Selasa, 12 September 2023

Waspada Serangan OPT Saat Perubahan Iklim Ekstrem

Waspada Serangan OPT Saat Perubahan Iklim Ekstrem

Foto: Windi Listianingsih
Pengendalian hama terpadu dengan cara pengamatan rutin

Perlu mitigasi yang tepat dalam menghadapi perubahan iklim ekstrem.
 
Perubahan iklim dapat mempengaruhi dinamika perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Meningkatnya iklim ekstrem ditandai fenomena banjir dan kekeringan.
 
Perubahan curah cuaca tidak menentu ini berdampak pada pergeseran pola tanam, fluktuasi suhu, serta kelembapan udara mampu menstimulus berkembangnya OPT sehingga berdampak pada penurunan produksi padi nasional. Pasalnya, iklim ekstrem dapat menstimulasi ledakan (outbreak) hama dan penyakit utama tanaman padi.
 
Menurut Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Nyoman Widiarta, anomali iklim mempengaruhi produksi sehingga perlu ada mitigasi dan kemampuan adaptasi untuk mengurangi dampak negatif iklim ekstrem tersebut. Lalu, OPT apa saja yang muncul saat perubahan iklim dan bagaimana cara mengendalikannya? Berikut hasil temuan AGRINA.
 
 
Perubahan Iklim
 
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN, Elza Surmaini menerangkan, dampak perubahan iklim dapat meningkatkan populasi dan distribusi wereng batang coklat (WBC) di Indonesia.
 
Serangan puncak WBC terjadi pada La Nina 2010dan 2011 yang menimbulkan kerusakan lahan sawah kurang lebih 137 ribu ha dan 222 ribu ha. Hal ini menyebabkan penurunan produksi mencapai 1-2 ton/ha.Kerusakan tersebut tujuh kali lebih tinggi dibandingkan kondisi normal 2012 dengan kerusakan sebesar 29 ribu ha.
 
Pasalnya, peningkatan curah hujan memicu serangan WBC. “Selain curah hujan, peningkatan kelembapan udara, kelembapan tanah, dan kecepatan angin mempengaruhi perkembangbiakan, distribusi, dan daya tahan hidup hama. Perubahan iklim dapat berpengaruh ledakan hama WBC,” jelasnya saat acara webinar bertema “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Organisme Pengganggu Tanaman Padi: Tantangan dan Peluang bagi Ketahanan Pangan di Masa Depan”, Jabar (22/8).
 
Hal yang perlu diwaspadai, lanjut Elza, suhu udara dan curah hujan lebih tinggi pada musim kemarau merupakan pemicu meningkatnya luas kerusakan tanaman padi yang terserang WBC.
 
“Serangan WBC rata-rata terjadi pada bulan Juni – Agustus yang notabene itu adalah musim kemarau. Sedangkan, periode 2005-2021 kasus serangan terbesar terjadi selama periode La Nina pada 2010 dan 2011. Pada La Nina 2020-2021serangan WBC tidak setinggi pada 2010 dan 2011. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas curah hujannya tinggi,” ungkap alumnus ITB ini.
 
Contoh kasus serangan WBC di Pemalang, Jateng, Elza mengungkapkan, kerusakan tanaman padi akibat WBC di Juni dan Agustus 2008 dengan kondisi curah hujan rendah di musim kemarau, suhu berkisar 26-27° C. Hal ini menunjukkan bahwa serangan WBC rendah.
 
Sedangkan pada kondisi La Nina 2011 bulan Juni, Juli, dan Agustus, curah hujan dan suhu meningkat. Data menunjukkan terjadi peningkatan signifikan luas tanaman padi yang mengalami kerusakan akibat serangan WBC.
 
“Jadi, saya ingin memperlihatkan variabilitas iklim mempengaruhi serangan WBC. Begitu juga kasus di Subang, curah hujan tinggi dan kenaikan suhu menunjukkan terjadinya peningkatan luas tanaman padi mengalami kerusakan akibat WBC,” urainya.
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 351 terbit September 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain