Foto: Windi Listianingsih
Biaya produksi ayam meningkat karena kenaikan harga pakan dan DOC
Perlu manajemen stok jagung nasional agar harga dan kualitasnya sesuai permintaan pasar.
Situasi global sangat berpengaruh pada kondisi lokal. Pandemi Covid-19 yang diikuti konflik Rusia-Ukraina dan fenomena kemarau ekstrem, El Nino membawa dampak besar bagi industri peternakan unggas nasional. Ancaman suplai dan harga bahan baku pakan yang sangat fluktuatif seperti saat ini menyebabkan kenaikan biaya produksi daging dan telur ayam.
Kondisi iklim ekstrem menambah susah produksi ayam. Harga daging dan telur ayam terus meroket sedangkan permintaan pasar belum sebergairah masa pra-Covid. Bagaimana mengurai benang kusut yang membelit para pelaku agribisnis unggas?
Gejolak Biaya Produksi
Heri Irawan, praktisi broiler menilai,kondisi peternakan ayam saat ini tidak rasionalkarena harga ayam hidup (livebird, LB) di kandang sangat tinggi. “Ini sejarah. Ayam 0,8-1 kg harga Rp32 ribu di kandang. Ayam besarnya Rp24 ribu – Rp25 ribu. Jadi hitungannya kalau sudah sampai pasar, kepala 5 fresh-nya,” ucapnya di Bogor, Jabar (27/6).
Dengan harga itu peternak masih untung meski belum tentu menutup kerugian tahun lalu. Sebetulnya, peternak tidak terlalu menikmati harga tersebut sebab biaya operasionalnya juga meningkat.
”DOC (day old chick) naik, pakan naik. Dua itu utama yang bikin biaya bengkak. Sudah harga tinggi,performa tidak maksimal. Makin bengkak HPP (harga pokok produksi),” ulas Heri yang menyebut kemarau ekstrem memicu heat stress dan menyebabkan performa tidak maksimal.
Dengan harga DOC Rp7.000 – Rp8.000/ekor dan pakan Rp8.000 – Rp9.000/kg, HPP ayam berkisar Rp20 ribu – Rp22 ribu/kg. ”Kalau harga DOC dipatok Rp5.500, maksimal Rp6.500, pakan nggak sampai Rp8.000, baru ketemu HPP Rp18 ribu – Rp20 ribu,” jelasnya.
Kenaikan harga ayam di sisi produsen dan konsumen, ungkap Arief Prasetyo Adi, Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) adalah bentuk keseimbangan baru akibat perubahan struktur biaya produksi. Peningkatan harga itu merupakan dinamika yang tidak bisa dihindari karena naiknya biaya pokok produksi yang membebani produsen dan ini terjadi di seluruh dunia.
”Kenaikan harga dipengaruhi misalnya dengan naiknya harga DOC yang sebelumnya Rp5.000 saat ini sampai Rp8.000/ekor. Harga jagung dulu Rp3.150/kg saat ini Rp5.000/kg. Bahkan, sebelumnya sampai di atas Rp6.000/kg,” ujar Arief (21/7). Karena itu, lanjutnya, menjaga kewajaran harga di lini produsen, pedagang, dan konsumenmerupakan tugas bersama.
Timbul Sihombing, Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) membuka, di kuartal pertama (Q1) 2023 perusahaan pakan mengalami tantangan suplai bahan baku yang secara otomatis menaikkan harga.
“Industri pakan melakukan perubahan atau menaikkan harga pakan sehingga sangat berpengaruh sekali ke peternak kita,” ucapnya dalam seminar ‘El Nino Datang Lagi, Bagaimana Antisipasi Sektor Pertanian dan Perunggasan’ (20/6). Prediksi El Nino di Agustus -September tahun inimembuat pasokan jagung sebagai bahan baku utama pakan bakal sangat menantangkarena berpotensi menurun kualitashingga gagal panen.
Pembelian pakan, kata Timbul, menyumbang sekitar 70% biaya produksi ayam sehingga kenaikan harga pakan secara langsung berpengaruh terhadap profit yang didapat peternak dan pelaku industri hilir. Tahun lalu gross value industri unggas, yaitu volume dikalikan harga, menurun 22% lantaran faktor harga yang turun.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 350 terbit Agustus 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.