Padi hibrida merupakan salah satu jawaban untuk meningkatkan produksi padi nasional. Apalagi di tengah semakin berkurangnya lahan sawah teknis karena beralih fungsi, misalnya untuk perumahan. Setidaknya, sejak 2001, 22 varietas padi hibrida telah dirilis.
Kita mengenal Miki-1, Miki-2, Miki-3, Manis-4, dan Manis-5 dari PT Kondo International. Ada juga Intani-1 dan Intani-2 dari PT BISI. Kita juga mengenal Maro dan Rokan dari Balitpa-Sukamandi. Begitu pula dengan LP Pusaka-1 dan LP Pusaka-2 dari PT Bangun Pusaka. Kita juga mengenal Hibrindo R-1 dan Hibrindo R-2 dari PT Bayer Indonesia.
Selain itu, ada pula Batang Kampar, Batang Samo, Hipa-3 dan Hipa-4 dari PT Karya Niaga BM. Kita juga mengenal Adirasa-1 dari PT Triusaha Sari Tani, Segara Anak dari PT Makmur Sejahtera Nusantara, serta Padi Pioneer (PP)-1 dari PT DuPont Indonesia.
Terakhir, 29 Agustus lalu, GH-2 (Berenas Super) dan GH-7 (Berenas Prima) dari PT Sumber Alam Sutera (SAS), Group Artha Graha, sudah disetujui untuk dirilis. Tinggal menunggu surat keputusan dari Menteri Pertanian Anton Apriyantono. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini suratnya keluar,’’ kata Eryck Wowor, Direktur Pemasaran SAS.
Wajar, jika sejumlah perusahaan mengembangkan benih padi hibrida. Potensi pasarnya besar. Saat ini, luas lahan sawah kita sekitar 11,8 juta ha. Dengan benih padi hibrida, setiap hektar memerlukan 15 kg. Jika harga benih Rp35.000/kg, maka potensi pasar benih padi hibrida sekitar Rp6,2 triliun per musim tanam atau Rp12,4 triliun per tahun.
Tentu saja itu terlalu muluk. Katakanlah 5% lahan sawah menggunakan benih padi hibrida. Berarti diperlukan benih padi hibrida sekitar 8,9 juta kg atau setara Rp311,5 miliar per musim tanam. Jika dua musim tanam, nilainya menjadi Rp623 miliar/tahun.
Selain itu, dengan padi hibrida, kita bisa meningkatkan produksi padi nasional. Bila menggunakan padi inbrida, produktivitas padi nasional rata-rata 5,5 ton GKP (gabah kering panen) atau setara 4,8 ton GKG (gabah kering giling) per hektar, maka dengan padi hibrida, produktivitasnya rata-rata 9 ton GKP atau setara 7,9 ton GKG per hektar.
Jika 5% saja dari lahan sawah kita ditanami padi hibrida, maka ada penambahan produksi padi sekitar 1,8 juta ton GKG per musim atau 3,6 juta ton GKG per tahun. Sekarang, yang sekitar 39,4% lahan sawah kita ditanami padi inbrida IR-64, produksi padi nasional mencapai sekitar 54 juta ton GKG atau setara 34 juta ton beras.
Dengan penambahan produksi 3,6 juta ton GKG tersebut, produksi padi nasional akan mencapai 57,6 juta ton GKG. Tentunya, dengan menggunakan padi hibrida, kita tidak perlu lagi ribut-ribut impor beras. Jika ini terealisasi dengan baik, tentu ini merupakan prestasi bagi Departemen Pertanian.
Tapi, mengapa pengembangan padi hibrida di Indonesia lamban? Baru ratusan hektar saja yang ditanami padi hibrida. Ternyata bisnis benih butuh napas panjang. “Kapitalnya besar. Kalau napas pendek, bengek,’’ kata Sidi Asmono, Indonesia BioScience Manager, PT Bayer Indonesia. Misalnya, dari uji coba sampai dirilis saja, untuk satu varietas butuh dana Rp3 miliar. Belum lagi biaya pemasaran, misalnya untuk sosialisasi kepada para petani di lapangan.
AGRINA