Foto: Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan
Pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif
D.I. Yogyakarta (AGRINA-ONLINE.COM) - Dampak perubahan iklim telah membawa kerugian di berbagai sektor, termasuk sektor pertanian. Beberapa faktor iklim yang berpengaruh terhadap budidaya hortikultura antara lain curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara.
Dengan adanya informasi prakiraan iklim yang akurat, maka kemungkinan terjadinya gagal panen dapat dihindari dengan cara menyesuaikan sistem budidaya atau manajemen pola tanam.
Dalam rangka mengantisipasi dampak perubahan iklim khususnya musim kemarau dan musim hujan pada komoditas hortikultura, Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Hortikultura melakukan langkah konkret dan terobosan dengan melaksanakan bimtek teknologi hemat air pada lahan berpasir sekaligus live streaming Virtual Literacy Teknologi Penanganan Dampak Perubahan Iklim pada Lahan Berpasir di Kab. Bantul DI. Yogyakarta.
Acara yang dibuka oleh Direktur Jenderal Hortikultura Kementan ini mendapat respon yang luar biasa. Kegiatan dilaksanakan secara luring dan daring. Peserta yang tergabung di zoom meeting mencapai 1.000 partisipan dan melalui live streaming youtube dengan peserta dari berbagai kalangan seperti ASN, peneliti, dosen/widyaiswara, mahasiswa, petani/pelaku usaha dan penyuluh pertanian.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menerangkan bahwa ada tiga strategi kebijakan pembangunan hortikultura terkait perubahan iklim, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi.
"Kita telah memiliki langkah-langkah preventif dalam menghadapi ancaman dampak perubahan iklim, dan alhamdulillah, hari-hari besar keagamaan telah berlalu dan tidak ada gejolak, itu artinya kita mampu menjaga produksi dan stabilitas harga sehingga petani tersenyum dan konsumen juga bahagia", terang Anton, sapaan akrabnya.
Pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif, mitigasi untuk mengurangi resiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca dan adaptasi melalui penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif merupakan strategi dalam menghadapai dampak perubahan iklim.
Prihasto Setyanto yang juga pakar lingkungan dan agroklimat itu mengungkapkan bahwa melalui pengumpulan data dan informasi iklim dari UPTD BPTPH se-Indonesia adalah langkah nyata dalam penanganan dampak perubahan iklim.
Selanjutnya berkoordinasi dengan BMKG tentang prakiraan cuaca untuk 4 bulan ke depan dan antisipasi ketersediaan air hujan serta menyusun Early Warning System (EWS) manajemen pola tanam ke dinas pertanian se-Indonesia. Kemudian berkordinasi dengan perguruan tinggi dan instansi terkait informasi daerah rawan kekeringan dan kebanjiran.
Sejalan dengan Dirjen Hortikultura, Direktur Perlindungan Hortikultura, Jekvy Hendra menyampaikan bahwa kebijakan pusat untuk pengamanan produk hortikultura melalui strategi adaptasi dan mitigasi dengan sasaran lokasi kampung hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim (kekeringan dan kebanjiran).
"Komponen-komponen kegiatan Fasilitasi Dampak Perubahan iklim pada tahun 2023 seluas 325 Ha ini berupa fasilitasi pompa, teknologi hemat air (irigasi tetes/sprinkler/kabut), teknologi panen air (embung, sumur dangkal, sumur dalam), pipanisasi dan penampungan air sementara ini diharapkan bisa meningkatkan pengamanan produksi hortikultura", ucapnya.
Sugeng Purwanto, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DI. Yogyakarta menyampaikan bahwa penerapan teknologi hemat air berupa irigasi kabut, irigasi sprinkler serta sumur dangkal sangat efektif di implementasikan pada komoditas bawang merah di lahan berpasir.
Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aktivititas pertanian bergantung pada ketersediaan air sepanjang musim tanam. "Petani dapat menerapkan teknologi irigasi tetes dan irigasi kabut untuk antisipasi musim kemarau", ungkapnya.
Suharto Budiyono, Ka UPTD BPTPH DI. Yogyakarta menyatakan bahwa teknik pengendalian budidaya ramah lingkungan yg telah di lakukan di cakupan wilayah Kab Bantul seluas kurang lebih 200 an Ha bersama petani dan didampingi oleh POPT. Pengendalian ramah lingkungan meliputi budidaya tanaman sehat, perbaikan cara tanam, pemberian agen hayati, penggunaan feromon dan likat kuning serta penanaman refugia, ungkapnya.
Hal senada disampaikan Sumarna, ketua kelompok tani Pasir Makmur, Desa Srigading, Sanden, Bantul yang telah menerapkan teknologi irigasi kabut. Untuk luasan 1.000 meter persegi dibutuhkan waktu 1 jam dengan debit air yang dikeluarkan sekitar 300 hingga 400 liter per menitnya. "Irigasi kabut ini juga dapat mengendalikan hama, terutama ulat daun yang menjadi momok petani", pungkasnya.
Sumarna menambahkan, penyiraman di pagi hari dengan irigasi kabut juga bisa menghilangkan embun upas. Di sisi lain ada penghematan biaya, karena selang kabut dengan pemakaian dua musim tanam biaya modal sudah bisa kembali.
"Nilai usia dari selang kabut ini selama lima tahun standar pabrik, namun sampai saat ini kami pakai sampai enam tahun. Jadi penghematannya sangat banyak, dua musim tanam sudah balik modal, yang empat tahun selanjutnya sudah free", tambahnya.
Kordinator dampak perubahan iklim Direktorat Perlindungan Hortikultura, Agung Sunusi menjelaskan bahwa bimtek yang dilakukan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi petugas dan petani dilapangan dalam rangka pemanfaatan teknologi hemat air dan teknologi tepat guna budidaya bawang merah khususnya irigasi kabut dan sprinkler pada lahan berpasir di sepanjang pantai parangtritis D.I. Yogyakarta.
"Saat ini kurang lebih 100 Ha lahan bawang merah akan panen di akhir bulan Juli ini. Bila produktivitas rata rata bawang merah sekitar 10 ton/ha, berarti ada sekitar 1.000 ton produksi bawang merah yang diharapkan bisa menjadi penyangga bawang merah nasional di saat kondisi off season dan antisipasi Elnino," tutupnya.
Sabrina Yuniawati