Senin, 28 Agustus 2006

Menyingkap Peran Organisasi Perunggasan

Dalam ruang lingkup peternakan, perunggasan (ayam ras), paling maju. Soalnya, komoditas ini dikelola secara industri terintegrasi. Dengan kata lain, mengutip istilah dari pakar agribisnis Bungaran Saragih, perunggasan mempunyai sistem dan usaha agribisnis paling komplet.

Industri perunggasan bertebaran mulai Medan hingga Sulawesi. Industri itu memproduksi anak ayam umur sehari (DOC), pakan, obat-obatan, dan sarana produksi lainnya.

Demikain pula dengan para peternak ayam ras, mudah dijumpai hampir di setiap kecamatan. Skala usahanya memang beragam, mulai ratusan ekor sampai dengan jutaan ekor/peternak.

Berdasar data Dijen Peternakan, populasi ayam ras pedaging (broiler) tahun lalu telah mencapai 864,246 juta ekor. Sedangkan ayam ras petelur (layer), pada tahun yang sama, jumlahnya 98,491 juta ekor. Jelas, jumlah ayam ras lebih besar ketimbang ayam buras (ayam kampung), yang tahun lalu hanya 286,7 juta ekor (Tabel.1).

 

Triliunan Rupiah

Alhasil, perunggasan memberi kontribusi besar bagi pemenuhan protein hewani masyarakat di negeri ini. Produksi daging ayam ras tahun lalu mencapai 934.600 ton, atau 44% dari total produksi daging (Tabel. 2). Tingkat konsumsinya, pada tahun yang sama, sebanyak 4,4 kg/kapita/tahun. Sementara konsumsi telur ayam ras sejumlah 59 butir/kapita/tahun.

Menurut Don P. Utoyo, Koordinator Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), investasi bisnis perunggasan setahun silam telah mencapai Rp35,5 triliun. Investasi ini meliputi bisnis bibit, pakan, obat-oabatan, dan budidaya. Jumlah ini belum termasuk bisnis olahan, transportasi, dan jasa. Sementara omzet bisnisnya mencapai Rp37,5 triliun/tahun.

Jumlah investasi itu menghasilkan 970 juta DOC broiler dan 60 juta DOC layer/tahun. Bibit niaga-Final Stock (FS) tersebut dihasilkan dari 280.000 Grand Parent Stock (GPS/bibit moyang) dan 180.000 Parent Stock (PS). Sementara produksi pakan rata-rata 7,1 juta ton/tahun, yang diproduksi oleh 50 pabrik berkapasitas total 15 juta ton/tahun.

Selain itu, sistem dan usaha agribisnis perunggasan mampu menyerap 2,5 juta tenaga  kerja, yang menghidupi 10 juta orang keluarganya. Mereka bekerja sebagai peternak budidaya, karyawan pembibitan, pabrik pakan, pabrik obat, aditif, peralatan, pemotongan (RPA), pengolahan modern maupun rumah tangga, dan lain-lain.

 

Bagai Jamur

Seiring kemajuan industri perunggasan, muncul beragam organisasi/asosiasi lingkup komoditas tersebut. Sampai sekarang sudah terbentuk lebih dari 20 organisasi di seluruh tanah air.

Sesuai kepentingannya, organisasi itu sedikitnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu organisasi kelompok sarana produksi, pengusaha nasional, dan peternak daerah (peternak pembudidaya).

Dari kelompok sarana produksi, kita mengenal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Dalam ruang lingkup pengusaha nasional, selain FMPI ada Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Pusat Informasi Pasar Unggas (PINSAR), dan Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI).

Sementara di tingkat peternak budidaya terdapat Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) di Bogor, Persatuan Peternak Ayam Nasional (PPAN) di Priangan Timur Jabar, Perhimpunan Industri Peternakan Ayam Ras  (PINTAR) di Lampung, Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (APAYO), Gabungan Asosiasi Perunggasan Sumatera Utara (GAPSU), Kelompok Inti di Sukabumi Jabar, Kelompok Legok di Banten, Himpunan Perunggasan Blitar (HPB) di Jatim, Paguyuban Peternak Ayam se-Bali (PPAB), dan banyak lagi.

 

Aset atau Penghambat?

Banyak pihak bertanya, sejauh mana peran organisasi-organisasi itu dalam memajukan agribisnis perunggasan? Menurut Dirjen Peternakan, Mathur Riady, peran organisasi dalam pembangunan perunggasan sangat penting. Sebab, organisasi itu merupakan mitra kerja pemerintah. Misalnya, lanjut dia, dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan penting lingkup peternakan, pemerintah melibatkan organisasi untuk memberikan kritik dan saran.

Hal senada diutarakan Don. “Organisasi perunggasan, khususnya FMPI merupakan ajang pelaku usaha untuk menyamakan persepsi, dalam menghadapi dinamika yang mengancam eksistensi perunggasan.” Kegiatan yang dilakukan, lanjut dia, cukup banyak. Misalnya, membentuk ad hoc PPN, RUU Peternakan & Keswan, serta ad hoc penanggulangan flu burung.

Manfaat berorganisasi, paling tidak terwakili oleh Suparman, salah satu petinggi dari PT Charoen Pokphand Indonesia dan Novi T. Atmowidjaja, New Business Manager PT CJ Feed Indonesia. Menurut Suparman, persoalan perunggasan bukan masalah internal satu perusahaan, melainkan masalah bersama.

Karena itu, melalui organisasi masalah dapat dipecahkan bersama untuk memperoleh solusi terbaik. Novi menambahkan, “Walaupun kami belum begitu aktif di organisasi, tapi keberadaan organisasi sangat membantu, terutama soal informasi perkembangan perunggasan, dan untuk melobi pemerintah.”

Namun, Achmad Dawami, Kepala Wilayah III-Divisi Broiler, PT Primatama Karyapersada, berbeda pendapat. Menurut dia, selain berkewajiban membela kepentingan anggotanya, organisasi harus mengembangkan bisnis itu sendiri, sehingga secara nasional dapat bersaing di era global. Sayangnya, lanjut dia, organisasi-organisasi perunggasan tidak pernah fokus kepada kepentingan nasional. Mereka masih banyak berjalan sendiri-sendiri dan memperjuangkan kepentingan sesaat. Padahal, organisasi itu aset, tapi tidak dimanfaatkan dengan baik.

“Bukan hanya itu, organisasi dan pemerintah pun mlaku dhewe-dhewe (berjalan sendiri-sendiri), dan terkadang tidak sinkron,” tandas Dawami. Hanya, imbuh dia, kalau ada masalah tertentu, mereka berangkulan untuk menyelesaikan masalah itu.

Menurut Suparman, organisasi-organisasi tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Sebab, saling terkait satu sama lainnya.

Contohnya, bagaimana GPMT bisa memproduksi pakan yang benar kalau tidak sinkron dengan GPPU. Bagaimana bisa jalan sendiri pula bila GAPPI tidak bisa memberikan pedoman (
guidance) dalam berusaha. “Tidak benar kalau organisasi yang ada AD/RT-nya itu berjalan sendiri. Kalau pun ada, mungkin hanya oknum dalam wadah itu,” kilahnya.

Walau demikian, sampai sekarang Dawami masih melihat antarorganisasi masih kurang berkoordinasi. Salah satunya tampak menonjol adalah promosi peningkatan konsumsi daging dan telur ayam terabaikan. Padahal, untuk kepetingan bersama, semua pihak harus membuka diri dan mau berkorban.

Terlepas dari itu, selain membina, setiap organisasi perunggasan mestinya memperjuangkan politik ekonomi dan bisnis para anggota. Organisasi juga harus memperjuangkan kepentingan total sistem, bukan subsistem, sehingga dapat tumbuh dan berkembang bersama. Pada akhirnya, organisasi-organisai tersebut menjadi perekat pengembangan sistem dan usaha agribinis perunggasan. Bila demikian, tentu keberadaan organisasi perunggasan semakin dihormati.

 

AGRINA

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain