Senin, 18 September 2006

Potret Industri Pengguna Karet

Pemanfaatan karet alam terbagi dua, yaitu untuk industri ban dan industri nonban. Industri ban di tanah air menggunakan karet alam sebagai bahan baku dengan porsi 25%. Sedangkan karet sintetisnya 24%. Dalam periode 2001—2006, industri ban yang jumlahnya 12 perusahaan menyerap karet alam berturut-turut dengan jumlah: 119.231 ton,134.897 ton, 142.469 ton, 153.059 ton, 176.780 ton, dan 181.490 ton.

Sedangkan penyerapan karet sintetisnya pada periode yang sama berturut-turut: 69.303 ton, 81.166 ton, 89.430 ton, 96.769 ton, 115.195 ton, dan 119.525 ton. Data ini dipaparkan Azis Pane, MBA, Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) pada International Workshop on Rubber Processing Technology and Marketing di Palembang (1—2 Agustus 2006.

Dengan kapasitas terpasang sebesar 49.326.000 unit (roda 4) pada 2005, industri ban Indonesia memproduksi 41.310.428 unit dan tahun ini mencapai 44.778.147 unit. Sedangkan kapasitas terpasang untuk roda dua sebanyak 27.758.000 unit. Dari kapasitas ini, produksi sebanyak 22.035.363 unit dan tahun ini diperhitungkan 23.842.965 unit.

Pasar domestik menyerap 96% lebih dari produksi ban roda dua. Sementara ban roda 4 hanya 31% yang terserap oleh pasar domestik. Yang 69% dilempar ke pasar ekspor. Secara total industri ban dalam negeri meraup penjualan sebanyak Rp5,8 triliun tahun lalu. Tahun ini jumlahnya diperkirakan meningkat hingga Rp6,7 triliun.

APBI memperkirakan industri ban akan tumbuh 8,3% untuk roda 4, dan 8,2% untuk roda 2. Hal ini tak terlepas dari penjualan kendaraan yang mencapai rekor tahun sebelumnya 53.910 unit, meliputi mobil, pick up, dan sepeda motor yang dapat dibeli dengan kredit murah.

 

Industri Nonban

Di luar industri ban, karet alam banyak digunakan untuk bahan baku sarung tangan (gloves), kondom, dot bayi, benang karet, lem, sol sepatu, suku cadang otomotif, ban berjalan (conveyor belt), peredam dermaga (dock fender), bendungan karet (rubber dam), dan sisanya. 

Di Indonesia produk yang kelihatan berkembang antara lain sarung tangan dan kondom. Ambil contoh kondom yang diproduksi PT RNI Mitra Banjaran di Bandung. Menurut Drs. Maizal Yusuf, Direktur PT RNI Mitra Banjaran, pihaknya memproduksi 400.000 gros/tahun atau rata-rata 140.000 gros/bulan. Ini di luar pesanan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Institusi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan KB itu tahun lalu.

Kondom produksi RNI Grup itu tidak hanya diproduksi untuk pasar lokal tetapi juga laku diekspor karena telah memenuhi standar internasional. “Kita punya bisa tembus ke Singapura, Vietnam, dan Malaysia. Jumlah yang diekspor 30.000 gros (Singapura), Malaysia (10.000 gros), dan Vietnam (10.000 gros). Bahkan tahun ini ada ke Nigeria,” ungkap Chali, begitu biasa ia disapa. Kondom berlabel Artika dengan 4 varian ini di pasar lokal bersaing dengan empat merek lainnya, yakni Simplex, Durex, Fiesta, dan Sutra.

Untuk memproduksi kondom bagi pasar domestik, Chali membeli lateks cair sebanyak 98 ton/bulan. Hitungannya, tiap 10.000 gros butuh lateks 7 ton. Ia mengaku membeli dari Jawa Tengah. Kisaran harganya Rp12.000—Rp20.000/kg.

Selain kondom, RNI tengah menjajaki pembuatan dot bayi untuk perusahaan tertentu. Pasalnya, dot yang sekarang dipasangkan pada tabungnya merupakan produksi China dengan kualitas masih kurang baik.

AGRINA

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain