Foto: Windi Listianingsih
Sistem peternakan pintar bisa meningkatkan efisiensi
Efisiensi tanpa mengorbankan produktivitas jadi jalan menuju profit. Mau tahu pilihan caranya?
Tantangan bagi peternak tak sekadar biaya produksi membengkak dan harga ayam hidup di bawah Harga Pokok Produksi (HPP). Tambahan lagi, fenomena El Nino juga “menyengat” usaha budidaya ayam yang tentu saja perlu disiasati, minimal dalam penyediaan air minum.
Peternak sekaligus konsultan peternakan unggas, Heri Irawan, dalam webinar AGRINA (26/9) menyebut, selama dua minggu September lalu peternak merugi lantaran harga jual ayam hidup kurang dari HPP. Mengacu harga-harga sarana produksi ternak riil saat itu, dia membuat simulasi.
Dengan harga bibit ayam umur sehari (day old chick-DOC); pakan Rp9.000-Rp10 ribu/kg; biaya operasional pemeliharaan (BOP) Rp2.200 di luar sewa kandang Rp1.400/ekor; angka konversi pakan (Feed Conversion Ratio-FCR) 1,4, dan bobot panen 1,1 kg/ekor, maka menghasilkan HPP sebesar Rp26.630/kg hidup.
Apabila harga jual ayam hidup berpatokan pada harga acuan pembelian (HAP) sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional No. 5/2022 yang Rp21 ribu-Rp24 ribu, maka peternak pasti tekor.
Dan memang, hari itu, menurut Heri, harga ayam hidup Rp23 ribu-Rp24 ribu/kg. “Jelas kalau saya panen hari ini, saya rugi Rp3.000/kg!” ucapnya. Dia akan meraih untung jika harga pasar ayam kecil mencapai Rp28 ribu/kg. Labanya kurang lebih Rp1.370/kg.
Namun, lanjut pendiri PT Rumput Ilalang Hijau itu, peternak tetap bakal merugi bila ia menjual ayam dalam ukuran medium 1,4 kg dan besar 1,8 kg. Penyebabnya, dengan tambahan umur 4 dan 8 hari, FCR meningkat, deplesi (jumlah ayam berkurang kematian dan afkir) naik, dan feed intake (konsumsi pakan) juga meningkat.
Sebaliknya, harga ayam menurun seiring ukurannya yang membesar, yakni Rp25 ribu dan Rp23.500/kg. Kendati HPP berkurang menjadi Rp25.523 dan Rp24.845/kg dan Index Performance (IP) naik, peternak bakal amblas Rp523 dan Rp1.345 per kg.
Hitungan kerugian tersebut pasti bikin pening kepala karena dari populasi 32 ribu ekor menghasilkan bobot panen total sebesar 43 ton dan 55 ton lebih (lihat tabel). Lantas, peternak punya pilihan apa saja untuk menghindari atau paling tidak meminimalkan kerugian?
Cara Konvensional
Heri yang mempraktikkan model bisnis bagi hasil (profit sharing) tentu tak mau “buntung”. Dia melakukan sejumlah langkah untuk menekan biaya produksi. “Sebagai peternak mandiri, kita nggak ngejar performa tapi ngejar untung,” cetus alumnus Fapet IPB University tersebut.
Pertama, pilih DOC kelas dua. Harganya miring Rp2.000-Rp2.500/ekor. Konsekuensinya, ”Kita harus grading ketat DOC sampai umur 7 hari pada pagi atau sore hari. Sekitar 1%-2% yang di bawah normal harus di-culling (dikeluarkan) agar FCR tidak bengkak,” saran dia.
Kedua, pakan tidak menggunakan kualitas premium sepanjang satu siklus. Pada awal (starter) sampai umur 14 hari, ayam dijatah pakan premium, selanjutnya pakan kualitas medium ke bawah.
Tak pelak, FCR bakal sedikit lebih besar. Untuk kandang terbuka, dia mematok target FCR 1,5, bobot badan panen 1,2 kg, IP 295. “Dari sisi performa memang kurang karena IP di bawah 300.Tapi dari sisi FCR masih OK. Dengan manajemen yang baik, masih bisa menghasilkan cuan kok,” tegas Magister Bisnis dari Universitas Bina Nusantara ini.
Pada kandang semitertutup dan tertutup, target IP masing-masing 330 dan 350. Sebelum DOC masuk (chick-in), kondisi di dalam kandang harus dicek terlebih dahulu. Saat sudah bersih dan disterilkan, masing-masing kipas dijalankan untuk melihat kecepatan udaranya. Patokannya bisa dilihat di aplikasi gratis, Magic Vent, yang belum lama meluncur di Google Play.
Manajemen litter (alas kandang) pun perlu penyesuaian. Jumlah sekam untuk alas kandang yang biasanya sebanyak 60 kg/10 ribu ekor dipangkas 50% menjadi 30 kg saja. Ini jelas mengurangi biaya karena harga pasaran sekam saat ini Rp6.000/kg.
Untuk menjaga sekam tetap kering, sekam dibalik setiap hari selama tiga minggu. Dengan demikian, kadar amonia dalam kandang akan menurun di bawah 10 ppm. Pemakaian koran juga dikurangi tinggal 5 kg/1.000 ekor.
Penggunaan gas untuk penghangat anak ayam (brooding) dikurangi setengahnya. Standarnya 50 kg per 2.500 ekor. Dalam masa brooding, cukupi kebutuhan suhunya selama 7 hari.
Peternak, kata pria kelahiran Bogor, 28 Juli 1984 ini, harus diyakinkan bahwa ayam tidak akan mati kedinginan. Saat kelembapan tinggi, kecepatan udara ditingkatkan untuk mengurangi uap air sehingga kelembapan di bawah 70%.
Selain pengurangan-pengurangan tersebut, peternak wajib lebih rajin mengecek parameter yang diperlukan di dalam kandang. Pun lebih teliti mencermati ayam agar tercegah dari penyakit sehingga tingkat deplesinya bisa dijaga.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 352 terbit Oktober 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.