Bahkan justru membuat orang balik bertanya. "Selama ini ke mana aje, Mas?" Tapi begitulah, manusia sering lupa diri. Mudah terbawa arus angin politik penguasa, sehingga pekerjaan yang harusnya dikerjakan, jadi ditinggalkan. Orang menjadi sibuk mengerjakan hal-hal yang tidak semestinya.
Sebab ada gejala memang. Satu yang paling anyar adalah soal realisasi skim pelayanan pembiayaan pertanian (SP3) senilai Rp500 miliar ke petani pada 2006 terhambat oleh belum terbitnya surat keputusan bersama Mentan dan Menkeu tentang skim tersebut yang dikeluarkan Depkeu.
Akibatnya, program yang seharusnya berjalan tahun ini, hingga sekarang belum dapat menunjuk bank pelaksana yang akan menyalurkan dana itu ke petani.
Subsidi bunga
Ujug-ujug, pemerintah justru memangkas anggaran pembiayaan pertanian yang dijadikan sebagai agunan kredit perbankan bagi petani menjadi Rp215 miliar dari Rp500 miliar yang direncanakan.
Konon, pengurangan anggaran tersebut disebabkan adanya kebutuhan lain tahun ini yang bersifat mendesak, seperti program subsidi benih senilai Rp125 miliar, subsidi bunga bagi petani kelapa sawit Rp60 miliar, dan penanganan bencana Rp66 miliar.
Pertanian memang harus diberikan porsi yang besar. Bayangkan, kendati bukan prioritas utama pembangunan, kendati memiliki Departemen Pertanian yang sudah berusia satu abad, sektor pertanian mampu memperlihatkan ketangguhannya. Mampu menyumbangkan devisa hingga triliunan rupiah.
Jika dilihat dari sisi penerimaan devisa, maka penerimaan devisa dari ekspor produk pertanian-tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan, baik segar maupun olahan-yang sempat turun di masa krisis, mengalami masa pemulihan pada 2000-2005. Pada masa sebelum krisis (1995-1997) nilai ekspor US$5,11 miliar per tahun. Sedangkan di masa krisis mengalami penurunan menjadi US$4,58 miliar per tahun. Setelah masa krisis nilai ekspor menjadi US$6,54 miliar.
Untuk impor
Memang, kita pun melakukan impor. Pada pascakrisis saat ini (2000-2005) volume impor mencapai 13,1 juta ton per tahun. Lebih tinggi dari masa krisis (1998-1999) sebesar 12,5 juta ton dan pada sebelum krisis (1995-1997) 11 juta ton per tahun. Jika dilihat dari pengeluaran devisa, pada masa pascakrisis devisa yang terserap untuk impor US$4,39 miliar, pada masa krisis (1998-1999) US$4,11 miliar dan sebelum krisis US$4,87 miliar.
Namun, neraca nilai ekspor sektor pertanian memperlihatkan surplus. Kendati tipis. Itu menggambarkan bangsa Indonesia memang harus melirik sektor pertanian, bukan menjadikan sektor pertanian lumbung suara saat pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan presiden.
Kenyataannya, selama ini, menjadikan lumbung pengumpulan suara partai. Janji-janji gombal, digelontorkan ke kuping mereka. Janji-janji gombal meninabobokan mereka, hingga mereka terbuai dan akhirnya 'tanpa kesadaran' memilih sang pengumbar janji.
Dulu, di era Orde Baru, daerah yang tidak memenangkan partai berkuasa, pembangunan daerahnya ditelantarkan. Banyak jalan di kampung yang dibiarkan terbengkalai, hancur. Hingga daerah yang sebenarnya memiliki potensi pertanian, tidak dilirik.
Di era Orba, merupakan daerah yang memiliki potensi sebagai lumbung padi dan perikanan. Bahkan, dulu -di era 1980-an-setiap kali beranjangsana ke rumah Paman, pantainya yang landai dan putih, ramai dikunjungi wisatawan, menjadi tempat hiburan kami.
Bahkan perkampungan nelayan disesaki warung-warung yang menjajakan ikan hasil tangkapan nelayan, baik segara maupun ikan-ikan asing. Setiap akhir pekan, terlebih usai panen padi dan tangkapan bagus, ada Cap Go Meh atau hiburan dari kesenian rakyat setempat. Suasana benar-benar seperti pasar malam, kendati ditingkahi oleh bau amis ikan.
Kondisi jalan yang buruk, membuat perjalanan yang kami tempuh, pun menjadi panjang, melelahkan dan menyakitkan. Mobil kami tidak bisa berlari kencang. Akibat jalan yang berlubang-lubang. Bagaimana mungkin kondisi itu membuat daerah itu hendak dijadikan pusat investasi?
Kalau saja sikap politisi kita tidak berorientasi kepentingan golongan atau partai, kendati partainya kalah di daerah tertentu, namun pembangunan menyesuaikan dengan kebutuhan pada upaya untuk mendongkrak potensi wilayah, maka sektor pertanian dipercaya akan mampu memberikan hasil, paling tidak, devisa dan lapangan kerja yang jauh lebih banyak lagi.
Sumber: Bisnis Indonesia