Harga karet di tingkat petani berkisar Rp10.000—Rp12.000/kg telah meningkatkan animo pebisnis karet untuk melakukan peremajaan dan perluasan. Peningkatan produksi terkait dengan ketersediaan sarana penunjang, seperti bibit unggul, pupuk, dan pestisida. Menurut Dirjen Perkebunan Achmad Manggabarani, pemeliharaan tanaman selama 5 tahun pertama butuh investasi Rp20 juta—Rp22 juta/ha. Sebagai investasi awal, jangan salah dalam memilih bibit yang berkualitas baik.
Sayangnya, menurut Dr AFS Budiman, pakar karet dari Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor, kebutuhan akan bibit karet tidak kurang dari 3 juta per tahun, sedangkan kapasitas produksi dari 4 balai perkebunan hanya 1 juta/tahun. Upaya menyediakan klon dari kebun-kebun entres (mata okulasi) baik oleh pemerintah maupun swasta sangat dinantikan.
Klon unggul dengan potensi produksi 3—4 ton/ha/tahun sebenarnya sudah dihasilkan lembaga itu. Persoalannya, menurut Chairil Anwar, Kepala Puslit Karet Indonesia, kemampuan penyebarannya ke masyarakat terbatas karena puslit sebenarnya tidak bertugas memproduksi benih melainkan menghasilkan klon unggul. Sedangkan produksi diserahkan ke penangkar benih.
Budiman menilai, petani selama ini menggunakan bibit sapuan sehingga hasilnya produksinya kurang bagus. Sebenarnya petani rakyat gandrung akan bibit yang bagus, apalagi melihat harga seperti sekarang tapi pasokan bibitnya tidak mencukupi.
Cekaknya pasokan bibit karet unggul harus segera diatasi. “Paling tidak dapat memenuhi kebutuhan peremajaan 80.000—100.000 ha tahun depan sesuai target pemerintah,” tutur Manggabarani.
Pengawasan terhadap peredaran bibit harus dilakukan pemerintah. Adanya sertifikasi bibit unggul yang beredar dapat menjamin kualitas sehingga petani tidak akan dirugikan. Jika bibit palsu beredar dan digunakan petani, maka produksinya tidak optimal hingga tanaman berusia 25 tahun.
Berdasar data Puslit Karet Indonesia, banyak pilihan klon/bibit karet yang dianjurkan yaitu klon generasi 4 meliputi IRR5, IRR32, IRR39, IRR42, IRR104, IRR112, dan IRR118. Selain itu, klon yang sudah berkembang seperti GT1, Avros2037, PR255, PR300, PR303, RRIM600, RRIM712, BPM1, BPM24, BPM107, BPM109, PB260 dan RRIC100.
Pupuk & Pestisida
Produktivitas juga sangat ditunjang ketersediaan pupuk dan pestisida. Menurut Spudnik Sudjono, Direktur Sarana Produksi Pertanian, Deptan, untuk memenuhi kebutuhan 85% petani karet rakyat, ketersediaan pupuk tidak ada kendala. Alasannya, petani karet merupakan petani perkebunan kecil sehingga sudah dialokasikan pupuk bersubsidi sesuai Permentan 505/2006, yaitu urea sebesar 843.241 ton, SP-36 234,374 ton, ZA 250.000 ton, dan NPK 78.441 ton.
Sementara Felix R. Armunanto dan Arya Yudas dari PT Syngenta Indonesia, perusahaan produsen pestisida mengatakan, perkebunan karet milik petani rakyat di Indonesia banyak yang terserang penyakit cendawan akar putih (Rigidoporus lignosus). Jumlahnya diperkirakan sekitar 10—15%. Hal ini berdampak pada penurunan produksi dan mengakibatkan kematian tanaman. Teknis penanggulangannya menggunakan fungisida yang disiramkan pada leher akar segera setelah tampak gejala serangan. Biasanya serangan terjadi ketika karet berusia 4—8 tahun.
Untuk mendapatkan fungisida, petani tidak akan mengalami kesulitan, banyak pilihan tersedia yang mampu menanggulangi penyakit ini. “Ketersediaannya mencukupi, tinggal petani menentukan pilihannya,” ucap Felix.
AGRINA