Kamis, 28 September 2006

PTPN Tanam Jagung, Petani Terancam 'Buntung'

Rencana BUMN perkebunan ikut menyemarakkan penanaman jagung di sela-sela areal tanaman ulang (replanting) BUMN perkebunan digagas oleh Deputi Agro, Industri, dan Percetakan Menneg BUMN Agus Pakpahan. Dalam satu kunjungan kerjanya di Sumut baru-baru ini disarankan agar BUMN perkebunan dapat mengoptimalkan lahan dengan menanam jagung untuk menambah pasok di pasar.

Dengan menanam areal sekitar 20.000 ha setiap tahun, menurut Agus, maka PTPN di Sumut menyumbang pasok jagung sedikitnya 160.000 ton per tahun.

Pasok sebanyak itu, ditengarai tidak akan mengganggu pasar jagung di Sumut karena selama ini pabrik pakan ternak yang beroperasi di daerah ini mengimpor jagung dari luar negeri antara 200.000 sampai 300.000 per tahun.

Rencana Deputi Menneg BUMN itu menginstruksikan PTPN ikut menanam jagung terkait dengan meningkatkan daya tahan pangan secara nasional dengan menambah pasok jagung ke pasar.

Direktur Produksi PTPN IV Medan Balaman Tarigan mengatakan BUMN itu akan menanam jagung di atas areal 500 ha. "Akan diuji coba dulu. Kalau berhasil akan diteruskan," tuturnya.

Balaman mengatakan rencana BUMN perkebunan masuk menanam jagung terkait dengan upaya mensukseskan program pemerintah meningkatkan daya tahan pangan dan meningkatkan sumber-sumber minyak. Jagung, tuturnya, dapat diolah menjadi ethanol atau sumber bahan bakar minyak.

Ethanol itu diharapkan mampu membantu pengadaan bahan campuran minyak di tengah semakin melonjaknya harga minyak bumi di pasar internasional. Seperti di AS, jagung sudah diolah menjadi ethanol.

Masalahnya, terlepas dari bisa tidaknya jagung diolah menjadi ethanol, ternyata masyarakat memandang masuknya BUMN perkebunan menanam jagung akan merampas komoditas jagung dari tangan petani sebagai komoditas ekonomi.

Memang, pasok jagung petani di Sumut setiap tahun hanya mampu menghasilkan jagung sekitar 700.000 ton, sedangkan kebutuhan jagung antara 800.000 sampai satu juta ton. Pasok yang tersedia selama ini ternyata tidak mampu menutupi kebutuhan masyarakat dan pabrik pakan yang beroperasi di daerah ini. Ditambah lagi pabrikan pakan ternak yang beroperasi di Sumut lebih memilih mengimpor jagung ketimbang membeli jagung petani.

Secara teoritis penambahan pasok jagung yang dihasilkan BUMN perkebunan, jika jadi ikut menanam jagung, tidak akan menggangu harga dan pasok jagung di daerah ini. Asalkan impor jagung oleh perusahaan pakan ternak dikurangi sebesar pasok jagung yang dihasilkan BUMN perkebunan.

Tapi, siapa yang bisa menjamin masuknya pasok jagung dari BUMN perkebunan, impor jagung oleh pabrik pakan ternak di daerah ini terhenti? Sudah menjadi rahasia umum di Sumut pabrik pakan ternak lebih suka mengimpor jagung karena lamanya waktu untuk mengumpulkan jagung petani.

Petani tertekan

Manajer PT Wahana Graha Makmur Berman Pasaribu menegaskan jika impor jagung tidak dihentikan saat BUMN perkebunan terlibat menanam jagung di daerah ini, maka harga jagung akan turun. "Harga jagung bakal tertekan. Petani tak akan menikmati harga pada tahun ini yang rata-rata Rp1.450 per kg," ujarnya.

Menurut dia, jika BUMN perkebunan terlibat menanam jagung dengan memanfaatkan areal seluas 20.000 ha yang sedang dan akan di-replanting, harga jagung ditingkat petani bakal jatuh.

"Harga jagung akan turun hingga di bawah Rp1.000 per kg. Kalau sudah begini petani akan meninggalkan jagung sebagai komoditas ekonomi," ujarnya yang mengembangkan jagung di Kabupaten Dairi, Sumut seluas 100 ha.

Berman yang sudah beberapa tahun menjalin kemitraan dengan petani jagung di Dairi merasakan sangat susah untuk menyakinkan para petani agar mau menanam jagung. "Awalnya kami kesulitan mendapatkan petani yang mau bermitra. Soalnya, harga jagung beberapa tahun lalu hanya Rp600 per kg," tuturnya.

Sebaiknya, kata dia, BUMN perkebunan berkonsentrasi mengembangkan karet, kelapa sawit, dan komoditas ekspor lainnya. Kalau jagung, biarlah menjadi tugas perusahaan skala kecil dan petani. "Masa jagung pun diurusi BUMN perkebunan," kata dia.

Sementara itu, seorang kepala bagian di BUMN perkebunan di Medan mengaku pengembangan jagung di areal perkebunan pernah dilakukan BUMN perkebunan sewaktu krisis moneter. "Hasilnya, gagal. Jagung tidak laku, lahan digarap masyarakat dan menjadi kerjaan tambahan untuk membebaskannya kembali," tuturnya.

"Waktu itu jagung produksi PTPN sulit dipasarkan karena tidak ada yang mau membeli. Akhirnya dijual dengan harga murah dan merugi," tuturnya.

Pasok jagung

Sebaiknya, kata dia, PTPN konsentrasi untuk mengembangkan komoditas ekspor dan produk hilir (down stream), tidak masuk lagi mengurusi komoditas yang menjadi sumber hidup para petani. Tanaman kakao saja, tuturnya, sudah dikonversi menjadi kelapa sawit karena sudah tidak ekonomis dikelola BUMN perkebunan. "Bagi BUMN, mengurusi jagung diperkirakan tidak ekonomis. Hanya membuat petani membenci perkebunan," tandasnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Peternakan Unggas Sumatra Utara I.G.K Sastrawan mengatakan pengembangan jagung oleh perkebunan, di satu sisi bisa mengamankan pasok jagung untuk pabrik pakan.

Namun, di sisi lain, jelas dia, merampas komoditas itu dari tangan petani. "Konflik antara petani dan perkebunan dalam memperebutkan komoditas ekonomi akan bisa menjadi kontraproduktif bagi pembangunan daerah ini," tuturnya.

Dia mengatakan sebaiknya BUMN perkebunan konsentrasi mengembangkan komoditas ekspor dan komoditas perintis, jangan melibatkan diri untuk mengurusi komoditas yang menjadi bagian dari petani.

Sumber : Bisnis Indonesia

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain