Larangan impor ternak selama ini adalah dari negara yang oleh organisasi kesehatan hewan internasional (OIE) ditetapkan berpenyakit seperti penyakit mulut dan kuku (PMK).
Kini, meski negara pengimpor masuk dalam kategori tidak bebas penyakit, izin impor akan dibolehkan asal hewan berasal dari zona (daerah) yang bebas penyakit plus ada jaminan keamanan dan kehalalan produk itu.
Di tengah kekurangan, kita tidak bisa menutup diri. Rasio kebutuhan dan pasokan daging (seperti daging sapi) dari bangsa ini 70%-30%, dan 30% itu impor. Jadi, impor masih dibutuhkan. Ketersediaan harus dijamin. Negara harus memenuhi kebutuhan sandang pangan warga negara.
Jika pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk warganya, maka pemerintah bisa dianggap melanggar konstitusional. Itu sebabnya, aktivitas impor bukan keanehan. Tapi menjadi lumrah dan harus.
"Itu bukan hal yang aneh," kata Bungaran Saragih, di kala menjadi Mentan.
Itu hanya salah satu strategi memenuhi kebutuhan yang kurang. Dengan mengubah dari larangan pada negara menjadi zonasi (daerah), memungkinkan terus terjaganya sumber pasokan hewan atau daging.
Toh, jika di satu zona dijangkiti penyakit, tidak otomatis hewan di daerah lain terjangkit. Apalagi, seperti dalam draft perubahan Permentan 745/ 1992 tentang Pengadaan Daging dan Hewan, pemerintah mensyaratkan jaminan keamanan dan kehalalan.
Harga murah
Dengan begitu, jika semua berjalan lancar, Indonesia tidak kehabisan sumber pasokan. Sebaliknya, menutup kran impor dari negara berpotensi memasok daging dengan harga murah, sehat dan hahal, dilarang hanya lantaran satu wilayahnya dinyatakan berpenyakit, berpotensi menyulitkan kita. Kita sering berpotensi dipermainkan, terutama soal harga.
Hingga saat ini, kebutuhan protein hewani agak bergantung dari Australia dan Selandia Baru, karena negara itulah yang oleh OIE dinyatakan aman dari penyakit hewan besar.
Tapi, jika sebagian kecil Australia dan Selandia Baru terjangkit PMK lalu kita menutup impor dari negara itu, kesulitan siap menghadang kita. Kekurangan pasokan di Tanah Air sulit dipenuhi.
Jika itu terjadi, justru akan memicu masalah lain. Mematikan industri feedlot, pengolahan dan (bisa) menyeret PHK. Pajak pun berkurang. Padahal investasi di industri peternakan -dari yang terpadu sampai ke skala kecil-tidak murah.
Harus diakui, hingga kini kita belum mandiri dalam hal pengadaan daging.
Aksi main potong ternak betina produktif terus berlangsung. Akibatnya sulit memperbesar populasi ternak khususnya sapi. Padahal kebutuhan terus bertambah. Ini akibat pengawasan dan pengendalian pemotongan-ternak betina produktif dan ternak-di luar rumah potong hewan (RPH) belum efektif.
Hasil analisis ekspor dan impor komoditas peternakan utama pada 2003 yang berkesimpulan populasi ternak sapi lokal semakin menurun dan jumlah penduduk meningkat sehingga produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhannya, hingga kini, belum mampu diatasi.
Karena itu, kebijakan untuk mengubah aturan importasi, jangan hanya proyek. Apalagi hanya memberi keuntungan kepada kepentingan sempit, baik golongan, perkoncoan, apalagi partai atau tekanan negara tertentu. Tapi harus berdasarkan kepentingan yang lebih besar, bangsa.
Carut marut
Keinginan untuk mengubah kebijakan importasi hewan dan produk asal hewan, harus dilalui oleh kajian komprehensif. Pemerintah tidak perlu terobsesi mampu membenahi secara tuntas dan lekas keadaan yang carut marut.
Tidak perlu terlalu ingin cepat mendapatkan pujian. Kebijakan yang hanya dilandasi sikap sentimentil: demi kemakmuran atau kesejahteraan rakyat, tidak akan banyak bermanfaat tanpa hitungan cermat dan bijak. Apalagi hanya dilandasi rasa curiga pada pengusaha tertentu dan dengan dalih mengurangi monopoli.
Kebijakan zonasi dan penjaminan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja ekstra keras dan biaya besar. Kita harus membuktikan hewan dan produk asal hewan impor itu memang berasal dari zonasi yang aman. Tak bisa berpegang pada omongan atau kajian dari negara pengimpor. Check and recheck secara total ke sumber hewan, menjadi penting. Melepaskan kepercayaan semata terlalu riskan dan konyol.
Saat ini Indonesia memiliki populasi sapi potong sekitar 10,7 juta ekor yang mensuplai 70% kebutuhan nasional.
Sapi perah 381.635 ekor (yang mensuplai 30% kebutuhan susu nasional), kerbau 2,6 juta ekor (mensupali 100% kebutuhan daging kerbau nasional), babi 6,6 juta ekor (mensuplai 100% kebutuhan daging babi nasional dan ekspor), kambing 13,44 juta ekor (mensuplai 100% daging kambing nasional dan potensi ekspor) dan domba 8,24 juta ekor (mensuplai 100% daging domba nasional dan berpotensi ekspor).
Tentu semua keadaan itu harus dipertahankan dan ditingkatkan menuju swasembada daging. Tak terbayangkan kerugian yang akan diderita jika kebijakan itu ternyata salah kaprah.
Kita tidak ingin terulang lagi kasus izin impor bakalan ternyata hanya akal-akalan untuk mendatangkan sapi potong. Pemerintah pasti tidak bodoh.
Tapi juga tidak perlu merasa serba tahu dan pintar. Tidak perlu defesif terhadap kritikan. Inilah buah reformasi yang disepakati. Waspadalah...Waspadalah.
Sumber: Bisnis Indonesia