Data konsumsi daging ayam masyarakat kita sejak lima tahun terakhir relatif tidak beranjak dari 4—4,5 kg/kapita/orang. Tak jauh beda dengan jumlah telur dan susu yang disantap, hanya 75 butir dan 6,8 kg saja.
Coba bandingkan dengan Malaysia. Negeri jiran ini sudah mencapai angka-angka yang sangat bagus, masing-masing 36 kg, 200 butir, dan 20 kg. Sungguh jauh! Apalagi jika kita melihat angka-angka Amerika Serikat. Untuk daging broiler saja, mereka telah mencapai sekitar 39 kg.
Untuk mencapai tahapan seperti Malaysia, para pakar menghitung, kita perlu waktu 120 tahun. Apa perlu kita menunggu selama itu? Padahal tingkat konsumsi pangan hewani ini berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia (SDM). Makin rendah tingkat konsumsi pangan berprotein hewani, makin rendah pula kualitas SDM.
Banyak PR
Rendahnya daya beli memang menjadi salah satu jawaban rendahnya tingkat konsumsi pangan yang mengandung protein hewani masyarakat kita. Namun, menurut Achmad Dawami, pelaku bisnis perunggasan, itu bukan satu-satunya alasan untuk tidak mengonsumsi pangan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tersebut. Masih banyak yang kurang kesadarannya akan gizi bagi keluarganya.
Ia menyebut konsumsi rokok sebagai contoh klasik. Sebanyak 60% laki-laki Indonesia adalah perokok. Kalau saja, mereka mau menghemat sebungkus rokok seminggu, dalam setahun akan terkumpul Rp25 triliun. Bila uang sebesar itu dibelanjakan untuk membeli daging, susu, dan telur bagi generasi muda, tentu akan meningkatkan kualitas SDM kita.
Selain kesadaran yang kurang, masih banyak persepsi yang salah tentang produk peternakan. Ambil contoh, ketakutan makan ayam broiler karena menganggap broiler bongsor akibat suntikan hormon. Padahal, induk-induk ayam ras tersebut memang dikawinsilangkan selama lebih dari 50 tahun untuk mengumpulkan sifat-sifat unggulnya sehingga jauh lebih cepat gemuk ketimbang ayam kampung. Di sisi lain, penggunaan hormon pertumbuhan sudah dilarang sejak 1970-an.
Karena itu, perlu banyak promosi yang bersifat massal dan kontinu untuk meluruskan persepsi salah tersebut. Sayangnya, sampai sekarang kita tidak bisa mengharap banyak dari pemerintah.
Mungkin kita bisa belajar dari Amerika atau pun Thailand dan Malaysia. Industri unggas Amerika dengan slogannya “Feeding the World” (memberi makan dunia) melakukan berbagai promosi, meskipun tingkat konsumsi masyarakat negeri ini sudah cukup tinggi. Mereka punya National Chicken Council (NCC). Organisasi nirlaba berbasis di Washington DC ini bertugas mempromosikan sekaligus memproteksi kepentingan industri unggas dalam negeri.
Staf NCC selalu menginformasikan perkembangan aturan-aturan penting kepada para anggota yang terdiri dari produsen ayam, pengolah, eksportir, distributor, dan industri terkait. Mereka juga mengedukasi para pengambil keputusan tentang industri unggas dan mengkomunikasikan kepentingan mereka ke kalangan birokrat Washington.
Di tingkat konsumen, mereka mengalokasikan bujet khusus untuk memberi citra positif terhadap produk ayam dan promosi manfaat konsumsi ayam. Promosi konsumsi dilakukan melalui media massa pangan berlingkup nasional secara teratur dengan menyediakan resep-resep berbahan ayam.
NCC juga menggelar kontes masak ayam nasional berhadiah US$100.000 tiap September yang disebut bulan ayam nasional (National Chicken Month). Tak lupa mereka menyediakan situs bagi yang melek internet, www.eatchicken.com.
Semestinya segenap pemangku kepentingan industri unggas di tanah air dapat menyatukan langkah bagi peningkatan konsumsi produk berprotein hewani termurah ini.