan pengawasan rantai pangan dan pakan dibutuhkan dukungan peraturan perundangan yang memadai, kelembagaan yang kuat, dan sumberdaya manusia yang handal. Sampai saat ini bisa dikatakan, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memberikan perhatian khusus untuk membangun sistem tersebut.

Kewenangan yang tumpang tindih tentang sistem keamanan pangan di berbagai instansi pemerintah, penerapan peraturan yang lemah, jumlah tenaga pengawas terutama dokter hewan sangat kurang adalah faktor yang sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pemerintah dalam mengatasi masalah ancaman penyakit hewan yang bisa terbawa melalui perdagangan hewan dan produk hewan.

Penguasaan terhadap analisis risiko harus diperkuat dengan kemampuan untuk menetapkan tindakan-tindakan untuk meminimalkan faktor risiko (risk mitigation) yang mungkin membawa agen penyakit ke negara pengimpor. Pemerintah harus mampu memprioritaskan upaya perbaikan sistem secara cepat dan tepat sasaran sejalan dengan rencana importasi yang akan dilakukan.

 

Jangan Hanya Bangga

Sampai saat ini, Indonesia termasuk salah satu negara yang bebas PMK maupun BSE. Persoalannya, sejauh mana bangsa ini memanfaatkan peluang emas tersebut? Tampaknya, pemerintah dan insan peternakan hanya bangga hidup di negeri yang bebas penyakit tersebut, tanpa mampu berbuat, misalnya menggenjot populasi sapi untuk mengisi pasar ekspor. Yang terjadi, justru setiap tahun kita kekurangan sapi sehingga harus impor.

Sebaliknya, sejauh mana dampaknya bila PMK dan BSE ada di Indonesia? Prof. Dr. Ir. Kusuma Diwyanto MS., Peneliti Utama di Puslitbang Peternakan, menjelaskan, bila Indonesia terlular PMK atau BSE, dampak negatifnya tidak hanya terjadi pada bidang peternakan, melainkan akan meluas ke sektor pertanian dan  bahkan pariwisata. “Ekspor seluruh produk pertanian, termasuk sarana produksi, akan ditolak,” tandasnya. Pernyataan Kusuma tidaklah berlebihan. Soalnya, Jepang pernah menolak ekspor pucuk tebu dari beberapa negara di Asia yang tak bebas dua penyakit itu.

Sebagai ilustrasi, menurut data USDA, dengan terjadinya wabah BSE di Amerika pada 2004 misalnya, ekspor daging negara itu anjlok hingga 83%, sampai mengguncangkan bursa efek di New York. Demikian juga di Brasil, pada tahun yang sama, wabah PMK menyebabkan turunnya ekspor daging hingga 23%, dengan kerugian sekitar US$2,6 miliar/tahun.

Kasus BSE juga pernah mendera Inggris pada 2001. Kerugiannya sekitar 3,1 miliar poundsterling (Rp52,7 triliun). Sekitar 4,2 juta ternak (sapi, kambing, domba, babi, dan rusa) di negara itu dimusnahkan.

Bercermin dari kasus tersebut, tentu Indonesia tak mau tertular PMK maupun BSE. Namun kita tidak boleh hanya puas dengan menyandang gelar negara bebas penyakit itu. Pemerintah mesti mempunyai program dan aksi yang jelas untuk pengembangan agribisnis sapi potong dan didukung oleh semua pelaku usaha. Paling tidak, target swasembada daging pada 2010 benar-benar tercapai.


 

AGRINA

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain