Kamis, 28 September 2006

Munculnya Para 'Raja' Sawit Kecil dari Jambi

Raut wajah cerah terpampang di muka tujuh transmigran di kawasan perkebunan PT Inti Indosawit Subur di Jambi, yang dulunya usaha patungan Salim Group dan Raja Garuda Mas (RGM) Group tapi kini sepenuhnya di bawah naungan Asian Agri, anak perusahaan RGM Group milik Sukanto Tanoto.

Canda tawa mewarnai perbincangan. Mereka, sekitar enam di antara tujuh transmigran itu, mengenakan batik lengan panjang dengan warna dasar kuning, yang menjadi seragam pengurus koperasi mereka.

"Dulu, saat kami tiba di sini, kami susah tersenyum, Mas. Istri dan anak kami minta pulang," tutur Harsono, Ketua Koperasi Desa Bukit Harapan, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Kondisi medan yang bakal menjadi daerah tempat tinggal dan sandaran hidup, rupanya tidak seperti dibayangkan. Selain hutan blukar, air berwarna merah, banyak kabut, susah mencari matahari, tidak memiliki jaringan listrik hingga jaringan infrastruktur. Apalagi hiburan.

Tak ayal, upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, selalu menjadi persoalan besar. Jatah hidup (jadup) yang diberikan pemerintah seperti ikan asin lima kilogram per bulan -selama setahun- di luar beras, tidak cukup menahan keinginan untuk kembali ke daerah asal.

"Duit yang ada di kantong saat tiba di Jambi, tinggal Rp19.000," tutur Harsono, transmigran yang menjadi Ketua Koperasi Desa Bukit Harapan.

Rasa pesimis

Dengan kondisi masih hutan belukar, modal per kepala keluarga peserta PIR Trans dua hektare untuk kebun dan 0,50 hektare untuk lahan pekarangan dan perumahan, sulit memang membayangkan hidup segera berubah menjadi baik. Nyatanya, rasa pesimis akan terwujudnya mimpi indah dari program PIR-Trans, lebih dominan bergelora di dada. "Untuk beli rokok saja, susah. Kalau bisa, harus tukar beras dengan rokok Sarimas," tutur Harsono.

Tapi, segalanya tinggal kenangan. Terutama dengan adanya Inpres No.1/1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola PIR yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi dan dikuatkan oleh SK Mentan No.333/1986 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembagan Perkebunan Dengan Pola PIR Trans.

Dengan kebijakan itu, perusahaan perkebunan besar 'wajib' ikut mensukseskan program itu, sehingga dalam pembukaan areal lahan baru, 20% lahan yang boleh dimiliki perusahaan perkebunan (inti) dan 80% dari kebun plasma [petani PIR-Trans]. Total lahan yang disediakan untuk masing-masing petani peserta adalah dua hektare untuk kebun dan o,50 ha lahan pekarangan termasuk tapak perumahan.

'Kemitraan' dengan perusahaan itu, mengubah jalan hidup mereka. Melalui sentuhan para petugas Satuan Pemukiman (SP) PT Inti Indosawit Subur, warga mulai bernafas.

Kini, kawasan yang dihuni 400 kepala keluarga itu, sudah mulai diterangi lampu, yang listriknya di pasok dari genset milik para petani itu sendiri. "Kini hampir semua petani sudah memiliki genset dengan biaya Rp700.000 per bulan. Bagi yang belum punya genset numpang, per lampu dihitung Rp50.000 per bulan," ujar transmigran asal Tasikmalaya, Rohiat, Kepala Desa Bukit Harapan, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Kredit murah

Di lahan PIR-Trans -yang dimulai 1990-an dan sekitar 80% diperuntukan warga dari Pulau Jawa, 20% untuk warga lokal [Jambi]- rintisan itu dilakukan pihak perusahaan dengan melakukan penyuluhan secara rutin dan memberikan proyek percontohan sebagai wahana belajar.

Umumnya, mereka belum tahu soal budi daya kelapa sawit, karena mereka belum tahu. "Ya. Bagaimana bentuk kelapa sawit kami belum tahu," kata Rohiat mengenang.

Bimbingan awal, kata Rohiat, juga dilakukan perusahaan dengan memanfaatkan Forum Komunikasi Kelompok Tani (FKKT) yang kerap menggelar dialog. Saat itu, pihak perusahaan memberikan bimbingan teknis perkebunan sawit.

Kini, warga PIR-Trans yang kredit murahnya memanfaatkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan bunga flat 12% dan Rp11 juta per dua hektare (satu kavling), bukan hanya mampu mengembalikan kredit lebih cepat dari waktu yang ditetapkan, tapi juga mulai ekspansif.

Mereka melirik ke lahan lain di luar kawasan PIR-Trans itu melalui dana pinjaman bank dengan agunan sertifikat tanah PIR-Trans. Mereka kini bukan hanya mampu membeli televisi, juga sudah memiliki sarana telekomunikasi, memiliki usaha angkutan umum, pusat pemancingan dan truk pengangkut tandan buah segar (TBS).

Harsono, yang kedua anaknya kuliah di Universitas Jambi dan pulang kampung menggunakan pesawat, kini sudah memiliki tujuh kavling, satu kavling di PIR-Trans dan sisanya di luar kawasan itu. "Kini, harga jual tanah di kawasan itu terdongrak. Lahan siap tanam Rp60 juta per kavling atau per dua hektare.

Mereka ini mulai menjadi 'raja' sawit kecil di Desa Bukit Harapan. Yah, komoditas dan kemitraan yang memang menjanjikan harapan indah dikemudian hari.

Sumber : Bisnis Indonesia

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain